Tidak ada yang berjalan baik setelah pembicaraannya dengan Aldimas sore itu. Menelepon Mike pun tidak membuahkan hasil. Selama beberapa hari, Layla hidup seperti zombi. Ia terlalu khawatir Aldimas tiba-tiba menerobos kamarnya dan mengajaknya tidur bersama.
Di sekolah pun Layla hampir tidak bisa berkonsentrasi. Ia berkali-kali ditegur rekannya, bahkan anak muridnya juga. Begitu pulang ke rumah, pikirannya kembali dipenuhi Aldimas.
'Lama-lama, aku bisa gila,' gerutu Layla dalam hati ketika membuka pintu kamar. Hari yang sama berulang.
"Layla," suara Aldimas memanggil dari meja makan.
Beberapa hari terakhir ini, Layla selalu berangkat lebih awal untuk menghindari Aldimas. Namun entah kenapa pria itu bisa bangun lebih pagi hari ini. Itu artinya, Layla tidak bisa menghindar.
"H-hai," sapa Layla kaku.
"Duduk. Saya rasa kita harus bicara."
Layla menggigit bibir bawahnya dan menuruti ucapan Aldimas. Perlahan, ia menarik kursi di depan Aldimas. Lalu, seolah sudah disiapkan sejak awal, Aldimas menggeser secangkir teh hangat ke hadapan Layla.
"Kenapa kamu terus menghindar?" tanya Aldimas kemudian.
Layla yang baru mengangkat cangkir tehnya pun terkesiap. "A-aku? Hahaha... gak mungkin, lah...."
"Layla."
"I-itu, karena aku sibuk!" Layla menjawab dengan cepat begitu mendengar Aldimas memanggil namanya denagn datar. "Iya! Benar! Pre-school kita ada trip ke pulau lusa."
"Dan kamu baru kasih tau saya?" Aldimas malah balik bertanya.
"Kamu yang kelola yayasan gak tau?"
Aldimas menghela napas. Tidak seperti kebanyakan wanita yang pernah berurusan dengannya, Layla ini salah satu yang sangat keras kepala. Bukannya menjawab, wanita itu akan menghindari pertanyaan dengan pertanyaan lagi.
"Jadi kamu mau terus menghindar?" tembak Aldimas langsung.
"Aku gak menghindar, ya!" ucapan wanita itu lagi-lagi berbanding terbalik dengan tindakannya. Lihat saja, ia sudah berdiri dari kursinya. "Ah, udahlah, ngomong sama kamu malah buat kepalaku sakit."
"Layla."
Layla menoleh dengan cepat, dan mengoceh, "Apa? Apa? Apa? Kalau kamu mau marahin aku, marahin yang benar! Aku itu gak takut ya sama kamu!"
Bahkan, Aldimas tidak diberi kesempatan untuk berbicara. Wanita itu menyambar tas dan ponselnya sebelum beranjak dari ruang makan. Tidak lama kemudian, terdengar bunyi pintu depan yang dibanting.
Lagi dan lagi, Aldimas tidak bisa berkutik di depan wanita itu.
***
Hari berlalu, dan tiba saatnya hari karyawisata itu. Layla sudah berangkat dari rumah sejak pukul lima subuh. Ia tidak pamit langsung kepada Aldimas, hanya mengirimkannya pesan singkat, lalu pergi menggunakan taksi online.
Layla sengaja tidak membuka ponselnya bahkan sampai ia tiba di pulau. Kalaupun nanti ada yang protes, Layla bisa menggunakan anak muridnya sebagai alasan. Tidak ada yang membantah kalau Layla sudah menyebut murid-muridnya yang seperti anak ayam bawel itu.
Setelah acara makan siang bersama, ada waktu jeda untuk beristirahat. Ada yang memanfaatkannya untuk beribadah, tidur sejenak, atau justru bermain sendiri-sendiri. Layla sendiri memilih untuk berjalan di sekitar villa, ke pinggir yang terasa panas dan sejuk dalam waktu bersamaan.
Layla memandang ke kejauhan. Berada di sini membuatnya seketika melupakan masalah yang dialaminya beberapa hari terakhir. Tentang Raikhal, permintaan Opa Hardian, sampai ajakan Aldimas untuk tidur bersama.
Mungkin, semua itu akan kembali menghantuinya begitu pulang. Namun selama masih di sini, Layla berjanji akan bersenang-senang saja.
"Heh, Boncel!"
Atau... tidak bisa. Tidak ketika Layla mendengar suara familiar itu tiba-tiba. Ia menoleh dengan cepat, sambil hatinya bergumam kalau mungkin ia salah dengar. Tidak mungkin orang yang dua hari lalu masih bersantai di apartemennya, di Amerika, sudah berada di pulau ini sekarang.
"MIKE?!" pekik Layla, sedikit horor, kaget, bingung, dan senang melihat pria itu berdiri tak jauh darinya.
Benar, Mike, si playboy yang sialnya sudah menjadi temannya belasan tahun lalu itu pulang tanpa pemberitahuan. Terlebih, mereka bertemu di sini, bukan di kota tempat Layla tinggal.
Perawakan Mike yang tinggi dengan proporsi tubuh sempurna itu tentu saja langsung mendapat banyak perhatian. Wisatawan lokal dan asing seolah menduga apakah di sini sedang ada pemotretan. Terlebih, Mike sengaja tidak mengancingkan kemejanya dan memakai celana pendek saja. Otot perutnya itu terkespos sempurna seolah sedang berteriak bangga.
"Kok, kamu bisa ada di sini?!" Layla berteriak sekali lagi ketika Mike berjalan mendekat.
"Kan, aku udah bilang, kita harus bicara soal itu saat kita bertemu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Name of Marriage Contract
RomanceLayla sama sekali tidak paham, kenapa pria yang menuduhnya sebagai simpanan kakek-kakek, tiba-tiba menawarkan pernikahan kontak? Terlebih, pria ini selalu datang seperti dewa penyelamat setiap kali Layla terkena musibah. Mulai dari ketika ia mabuk d...