BAB 67

1.5K 115 9
                                    


Layla tidak tahu seberapa lama ia menangis malam tadi, yang pasti ketika bangun kepalanya sangat sakit. Ia bahkan sampai muntah-muntah di kamar mandi saking pusingnya. Begitu melihat wajahnya sendiri di cermin, itu tidak ada bedanya dari seorang mayat.

Wah... jadi gini ya wajahku kalau udah mati? Pikiran Layla mulai berkelana.

Ini adalah hari Minggu—untung saja—jadi Layla tidak perlu pergi ke sekolah. Ia juga tidak perlu mandi buru-buru, hanya mencuci muka dan menggosok gigi sebelum pergi ke dapur untuk makan sarapan. Ia tidak tahu apakah Aldimas masih ada di rumah atau pergi ke kantor lagi. Untuk sekarang, Layla mencoba untuk mengabaikan pria itu.

"Udah bangun?"

Layla mengangkat kepalanya begitu mendengar suara Aldimas. Pria itu ternyata sudah duduk di atas meja makan dengan secangkir kopi dan roti tawar dengan kental manis. Biasanya, Layla suka bangun lebih dulu dan menyiapkan sarapan, tapi tidak dengan pagi ini.

Layla tidak menjawab. Namun, karena sudah terlanjur memasuki ruang makan—yang tergabung dengan dapur—ia pun tidak bisa menghindar. Layla hanya berjalan menuju dispenser untuk mengambil air putih.

Aldimas sendiri sepertinya paham kalau Layla masih marah soal semalam. Ia tidak memaksa wanita itu untuk duduk bersamanya, walaupun tetap mencoba untuk mengajaknya bicara.

"Rabu nanti ada pesta launching," ucap Aldimas kemudian.

"Hm," jawab Layla, tidak beranjak dari depan dispenser. Dia sengaja minum air sambil berdiri di sana.

"Mas harap kamu bisa datang sama Mas."

"Oke."

"Mas bakal suruh orang buat anterin kamu ke salon dan butik."

"Iya."

Kemudian hening. Layla sedikit melirik ketika mendengar bunyi kursi di dorong. Pada saat itulah ia baru sadar kalau Aldimas memakai kaus yang dilapisi dengan blazer. Walaupun terlihat santai, Layla tahu kalau Aldimas pasti akan ke kantor lagi hari ini.

Pria itu menghampiri Layla, dan pada saat yang sama Layla pun memutar tubuhnya. Untuk beberapa detik, keduanya hanya berdiri berhadapan dalam diam.

Aldimas tampak ingin membuka mulut, oleh sebab itu Layla menunggu. Namun... tidak ada. Pria itu tidak mengucapkan apa pun yang Layla harapkan. Ia hanya maju selangkah, mencium kening Layla—seperti biasa, sebelum berkata, "Telepon Mas kalau ada apa-apa."

Aldimas pun berbalik badan dan pergi sambil membawa tas laptopnya.

Layla mendengus. Ia benci Aldimas yang seperti itu. Seolah obrolan dan pertengkaran mereka semalam bukan apa-apa untuknya.

***

Tiga hari berlalu dengan dingin, dan malam ini adalah malam pesta launching yang Aldimas bicarakan hari itu. Seperti ucapannya, begitu pulang sekolah, sudah ada mobil yang menunggunya di depan sekolah. Dengan terpaksa, Layla meninggalkan mobilnya di sekolah dan ikut dengan orang suruhan Aldimas.

Ia pergi ke salon, butik, dan menjalani beberapa jenis perawatan. Selama perjalan, orang suruhan Aldimas juga mengatakan kalau ini adalah pesta launching aplikasi khusus resort dan hotel milik MD Group. Dan Layla baru tahu kalau itu adalah proyek yang dikerjakan Aldimas dengan Mike sebagai modelnya.

Setelah selesai semua, sopir itu kembali menjemput Layla, kali ini bersama Aldimas yang sudah rapi di dalam mobil. Tidak ada sapaan hangat, bahkan pujian dengan segala usaha yang dilakukan Layla untuk tampil cantik. Mereka hanya saling diam selama perjalanan menuju hotel utama MD.

"Aku harap kamu bisa menahan diri malam ini. Cuma untuk beberapa jam," ucap Aldimas dingin sambil memandu Layla menuju ballroom.

Layla mengepalkan tangannya yang mengait di lengan Aldimas. Ia merasa Aldimas baru saja kembali ke sosoknya yang lama—yang dingin dan tidak berperasaan. Setelah tidak berbicara dengannya berhari-hari, kini dia menyuruh Layla untuk diam saja?

Layla menarik napas panjang untuk menghalau air matanya. "Iya, aku tau."

Aldimas langsung disambut begitu memasuki ballroom. Tentu saja, dia adalah bintang utamanya hari ini. Sedangkan Layla di sampingnya hanya mengeluarkan senyum bisnis, sambil sesekali membalas sapaan mereka.

Mereka adalah wajah-wajah yang tak pernah ia kenal.

"Maaf saya telat mengenalkan, ini Layla Sarasvati, istri saya." Aldimas memindahkan tangannya untuk memeluk pinggang Layla.

Layla awalnya sangat terkejut karena tiba-tiba Aldimas melibatkannya. Namun, ia buru-buru mengulaskan senyum dan menjabat tangan dua pria di depannya, "Layla."

"Sepertinya saya kecolongan ya, Pak Al," sahut bapak yang agak gemuk setelah menyalami Layla. "Tadinya saya mau kenalin Bapak ke keponakan saya, taunya Bapak bilang udah punya istri."

"Iya, pernikahannya memang hanya dihadiri kerabat dekat saja," jawab Aldimas. "Asalkan doa dan niatnya sampai."

"Walaupun telat, saya ucapkan selamat atas pernikahannya ya, Pak Aldi dan Bu Layla," satu pria yang lain berkata.

Ya, perjanjian mereka memang harus terlihat pura-pura mesra di depan publik. Namun, Layla tidak menyangka kalau akhirnya akan seperti ini. Dan hari itu, Layla akhirnya resmi dikenal sebagai Nyonya Mandrawoto yang baru.

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang