BAB 50

1.6K 100 3
                                    


"Terima kasih sudah membuat perusahaan tetap berjalan stabil. Tanpa kamu, kami tidak akan pernah berdiri di sini," lanjut sang opa.

Layla bisa merasakan tangan Aldimas menggenggam tangannya semakin erat. Dari luar, orang-orang hanya bisa melihat wajahnya yang dingin di balik kacamata berbingkai hitam itu. Namun Layla yakin, ada banyak gejolak emosi yang dirasakan pria itu.

Ibu jari Layla bergerak, mengusap lembut tangan Aldimas di bawah sana. Pada saat itulah tatapan pria itu mulai beralih padanya, menjadi lebih lembut. Ada satu helaan napas pelan ketika Layla mengangguk.

Gak apa-apa, ada aku di sini, tatapan Layla berbicara.

"Dan Layla," tiba-tiba Opa memanggil namanya, membuat Layla terkesiap.

"Y-ya?"

"Terima kasih sudah menjaga Aldimas."

***

"Nona Layla, Bapak Ketua panggil Nona ke ruangannya."

Acara sudah berlangsung kembali setelah Opa menyelesaikan sambutannya. Layla dan Aldimas sebenarnya ingin langsung pulang, tapi tiba-tiba Norma, sekretaris Opa Hardian, memanggil Layla.

"Saya?" ulang Layla.

Norman mengangguk. "Ya, hanya Nona Layla."

Layla bisa merasakan penekanan dalam ucapan Norman, seolah mengakan Aldimas sama sekali tidak boleh ikut campur. Itu juga yang mungkin membuat Aldimas tampak kesal. Matanya berkilat menatap Norman di balik kacamata itu.

"Baik, saya akan segera ke sana," setelah mengucapkan itu, Layla beralih kepada Aldimas. "Aku ngobrol sama Opa dulu, ya, baru kita pulang."

"Kamu gak apa-apa sendirian?"

Layla menggeleng pelan. "Gak apa-apa kok."

Walaupun Layla sendiri tidak tahu apa yang akan dibicarakan Opa Hardian, ia tidak mau membuat Aldimas khawatir. Akhirnya, Aldimas pun melepaskan genggaman tangannya juga. Segera Layla mengikuti langkah Norman yang menunjukkan jalan di depannya.

"Pak, Nona Layla sudah datang," Norman berucap setelah mengetuk pintu.

"Masuklah," sebuah suara serak yang cukup lemah menjawab dari dalam.

Norman pun membuka pintu dan menggeser sedikit tubuhnya, membiarkan Layla masuk lebih dulu. Layla melangkah ke tengah ruangan. Opa Hardian duduk menghadap jendela, masih dengan kursi rodanya.

"Opa?" sapa Layla.

"Norman, tinggalkan kami. Aku ingin berbicara berdua dengan Layla," ucap Opa datar.

"Ya? Tapi—"

"Saya tidak mengulang ucapan saya dua kali."

Layla cukup terkejut dengan suara dingin Opa Hardian terhadap sekretarisnya itu. Jika dalam mode dingin begitu, dia sangat mirip dengan Aldimas. Lihat saja, Norman bahkan langsung membungkuk dan undur diri dari ruangan itu.

"Mendekatlah, Layla. Akan kuceritan sesuatu."

***

Aldimas meneguk air dingin berkali-kali sambil melirik ke lorong tempat ruangan opanya berada. Dua puluh menit berlalu, tapi Layla belum keluar dari sana. Ini bahkan sudah gelas air putih ketiga yang diteguknya, tanpa ada satu makanan pun yang masuk.

"Akhirnya kamu bisa bersantai, ya, Direktur Aldimas Noah."

Ucapan seseorang membuat Aldimas mengalihkan tatapannya dari lorong itu. Detik itu juga, Aldimas menyesal, karena yang berdiri di sebelahnya sambil memegang segelas sampanye adalah ibu tirinya—Farah.

"Gak lama lagi, Ayah akan balik ke perusahaan. Atau... Norman yang mungkin akan membantunya," lanjut Farah, dengan nada sarkas yang kental. "Kamu mungkin harus mulai apply CV di kantor lain, karena MD Group tidak mungkin bisa menerimamu dua kali."

"Ingatkan saya siapa yang memanggil saya untuk menggantikan Opa kemarin," Aldimas mendengkus. "Kalau bukan karena permintaan kekanakan itu, saya tidak akan sudi meninggalkan gaji 3 digit saya di Amerika."

Satu setengah tahun lalu, Aldimas tiba-tiba diminta pulang dengan paksa oleh keluarga Mandrawoto. Padahal saat itu ia sudah menjabat sebagai direktur operasional di sebuah perusahaan periklanan di Amerika Serikat. Opanya kolaps, dan memintanya untuk menggantikan sementara.

Tentu saja itu menjadi huru-hara keluarga Mandrawoto. Pada saat masih ada Satria, sang cucu sah, sang kepala keluarga malah memanggil seorang anak haram untuk menggantikannya.

"Jangan sombong. Setelah Ayah kembali ke kantor, Satria yang akan gantiin kamu di sana," suara Farah tampak tenang, tapi Aldimas bisa merasakan amarahnya.

Aldimas tidak lagi menatap Farah. "Coba saja kalau bisa," jawabnya.

"Apa kamu masih bisa angkat kepala kalau kontrak pernikahan kamu bocor ke Ayah?"

Aldimas hampir terpancing ucapan Farah, tapi sebisa mungkin ia tahan. Ia mengatur ekspresinya agar tetap datar.

"Anda bahkan menghadiri pernikahan kami," Aldimas menoleh. "Apa Anda cukup bodoh?"

Farah terlihat semakin meradang. Dengan satu dengusan keras, ia pun berbalik badan dan meninggalkan Aldimas. Barulah pada saat itu Aldimas mengembuskan napas panjang. Ia harus segera memanggil Layla dan pulang dari sini.

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang