BAB 43

1.7K 109 0
                                    


Tidak ada yang berubah setelah acara karya wisata itu, malah Layla merasakan jaraknya dengan Aldimas menjauh. Pria itu kembali bersikap dingin, bahkan beberapa hari terlihat seperti sengaja melewatkan sarapan.

Mereka memang sempat bertengkar di pulau waktu itu, tapi sepertinya tidak sebesar itu. Aldimas tidak perlu sampai menjauhinya gara-gara kesal dengan Mike, kan? Semuanya itu masih bisa dibicarakan.

Masalahnya, jangankan bicara, Aldimas bahkan tidak mengiriminya pesan sekali pun.

"Hape kamu rusak?"

Suara Poppy yang tiba-tiba terdengar membuat Layla mengalihkan tatapannya dari ponsel. Layarnya sudah sepenuhnya mati. Layla baru sadar kalau ia menatap benda itu dengan pandangan kosong sedari tadi.

"Bukan hape aku, tapi hape dia kayaknya!" sahut Layla kesal.

"Hah?"

"Pop, aku mau tanya," bukannya menjawab, Layla malah beralih ke topik lain. "Emangnya aku nyebelin, ya?"

Poppy mengerjap. Ini pertama kalinya Layla bertanya seperti itu. Layla bukan orang menyebalkan, tapi terkadang wanita itu sulit mengontrol emosinya. Apalagi kalau sudah menyerocos panjang lebar. Poppy bahkan bingung bagaimana wanita itu bisa mempunyai napas sepanjang itu.

Dan Layla cukup cuek dengan citranya yang seperti itu. Namun, apa yang membuatnya bertanya seperti itu sekarang? Apa ada yang baru saja mengejeknya?

"Kenapa tiba-tiba tanya begitu?" tanya Poppy balik.

"Kayaknya... Aldimas marah deh sama aku," jawab Layla dengan suara lemah. "Kita sempat berantem waktu itu, kayaknya dia kesel deh sama sikap aku."

Poppy dibuat melongo untuk kedua kalinya. Sejak kapan seorang Layla Sarasvati segalau ini soal pria? Bahkan ketika dia ada masalah dengan mantan pacarnya yang berengsek itu, tidak pernah sekalipun Layla terlihat selemah ini.

"Kamu udah minta maaf?" sahut Poppy akhirnya.

Layla menggeleng. "Aku bahkan belum ngobrol apa pun sama dia."

"Udah coba chat?"

Layla membulatkan matanya. "Harus, ya?"

Poppy menepuk dahinya sendiri. Sejak kapan Layla menjadi bodo seperti ini? Biasanya, Layla selalu menjadi orang yang paling sensitif dan cepat tanggap. Sepertinya, cinta memang membuat orang jadi lupa diri.

"Ya, harus dong! Kalau dia gak hubungin kamu, kamu yang hubungin dia. Kan, katanya, kamu yang salah!" jawab Poppy.

Layla tidak menjawab lagi. Wanita itu memandangi ponselnya kembali, seperti sebelumnya. Poppy akhirnya paham, mungkin gengsi wanita itu terlalu tinggi untuk menghubungi prianya duluan. Ya... ia pun juga begitu dengan pacarnya.

Wanita itu lebih galak kalau sudah ketauan salah.

Poppy menghela napas. "Coba aja pakai alasan mau ajak makan siang bareng," sarannya.

"Berhasil gak ya?" Layla bertanya.

"Kamu, kan, gak bakal tau kalau belum coba."

***

Dengan satu saran sederhana itu, Layla seperti anak ayam patuh yang datang ke gedung MD Group di jam makan siang hari berikutnya. Tadi pagi, sikap Aldimas masih sama dinginnya. Dia jelas-jelas terus menghindari tatapan Layla.

Makanya, dengan waktu makan siang yang agak mepet itu—dan sedikit rayuan Layla ke Bu Retno untuk izin keluar selama dua jam—Layla memberanikan diri untuk datang. Ini adalah kali pertamanya. Jujur saja, gedung dan orang-orang di sini begitu mengintimidasi Layla.

Layla menunduk, menatap tas berisi kotak bekal buatannya. 'Apa iya perlu se-effort ini buat ngobrol sama Aldimas?'

Dia sudah mengirimi Aldimas pesan sebelum datang, tapi belum ada balasan sampai sekarang. Bahkan pria itu tidak membacanya sama sekali. Karena tidak tahu harus ke mana, Layla akhirnya mendatangi meja resepsionis.

"Permisi, selamat siang," sapa Layla.

Resepsionis dengan rambut sebahu itu mengangkat kepalanya. Ia tersenyum kepada Layla—sebuah senyum bisnis tentunya. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?"

"Ng... saya boleh tau, kalau ruangan Aldimas di lantai berapa, ya?"

Janet, resepsionis yang baru bekerja sepuluh bulan di MD Group, tersenyum miring ke arah wanita di hadapannya. Walaupun belum setahun bekerja, Janet sudah beberapa kali menghadapi wanita sejenis ini. Rata-rata menanyakan hal yang sama: 'Di mana Aldimas?', 'Mana ruangannya?', 'Kamu gak kenal siapa saya?'.

Nyatanya, kalau memang orang tersebut tamu penting, pasti sudah ada di catatan komputer.

"Boleh saya tahu nama Ibu siapa?" tanya Janet.

Wanita itu tampak terkesiap saat Janet memanggilnya 'ibu'. Namun, yang namanya prosedur, tentu Janet harus profesional.

"Layla," jawab wanita itu. "Saya udah coba hubungi Aldimas, tapi kayaknya belum dibaca. Jadi, apa saya boleh tunggu di ruangannya?"

Satu yang Janet tidak suka dari wanita-wanita yang datang mencari Aldimas. Mereka sama sekali tidak punya sopan santun. Walaupun Aldimas masih muda, dia adalah salah satu pimpinan di sini. Sudah seharusnya ada panggilan "Pak" dari mereka.

"Mohon maaf, Ibu Layla. Nama Anda tidak ada di daftar tamu Pak Aldimas hari ini," ucap Janet setelah memeriksa daftar tamu penting Aldimas. Ya, seperti dugaannya.

"Oh, iya, saya memang gak buat janji resmi. Tapi... apa bisa di telepon ke ruang kantornya dulu dan bilang saya ada di bawah?" 



---------------------

Jangan lupa vote dan comment nya yaaa biar tambah semangat ngetiknya hehe

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang