Kalau kemarin Layla masih memiliki sedikit motivasi untuk berangkat kerja, hari ini sirna sudah. Ia terbaring seperti orang lumpuh di kasur. Ia sama sekali tidak mau keluar kamar dan bertemu Aldimas.
Asam lambung dan migainnya semakin parah. Ia bahkan memaksakan diri untuk meminum obat meskipun belum makan apa pun pagi itu. Aldimas hanya mengiriminya pesan singkat, bahwa ia sudah menyiapkan bubur di atas meja makan. Namun tentu saja, Layla mengabaikan itu.
Setelah kembali dari kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya, Layla kembali ke atas kasur. Tepat saat itu, ponselnya berdering tanda panggilan masuk dari mamanya. Ocehan panjang penuh kekhawatiran langsung dituangkan wanita paruh baya itu, sedangkan Layla masih diam mendengarkan.
"Gimana keadaan kamu sekarang, Sayang? Mike bilang kemarin kamu muntah-muntah. Asam lambung kamu naik lagi? Mimisan gak? Sudah minum obat?"
"Hm," Layla bergumam pelan. "Layla gak apa-apa kok, Ma."
"Aldimas gimana? Dia udah bawa kamu ke dokter?"
Mata Layla menatap ke arah pintu kamar. Entah Aldimas masih ada di rumah ini atau sudah pergi ke kantor—atau ke mana pun itu. "Iya. Mas Aldi... jagain Layla kok di sini."
Bohong. Dia malah yang bikin aku sakit, Ma.
"Maaf, ya, Ma. Mama dan Nenek pasti syok dengar gosip itu," Layla berusaha mengalihkan topik agar mamanya tidak lagi membahas Aldimas. "Layla gak nyangka kalau bakal seburuk itu."
"Iya, Mama juga gak paham sama netizen. Untungnya Mike langsung speak up, dan katanya bakal buat pernyataan resmi sama agensinya."
Layla mengangguk, meskipun tahu mamanya tidak bisa melihat. Mike juga mengabarinya soal itu. Ia meminta maaf karena lagi-lagi melibatkannya dalam rumor. Layla tidak tahu bagaimana reaksi netizen setelahnya. Ia belum berani membuka media sosial.
"Sampaikan maaf Layla ke Nenek juga, ya, Ma. Maaf Layla gak bisa jagain Nenek," lanjut Layla dengan suara bergetar.
"Kami yang harusnya minta maaf, Sayang. Maaf karena kami gak ada di sana."
Air mata Layla mengalir begitu mendengar ucapan mamanya. Gosip buruk yang datang bertubi-tubi tentang Layla membuat keluarga Darmawan sedikit berguncang. Nenek—sebagai pemimpin keluarga Darmawan—tentu syok dan kolaps sampai harus dirawat di rumah sakit. Namun, Mama beralasan kalau Nenek hanya kelelahan karena pekerjaan yayasan yang sedikit sibuk belakangan.
Mamanya pun harus menjaga Nenek, sekaligus mengambil alih yayasan sementara Nenek dirawat. Lihat, hanya dengan dua buah gosip, Layla sudah merugikan banyak orang. Terlebih, tidak ada yang bisa Layla lakukan sekarang.
"Kalau keadaannya udah lebih baik, nanti Layla ke sana ya, Ma," kata Layla setelah menarik napas panjang.
"Iya, kami tunggu, ya."
Obrolan mereka berlanjut, sampai akhirnya kata perpisahan terucap. Layla sadar, meskipun ia ingin mengobrol lebih banyak dengan mamanya, ia tidak bisa menyita waktu wanita itu lebih lama. Mamanya semakin sibuk setelah Nenek dirawat.
Lagi-lagi ini gara-gara Layla.
Ting!
Pesan masuk dari Aldimas.
Layla ingin protes, kenapa Aldimas bertingkah seenaknya seperti ini? Kenapa dirinya tidak dimintai pendapat? Kenapa Aldimas hanya menyuruhnya untuk menunggu? Apa dia setidak berguna itu? Lalu apa arti perjanjian mereka?
Namun... hatinya sudah sangat lelah.
Layla hanya bisa menangis keras dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Aldimas bahkan kembali melarikan diri dan menyerahkan semuanya kepada Diego. Mana yang salah? Kenapa semuanya bisa kacau seperti ini?
Tangisan hebat itu membuat akhirnya terlelap, saking capeknya. Energinya terkuras habis beberapa hari belakangan dengan segala masalah yang datang bertubi-tubi. Belum lagi, Aldimas kembali bersikap dingin kepadanya. Ia hanya berharap, alam bawah sadarnya masih cukup waras untuk membiarkannya tidur dengan nyenyak.
Ting! Tong!
Bunyi itu menggema di kepala Layla... ah tidak, maksudnya di seluruh rumah. Suaranya berkali-kali, bersahutan dengan suara seorang pria dari balik pintu.
"Paket! Bu Layla!"
Tidak tahu berapa lama Layla terlelap, tapi suara itu berhasil membangunkannya kembali. Kepalanya terasa semakin berat. Dengan setengah hati, ia pun beranjak dari kasur menuju pintu depan. Sialnya, ketika Layla membuka pintu, kurir itu sudah pergi dan hanya meninggalkan sebuah kotak di depan pintu.
Layla menghela napas, dan mengambil kotak itu. Nama lengkapnya tertera di sana, beserta alamat rumah ini. Hanya ada satu nama untuk si pengirim—Aldimas, yang membuat Layla akhirnya yakin untuk membawanya ke dalam.
Kenapa Mas sampai kirim paket segala? Apa gara-gara kita masih berantem? pikir Layla sambil mendudukan diri di sofa.
Kotak itu hanya kardus biasa yang tidak terlalu besar, mungkin hanya sekitar lima belas sentimeter. Hampir seluruhnya terlapisi lakban berwarna kuning, hingga membuat Layla kesulitan membukanya. Ia sampai membawa pisau kecil dari dapur untuk merobek kotak itu.
Tidak ada yang aneh sampai Layla berhasil merobek satu sisi kotak, hanya saja mulai tercium bau aneh yang membuat Layla mengerutkan dahinya. Bau itu cukup membuat perut Layla bergejolak kembali. Namun, ia tetap menahannya sampai ia bisa melihat jelas apa yang ada di dalam sana.
Dan matanya terbelalak.
Tangan Layla gemetar, dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia tidak bisa bergerak melihat bagaimana pekatnya warna merah yang bercampur bau anyir di sana.
"AAHH!"
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Name of Marriage Contract
RomanceLayla sama sekali tidak paham, kenapa pria yang menuduhnya sebagai simpanan kakek-kakek, tiba-tiba menawarkan pernikahan kontak? Terlebih, pria ini selalu datang seperti dewa penyelamat setiap kali Layla terkena musibah. Mulai dari ketika ia mabuk d...