BAB 24

1.8K 101 0
                                    


Layla membuka pintu kamarnya perlahan, lalu melongokkan kepala ke kamar depan. Pintu kamar Aldimas masih tertutup rapat. Itu berarti, entah pria itu belum bangun, atau sudah berangkat lebih dulu.

'Aman....' Layla mendesah, lalu mengendap keluar dari kamarnya. Ia harus menghindari Aldimas sebisa mungkin mulai sekarang. Kejadian semalam tentu menjadi trauma besar untuk Layla, dan ia masih belum memiliki muka untuk menghadapi Aldimas.

"Ayo, sarapan."

Layla membeku ketika mendengar suara Aldimas begitu memasuki ruang makan. Pria itu sudah duduk manis di meja makan, menyesap kopinya sambil mengecek layar tablet. Matanya sedikit melirik begitu melihat Layla datang.

Mungkin Layla kurang berdoa, sehingga Tuhan sedang memberinya hukuman. Ia berharap tidak bertemu sama sekali dengan Aldimas pagi ini, atau paling tidak seharian ini. Namun yang terjadi malah sebaliknya.

Layla merasa seperti tikus yang terperangkap. Ia tetap terpaku di tempatnya berdiri.

"Kamu gak mau sarapan?" ulang Aldimas setelah meletakkan cangkirnya.

"O-oh, iya." Layla mengutuk dirinya sendiri karena menjawab seperti itu. Akhirnya, mau tidak mau, ia pun mendekat ke meja makan.

Di salah satu sisi meja, sudah tertata rapi roti panggang, biskuit kelapa, dengan secangkir teh hangat. Layla melirik Aldimas sekilas, khawatir pria itu sekali lagi meledeknya. Namum, Aldimas tampak tidak peduli. Ia begitu sibuk dengan dirinya sendiri.

Ini adalah sarapan pertama mereka, setelah pagi pertama pernikahan sebulan yang lalu. Layla juga merasa heran, sejak kapan Aldimas mau menghabiskan paginya di meja makan. Biasanya, mereka paling sebatas saling menyapa saja, lalu Aldimas akan berangkat lebih dulu.

"Diego bilang, berkasnya sudah masuk ke pengadilan," ucap Aldimas tiba-tiba, membuat Layla berhenti mengunyah sesaat.

"Iya, Mas Diego udah kabarin aku juga," sahut Layla.

Bisa Layla lihat, Aldimas yang kini terdiam. Matanya hanya menatap Layla dengan lurus. Lalu, sebelum Layla bertanya, pria itu bergumam tidak jelas.

"....panggil dia mas...."

"Apa?" dahi Layla berkerut dan sedikit memajukan tubuhnya.

Namun, bukannya menjawab, Aldimas malah menyesap kopinya lagi, lalu menutup tablet PC-nya. "Bukan apa-apa. Saya akan berangkat lebih dulu."

"O-oh, iya," hanya itu yang bisa Layla jawab.

Layla melihat Aldimas sudah berdiri dari kursinya dan membawa barang-barangnya. Sudah seperti perintah otomatis di otak Layla, setelah selesai sarapan, Layla-lah yang harus mencuci piring kali ini. Lagipula, masih ada waktu satu jam sebelum jam masuk sekolah, jadi Layla masih bisa bersantai.

"Layla." Ketika Layla sedang fokus dengan sarapannya lagi, Aldimas kembali memanggilnya.

Wanita itu hanya menoleh, karena mulutnya penuh roti. Alisnya terangkat, mengisyaratkan agar Aldimas mengatakan apa tujuannya.

"Kalau ada apa-apa, hubungi saya," sambung Aldimas.

Layla berhenti mengunyah. Untuk beberapa saat, mereka hanya saling berpandangan, sebelum akhirnya, wanita itu menyahut dengan ragu, "...Oke."

'Aku gak salah dengar, kan?' batin Layla melanjutkan.

Aldimas hanya mengangguk singkat, lalu berbalik badan. Setelahnya, pria itu sama sekali tidak menoleh lagi sampai bunyi deru mobil keluar dari halaman terdengar.

Akhirnya, kekhawatiran pagi itu berlalu sudah. Tidak ada hal besar yang terjadi, kecuali sikap Aldimas yang terasa... lebih bersahabat? Setidaknya, tidak ada kata-kata ketus seperti malam sebelumnya.

Layla pun bisa berangkat ke sekolah dengan tenang. Ia menjalani hari dengan normal, kecuali jika bagian Diego yang terus memberikannya laporan juga termasuk normal.

Selain itu, Raikhal juga tidak berhenti menghubunginya sejak makan siang. Layla menduga, kalau itu mungkin berhubungan dengan tuntutan yang ia gugat. Namun, sepertinya Diego bilang kalau berkasnya baru masuk pagi ini, kenapa Raikhal bisa langsung heboh?

'Apa cuma aku yang gak tahu sehebat apa pengacara MD Group ini?' batin Layla ketika melihat rentetan pesan Raikhal yang menyuruhnya mengangkat panggilan.

Layla terus mengabaikan, bahkan memblokir nomor pria itu. Padahal bulan lalu, Raikhal masih dengan sombongnya bilang bisa menyewa pengacara hebat untuk melawan Layla. Harusnya, sekarang ini pengacaranya yang menghubungi Diego, bukan dia sendiri.

Dan akhirnya, hari yang panjang itu pun berlalu. Jam sudah menujukkan pukul 16.30, artinya Layla sudah bisa pulang.

"LAYLA!" teriakan itu membuat tangan Layla yang ingin membuka pintu mobil pun terhenti di udara. Ia menoleh ke belakang, dan mendapati Raikhal baru saja turun dari mobilnya. Pria itu tampak buru-buru menghampiri Layla.

Mata Layla membulat. Ia tidak menyangka kalau Raikhal akan senekat ini.

"Ikut aku!" ujar pria itu lagi, kali ini sambil mencengkeram tangan Layla.

Sudah pasti Layla menolak. Ia menarik kembali tangannya, walaupun itu tidak berhasil. "Apaan, sih?! Lepas!"

Sepertinya, penolakan Layla membuat Raikhal semakin geram. Pria itu dengan kasar menarik tangan Layla, membuat jarak mereka sangatlah dekat. Layla bahkan bisa mencium aroma tembakau dari napas Raikhal.

"Dengar, Layla Sarasvati," ucap Raikhal lamat-lamat dengan sorot mata tajam. "Ikut aku, atau kamu akan kupermalukan di sini."

Sekujur tubuh Layla membunyikan alarm tanda bahaya, tetapi mulutnya terkatup rapat. Ini pertama kalinya ia melihat Raikhal semenyeramkan ini. Terlebih, keadaan sekolah sudah sangat sepi, tidak ada yang bisa Layla mintai bantuan.

Dengan tangan gemetar, Layla merogoh saku blazernya untuk mencari ponsel. Ia hanya mengandalkan insting untuk menekan nomor siapa saja yang ada di paling atas kontak WhatsApp-nya. Seingatnya, itu adalah nomor Diego. Ia berharap, Diego menjawab panggilan itu langsung dan bisa membaca situasi dengan cepat.

Raikhal membawa Layla ke bagian samping sekolah itu, yang merupakan tempat paling sepi karena bersebelahan dengan tempat pembuangan sampah dan genset listrik. Aroma busuk langsung menyapa indra penciuman Layla, bersamaan dengan bunyi mesin yang berdengung. Tubuh Layla gemetaran, apalagi setelah Raikhal melepaskan tangannya dengan kasar.

"Benar-benar kamu, ya!" bentak Raikhal seraya membenturkan punggung Layla ke tembok. "Aku udah telepon kamu berkali-kali! Tapi kamu malah blokir nomor aku! Kurang ajar!"

Layla menelan air liur, dan masih berusaha tidak menunjukkan rasa takutnya. "Aku gak pernah jawab telepon dari orang gak penting."

Raikhal mendengus, lalu menunjukkan map yang sedari tadi ia pegang. Pria itu menampar-nampar wajah Layla dengan map itu. "Jelaskan apa maksud gugatan kamu ini!"

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang