BAB 8

2.4K 148 0
                                    

Setelah selesai perbincangan di ruangan Bu Retno, Layla segera menarik Aldimas ke salah satu ruang konsultasi. Hanya berdua. Ia ingin mendapatkan penjelasan soal semua ucapannya tadi.

Sekarang, mereka sudah duduk saling berhadapan, terhalang sebuah meja berukuran sedang. Aldimas duduk dengan santainya, bersandar pada punggung kursi. Sementara itu, Layla duduk sambil melipat tangan di dada. Matanya menatap lurus ke arah wajah datar Aldimas.

'Pria ini sikapnya udah berubah lagi. Tadi aja selalu pasang senyum bisnis, sekarang mukanya datar kayak tembok!' batin Layla jengkel.

"Jadi, Tuan Aldimas—"

"Panggil Aldimas saja," potong Aldimas datar.

Layla menghela napas dan memutar bola mata. "Oke, Aldimas. Bisakah Anda menjelaskan semuanya yang terjadi tadi?"

Aldimas mengangkat bahunya. "Singkatnya, saya sudah menyelamatkan kamu."

"Dengan menyebut saya sebagai tunangan Anda?"

"Itu satu-satunya cara."

"Apa gak ada cara yang lebih masuk akal?!" Layla sadar, kalau ia hampir saja lepas kendali. Jadi, wanita itu menarik napas panjang, sebelum melanjutkan, "Saya bahkan gak tau kalau Anda yang membawa saya ke hotel kalau bukan karena kartu nama itu."

"Ah, soal kartu nama itu." Aldimas menegakkan tubuhnya. "Kenapa kamu tidak menghubungi saya?"

Alis Layla terangkat. "Maksudnya?"

"Saya sudah menyuruh kamu untuk menelepon saya, kan?"

"Kenapa harus menelpon Anda?" Layla semakin bingung dengan jalan pikiran pria itu. Padahal tadi mereka sedang membahas soal kejadian di ruangan Bu Retno.

"Nona Layla Sarasvati," panggil Aldimas, terdengar begitu intens. "Apa Anda tidak tahu berapa kerugian yang saya tanggung gara-gara ini?"

'Apa gosipku ini merugikan dia? Tapi, bukankah sosok pria itu sama sekali gak ketahuan kalau dia gak datang hari ini? Jadi apanya yang dirugikan?' kepala Layla langsung diisi puluhan pertanyaan.

Lantas, karena Layla tidak juga menjawab, Aldimas kembali menyandarkan punggungnya ke kursi. "Kamu bahkan tidak berterima kasih pada saya karena sudah menyelamatkanmu."

Pada saat itulah Layla tersadar. Bagaimanapun, Aldimas sudah membuatnya terbebas dari forum orang tua murid, atau bahkan Menteri Pendidikan. Pembelaan seorang guru rendahan sepertinya tidak akan mudah didengar.

Entah apakah ia harus bersyukur karena Aldimas datang, atau justru merasa terjebak dengan panggilan 'tunangan' tadi.

'Ya udahlah, yang penting aku berterima kasih dulu,' putus Layla akhirnya.

Layla sedikit menundukkan kepalanya, nada bicaranya pun berubah, "Terima kasih, Aldimas karena sudah menyelamatkan saya atas gosip tersebut."

"Saya tidak butuh kata-kata." Aldimas mendengus, membuat mata Layla kembali mendelik tajam ke arahnya.

Namun, sebelum Layla menyahut, pria itu menyodorkan sebuah map ke hadapannya. "Baca ini."

Layla menggeser map itu, tapi belum membukanya. "Apa.... ini?"

"Salinan surat wasiat Opa."

'Ah... si Opa itu....' Layla kembali teringat pertemuan pertama mereka, di ruangan yang sama pula.

Aldimas tampak tidak berminat menjelaskan apa pun, jad Layla membuka map itu tanpa banyak bicara. Matanya terbelalak sejenak melihat betapa tebalnya tumpukan kertas itu. Apa surat wasiat memang biasanya setebal ini?

'Apa Nenek akan menulis sebanyak ini nanti? Eh, hush! Kurang ajar kamu, Layla!' Layla buru-buru menghilangkan pikiran itu.

Untungnya, Aldimas sudah menandai beberapa halaman yang perlu Layla baca dengan teliti, Di sana tertulis, bahwa Aldimas harus menikahinya untuk bisa menjadi pemimpin MD Group dan keluarga besar Mandrawoto, serta menerima saham milik Hardian Mandrawato, opanya.

Hal yang lebih mengejutkan adalah namanya tertulis lengkap di sana—Layla Sarasvati D., beserta profesi dan fotonya dalam lampiran.

'Ini benar data diriku. Tapi, dari mana mereka tau tentangku? Apa ini ulah Nenek? Ah, rasanya gak mungkin juga....'

Neneknya memang bawel, tapi tidak pernah membohonginya. Kalau memang ini ada ikut campur tangan Nenek, dia pasti sudah diberitahu terlebih dulu.

Belum juga Layla selesai dengan pikirannya, Aldimas menyodorkan sebuah surat lagi. Kali ini tidak setebal surat wasiat itu.

"Apa ini?" tanya Layla dan mulai membaca surat itu.

"Surat kontrak pernikahan."

"Apa?!" Mata Layla terbelalak, bersamaan dengan dibacanya tulisan besar di bagian atas itu. "Apa maksudnya?!"

Aldimas masih menatap lurus Layla. "Seperti jelas tertulis di wasiat Opa. Untuk bisa menjadi pimpinan MD Group, dan memiliki 15% sahamnya, saya harus menikah denganmu, Layla Sarasvati."

Layla hanya bisa mengerjap, terlalu kaget dengan ucapan pria itu. Aldimas tampak sangat santai, seolah 'penikahan kontrak' terdengar seperti permainan mudah untuknya.

Aldimas melanjutkan, "Jadi, mari kita menikah sampai tahun depan. Sampai rapat dewan direksi awal tahun, dan pengukuhan posisi CEO MD Group."

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang