BAB 82

1.5K 113 10
                                    

Ditambahin dua buat weekend muehehehe~

Seperti biasa, Sabtu Minggu libur up yaa

---------------------------


Bau pengap yang tercampur dengan bau besi berkarat dan bensin memasuki indra penciuman Layla. Kesadarannya belum pulih sepenuhnya, tetapi Layla sudah sedikit-sedikit menggerakan tubuhnya. Ya, walaupun ia tidak bisa bergerak banyak karena sepertinya tertahan sesuatu.

"Sudah bangun, Nyonya Muda?"

Suara itu terdengar berat dan serak. Kepala Layla bergerak perlahan, dan ia baru menyadari kalau sekarang sedang didudukkan di sebuah kursi reyot dengan kaki dan tangan terikat. Mulutnya pun tertutup lakban hitam, hingga membuatnya tidak bisa mengeluarkan suara apa pun.

Mata Layla membulat ketika melihat sosok tinggi di depannya. Ia otomatis bergerak gelisah, ingin melepaskan semua ikatan itu.

"Ah, ah, gak perlu repot-repot buang tenaga. Nyonya muda gak akan keluar dari tempat ini dengan selamat sebelum bajingan itu melepaskan MD."

Satu yang akhirnya Layla sadari adalah orang ini ada kaitannya dengan posisi Aldimas yang diwariskan Opa. Terlebih... ia merasa kalau pria berpakaian serba hitam dengan masker dan topi yang menutupi wajahnya itu familiar. Layla tidak asing dengan sosoknya.

"Cepat hubungi CEO Aldimas," pria itu sengaja menekan kata 'CEO' untuk mengejek Layla. "Katakan kalau istrinya ada bersama kita dan... dia harus melepaskan posisi itu kalau istrinya masu selamat."

Layla melakukan gerakan protes saat orang-orang itu mengeluarkan ponselnya. Ia memang ingin diselamatkan oleh Aldimas, tapi jika itu menyangkut posisinya sebagai CEO... Layla tidak rela. Posisi itulah tujuan Aldimas. Pernikahan ini pun terjadi karena Aldimas menginginkan posisi itu. Jika Aldimas harus melepaskannya, maka semua ini tidak akan berarti.

Layla tidak akan lagi berguna.

"Ah, sepertinya Nyonya Muda kita mau ngomong sesuatu!"

Pria bermasker itu mendekati Layla, lalu menarik lakban hitam yang menyumpal mulut Layla dalam sekali tarikan. Rasanya sangat menyakitkan, seperti kulit bibir Layla ikut terangkat. Tanpa membuang waktu, Layla langsung meludah tepat di wajah pria itu.

Cuih!

"Kalian orang-orang pengecut!" teriak Layla. "Harusnya kalian pikir, kenapa Opa lebih percaya Mas Aldi daripada kalian!"

Pria itu menggeram ketika Layla meludah. Ia pun segera mencengkeram kerah kaus Layla dan mendekatkan wajahnya. "Tau apa kamu?" bisik pria itu tajam. "Jangan banyak omong, peran kamu sebagai pion buat menghancurkan Aldimas udah selesai."

Dengan kasar, pria itu pun mendorong Layla sampai kursi itu oleng dan jatuh bersama Layla. Wanita itu bisa merasakan lengannya sakit karena menahan tubuhnya.

"Emangnya, kamu kira semua rumor itu cuma kebetulan? Gak, Sayang..."

Layla mengatur wajahnya agar tidak terlihat kaget dengan ucapan pria itu. "Dan apa kalian kira Mas Aldi peduli dengan itu? Kalian gak tau, kalau kita ini hanya menikah kontrak?"

Layla tahu, tidak seharusnya ia membongkar soal pernikahan kontrak ini. Namun, demi menyelamatkan diri dan juga posisi Aldimas, ia harus berkata seperti itu.

"Kamu bilang aku pion?" Layla tertawa mengejek. "Nyatanya, aku sama sekali gak akan berguna buat Mas Aldi turutin apa yang kalian mau."

Pria itu kembali mendekati Layla, lalu mengelus pipi Layla. Tentu saja, Layla langsung menghindarnya, hingga membuat pria itu tertawa. "Dan kamu pikir saya akan percaya?"

Dalam posisi itu, Layla bisa sedikit lebih mudah untuk meninju wajah pria itu dengan tangannya yang terikat. Ia mengeluarkan tenaga sebisanya, dan berhasil membuat pria itu sedikit limbung.

"Sampah!" teriak Layla.

Plak!

Pria itu refleks menampar pipi Layla untuk membuatnya diam. Sorot matanya terlihat dipenuhi amarah. Ia pun mendesis, dan menjambak rambut Layla untuk membuatnya kembali duduk di posisi semula beserta dengan kursinya. Sebelum melepaskan rambut Layla, ia juga memberikan sedikit dorongan, lalu menutup mulut Layla dengan lakban.

Sambil mengusap rahangnya yang baru ditonjok Layla, ia berucap kembali kepada anak buahnya di sana. "Kirimkan foto wanita ini kepada Aldimas. Biar dia tau apa konsekuensinya jika tidak bergerak cepat."

"Baik, Bos."

***

"Sial! Sial! Sial!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sial! Sial! Sial!"

Diego bisa melihat Aldimas mencengkeram ponselnya dengan begitu kuat. Beberapa menit yang lalu, pria itu mendapatkan pesan dari nomor yang tak dikenal. Lebih dari isi pesannya yang menyuruh Aldimas turun dari posisi CEO, pria itu justru lebih emosi ketika melihat foto Layla.

Ia segera menyuruh Diego melacak nomor itu. Namun sayang, nomor itu tak terdaftar. Jadi, walaupun ia bisa melacak posisinya, mereka tidak bisa mengetahui siapa pemilik nomor itu dalam waktu singkat. Setidaknya, Diego dan orang-orangnya membutuhkan waktu 24 jam untuk mendapatkan data yang lengkap.

"Sabar, Al. Jangan bertindak gegabah." Diego yang sedang menyetir berusaha semampunya untuk menenangkan Aldimas. Ia terus mewanti-wanti Aldimas untuk tidak membuat gerakan apa pun—sekecil menghubungi sekretarisnya. "Mereka cuma nunggu lo buat kesalahan."

Aldimas hanya mengangguk.

Diego tahu, pria itu pasti rela membuat pengumuman saat itu juga demi menyelamatkan Layla. Masalahnya, mereka belum tahu lawannya seperti apa. Apakah Layla terjamin akan selamat jika Aldimas menuruti kemauannya? Belum tentu.

Sekarang, mereka sudah sampai di gerbang masuk dermaga di sebuah pelabuhan. Dermaga ini letaknya di paling ujung, sehingga membuatnya sepi dari aktivitas bongkar-muat. Mike yang memberitahunya, dan sudah dikonfirmasi oleh orang-orang Diego.

Ya... di luar suka membuat skandal, Mike ternyata cukup berguna. Diego tidak tahu kalau pria itu juga memiliki koneksi yang luas.

Mata Diego memicing ketika melihat satu sosok yang berdiri tepat di tengah-tengah gerbang. Pria itu mengantungkan kedua tangannya di saku, seolah sedang menunggu kehadiran Aldimas. Melihat wajah datarnya itu, Aldimas tiba-tiba dipenuhi amarah.

Sudah ia duga, Satria yang menjadi dalang semua ini.

Aldimas segera keluar dari mobil Diego, bahkan sebelum pria itu menjelaskan. Teriakan Diego diabaikannya. Aldimas hanya terus berlari ke arah Satria, dan langsung melayangkan tinjuan keras ke hidung pria itu.

"Bangsat!"

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang