BAB 10

2.3K 128 1
                                    

Alis Layla menukik tajam melihat siapa orang yang ada di dalam mobil itu, terlebih pria itu menggunakan kalimat perintah.

'Kenapa pria ini kembali lagi?!' pekik Layla dalam hati.

"Kamu ngapain ke sini lagi?!" tanya Layla ketus, matanya menatap tajam ke arah Aldimas yang masih anteng duduk di dalam mobil.

Aldimas tampak meliriknya, lalu beberapa detik kemudian, sopirnya sudah berdiri di depan Layla dan membukakan pintu mobil itu. Sopir itu jauh lebih sopan daripada majikannya, membuat Layla tidak tega sendiri kalau bersikap sinis kepadanya juga.

"Masuklah," ulang Aldimas lagi.

Sopir itu masih setia tersenyum ramah dan memegangi pintu mobil. Dia menjadi titik kelemahan Layla kali ini. Akhirnya, wanita itu menghela napas panjang, dan masuk ke mobil.

"Sudah saya bilang, saya sama sekali tidak tertarik dengan tawaran Anda!" Layla langsung menyerocos begitu duduk manis di sebelah Aldimas.

Bukannya menanggapi, Aldimas malah memberikan map lagi kepada Layla. Kali ini berwarna biru. "Saya bisa bantu kamu melunasi utang."

Layla terdiam. 'Utang apa? Kayaknya aku gak pernah pakai paylater atau apa? Mama juga kayaknya gak pernah bilang apa-apa soal utang deh....'

Layla sama sekali tidak menyadari kalau ucapan Aldimas terdengar terlalu klise. Ia terlalu sibuk memikirkan arti 'utang' yang dimaksud Aldimas. Seumur hidupnya, Layla tidak pernah berutang.

"Utang apa?!" Layla akhirnya bertanya juga.

"Sewa studio, apartemen, dan asuransi atas nama Raikhal Agung."

'Oh, iya....' Layla membulatkan mulutnya dan mengangguk-angguk. Ia baru ingat kalau ia baru membayar uang muka untuk sewa studio Raikhal. Apartemen pria itu juga masuk ke tagihan bulanan Layla.

"Terima kasih, tapi tidak perlu." Layla mengembalikan map itu ke pangkuan Aldimas. "Saya bisa menanganinya sendiri."

Aldimas tidak menyerah. Ia seperti salesman kompor gas yang terus menerornya dengan flayer-flayer. Pria itu kembali menyodorkan map yang lain kepada Layla.

"Apa lagi ini?" Layla menghela napas.

"Surat tuntutan kepada Raikhal Agung," jawab Aldimas datar. "Pengacara saya sudah mengurus semuanya."

Layla tahu jika Aldimas memang memiliki kuasa yang luar biasa, tapi ia tidak menyangka akan sehebat ini. Segala tuntutan yang tertulis sebenarnya tidak pernah Raikhal lakukan, tapi entah kenapa terdengar sangat masuk akal.

'Kalau kayak gini, Raikhal pasti yang akan malu,' pikir Layla sambil terus membaca BAP tersebut.

"Kamu juga tidak perlu khawatir dengan gosip itu lagi. Sandra Chaniago sepakat untuk tidak membuka mulut perihal kejadian di hotel, maupun soal kamu sebagai tunangan saya."

Layla menoleh ketika Aldimas menyebut nama Bu Sandra. Ia pun teringat satu hal, "Saya heran, ancaman apa yang Anda bisikan pada Bu Sandra tadi?"

Aldimas sedikit mengubah posisi duduknya dan agak menyerong, menghadap Layla. "Apa kamu merasa tidak aneh? Kenapa dia bisa mempunyai akses ke hotel?"

Dahi Layla berkerut. Apa yang salah dengan orang yang datang ke hotel?

"Hanya tamu yang memiliki kartu akses, yang bisa naik ke lantai kamarnya berada," lanjut Aldimas karena Layla hanya menunjukkan wajah bingung.

"Jadi...?"

"Bukti CCTV menunjukkan dia menyogok petugas hotel untuk mendapat kartu akses sebuah kamar," jawab Aldimas. "Di mana suaminya sedang berselingkuh dengan wanita lain."

Layla melongo. Mulutnya terbuka sangat lebar.

Bu Sandra begitu bangga dengan status suaminya yang menjadi anggota dewan itu. Bahkan ia mengumbar ke mana-mana dan mengatakan kalau sang suami sedang digadang menjadi wali kota di pilkada tahun ini. Semua media sosialnya hanya berisi keharmonisan keluarga.

Ternyata itu hanya topeng.

Dan jika publik tahu apa yang terjadi sebenarnya, sudah pasti reputasi keluarga mereka akan hancur.

Untuk menutupi keterkejutannya, Layla pura-pura mengkritik Aldimas, "Mengakses CCTV itu ilegal tau!"

"Apanya yang ilegal kalau hotel itu milikku?"

Oke, Layla kalah lagi.

Wanita itu mendengus, dan menyenderkan punggungnya ke kursi. "Bagaimanapun, saya memang berterima kasih soal gosip itu. Tapi... tidak. Saya tidak akan menikah denganmu."

Setelah mengatakan itu, mata Layla beredar ke luar jendela. Pada saat itulah ia menyadari kalau ini sudah berada di jalan dekat kosannya.

"Loh? Ini kan...."

Mobil pun berhenti tepat di depan gerbang kosan Layla.

Layla mendelik. Kekuatan orang kaya memang menyeramkan. Dari mana juga ia tahu di mana Layla tinggal.

Namun, Layla sedang tidak ingin berdebat lagi. Ia hanya mendelik sekilas ke arah Aldimas, lalu membuka pintu mobil. Sayangnya, pintu itu masih terkunci.

"Bisa tolong saya?" tanya Layla retorika, sambil menatap tajam Aldimas.

Aldimas pun menghela napas, terlihat menyerah dengan keras kepalanya Layla. "Buka pintunya, Pak."

Sopir itu pun mengangguk dan membuka kunci otomatis. Layla segera keluar dari sana.

"Saya akan menunggu," ucap Aldimas sebagai penutup.

Layla tidak menjawab, hanya membanting pintu mobil itu keras-keras.

Layla langsung masuk ke bangunan kosannya. Ia tidak mau melihat ke belakang lagi, tidak peduli apakah Aldimas masih ada di sana atau tidak. Ia harus mandi air hangat itu menghilangkan rasa jengkelnya ini.

"Nah, ini dia sudah datang!"

Langkah Layla terhenti begitu mendengar suara familiar di ruang tamu kosan itu. Matanya terbelalak.

"NENEK?!MAMA?!" 

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang