"Ingat pesan Mama apa?" Layla yang sudah berjongkok di depan anak kembarnya—Rafael dan Rayan—menatap keduanya bergantian.
"Jangan nakal...," jawab Rafael dan Rayan bersamaan.
"Terus?"
Pipi mereka sudah memerah, dengan mata berkaca-kaca. "Dengerin kata Papa."
"Dan?"
"Gak boleh berantem."
"Pintar." Layla mengusap kepala keduanya bersamaan.
Ia pun kembali berdiri dan menggandeng keduanya menuju pintu masuk Serenity Spring School. Aldimas berada di belakang mereka, sengaja tidak mengganggu ketiganya.
"Mama, Mama, tapi Mama besok pulang, kan?" Rafael bertanya dengan suara bergetar. Walaupun kakinya masih melangkah, ia tidak mengalihkan pandangannya dari Layla.
Layla mengangguk, "Iya. Mama harus bantuin Eyang Uti dulu sebentar, ya. Kalau kerjaannya udah selesai, Mama langsung naik pesawat wuuushh!"
Seiring dengan kesehatan neneknya yang mulai menurun, mama Layla terkadang meminta Layla untuk datang dan membantunya mengurus yayasan. Kebetulan, hari ini dan besok ada pameran seni yang disponsori Yayasan Darmawan, jadi Layla harus mengawasinya.
Selama ini, Layla juga sudah mulai mengurusi Yayasan Darmawan sedikit demi sedikit, bersamaan dengan tanggung jawab baru sebagai ketua yayasan sekolah milik MD Group. Layla memang tidak perlu datang ke kantor setiap waktu, dan lebih banyak melakukan koordinasi online sembari mengurus si kembar. Hanya saja, ada waktu tertentu yang memang membutuhkan pengawasannya langsung.
"Mama nanti telepon Rayan, ya." Rayan yang tidak biasanya cengeng pun suaranya terdengar tidak rela. Layla bisa merasakan genggaman tangannya begitu erat.
Rafael mengangkat satu tangannya yang bebas. "Rafa juga! Rafa juga!"
"Iya, nanti Mama kasih tau Papa buat kasih hapenya ke kalian. Asal kalian gak nakal," jawab Layla.
"Rayan gak nakal!"
"Rafa juga gak mau nakal!"
Layla terkekeh sambil kembali mengusap kepala kedua anaknya. Mereka pun berhenti di depan pintu masuk, di mana seorang guru sudah menunggu anak-anak muridnya. Namun, bukannya melepaskan tangan Layla, Rafael dan Rayan malah menggenggam tangan Layla lebih erat.
Dengan sedikit tidak rela, Layla menunjuk seorang guru yang melambai ke arah mereka. "Tuh, Miss Anggie udah tungguin. Kalian masuk sekarang, ya."
Biasanya, Rafael dan Rayan akan semangat berlari ke arah gurunya sambil melambaikan tangan. Kali ini tidak, keduanya masih menatap Layla tidak rela dan berkaca-kaca. Di belakang Layla, Aldimas hanya menghela napas. Entah dari mana datangnya sifat drama kedua bocah itu.
Akhirnya, Rafael dan Rayan pun melepaskan tangan Layla—dengan sedikit paksaan. Guru mereka sampai datang menjemput, mungkin karena ekspresi mereka yang berbeda. Setelah berbasa-basi sejenak, guru itu pun membawa Rafael dan Rayan masuk.
"Dadah, Mama...." kedua bocah itu melambaikan tangan dengan sedih, dan Layla balas melambai.
Sebuah rangkulan di bahunya pun menyandarkan Layla. Ini adalah kali pertama ia harus meninggalkan Rafael dan Rayan ke luar kota—apalagi sampai dua hari. Awalnya, Layla ingin membawa keduanya, tapi Aldimas berkata bahwa Layla bisa meninggalkan si kembar kepadanya, sementara dirinya mengambil cuti tahunan yang baru dipakai setengah.
"Maaf, ya, Mas. Aku titip anak-anak," ucap Layla sambil berjalan menuju parkiran. Tangannya masih saling menggenggam dengan Aldimas.
"Udah aku bilang, ini bukan titip anak, Layla. Mereka anak-anak aku juga, udah kewajiban aku jagain mereka." Aldimas membuka pintu penumpang untuk Layla. "Justru aku minta maaf karena buat kamu khawatir tinggalin mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Name of Marriage Contract
RomanceLayla sama sekali tidak paham, kenapa pria yang menuduhnya sebagai simpanan kakek-kakek, tiba-tiba menawarkan pernikahan kontak? Terlebih, pria ini selalu datang seperti dewa penyelamat setiap kali Layla terkena musibah. Mulai dari ketika ia mabuk d...