BAB 70

1.3K 96 0
                                    


Aldimas menghela napas, lalu berjalan masuk. Ia berdiri tepat di depan Layla, sebelum dengan lembut merembut ponsel itu dari tangannya. Ia membawa kepala Layla ke dalam pelukannya.

"Jangan lihat lagi. Aku yang akan menanganinya," ucap Aldimas kemudian.

Layla hanya mengangguk. Sepertinya, ia masih setengah sadar karena kata-kata yang dilihatnya pagi ini. Ia masih linglung, pikirannya setengah kosong bahkan saat berdiri dari kasur.

"Mau ke mana?" tanya Aldimas begitu Layla beranjak dari kasur.

"Kerja...."

"Gak mau cuti dulu?"

Layla menggeleng lemah. "Aku gak apa-apa...."

Aldimas tidak menahannya lagi ketika Layla berjalan ke arah kamar mandi. Namun, begitu sampai di depan wastafel, Layla tidak bisa menahan dirinya lagi. Air matanya mengalir deras, bersamaan dengan sesak yang terus menghimpit dadanya. Seluruh tubuhnya gemetaran. Ini adalah perasaan takut yang tidak bisa digambarkan.

Dari dulu, Layla tidak suka menjadi pusat perhatian. Itulah kenapa ia juga jarang memakai nama belakangnya. Ia menolak jabatan sebagai ketua yayasan Darmawan, melarang Mike mengikuti akun Instagram-nya, sampai hanya memiliki segelintir teman dekat saja. Namun hari ini, semua perhatian dunia mengarah kepadanya.

Membanyangkan itu membuat perut Layla bergejolak. Asam lambungnya sepertinya naik lagi, hingga membuatnya memuntahkan cairan bening ke dalam wastafel. Setelah membersihkan mulutnya, Layla pun bercermin. Wajahnya jauh lebih kacau dari kemarin.

"Oke, cepat mandi, cepat sarapan, cepat berangkat, dan cepat pulang," Layla memberikan afirmasi positif kepada dirinya sendiri.

Ia melakukan semua itu lebih cepat dari biasanya. Berdandan pun hanya seadanya, asalkan wajahnya tidak terlalu pucat. Layla juga sengaja menurunkan rambut sepunggungnya, untuk menutupi sebagian wajahnya yang tampak tak baik itu. Setelah selesai, ia keluar dari kamar dan duduk di meja makan, di mana Aldimas sudah menunggu.

"Sarapan dulu, Lay," ucap Aldimas, sambil menggeser bubur ayam—yang pasti dibelinya di depan kompleks—dan segelas teh hangat.

Layla duduk dan memandangi bubur itu. Kepalanya berputar seketika, apalagi ketika mencium aroma kari dari bubur itu. Entah kenapa hari ini aroma karinya tercium begitu kuat. Migrain Layla berkecamuk lagi, membuat perutnya semakin kacau.

"Kenapa, Lay?" tanya Aldimas karena Layla hanya diam saja memandangi mangkuk bubur itu dengan pandangan aneh.

"Sebentar, Mas." Layla bangun dari kursi dan pergi ke tempat cuci piring.

Ia kembali memuntahkan cairan bening itu. Tangannya menggenggam erat pinggiran tempat cuci piring. Dulu dia juga pernah seperti ini, ketika stres menyusun skripsi. Bahkan saat itu ia harus mendapat infusan karena pingsan dengan hidung mimisan.

Namun kali ini, rasanya jauh lebih melelahkan. Apa ini gara-gara umurnya sudah semakin tua? Atau tingkat stresnya sudah tidak manusiawi?

"Kamu gak apa-apa? Mau ke dokter?" Aldimas mendekat, lalu mengusap-usap punggung Layla dengan lembut.

Layla menggeleng. "Aku minum obat aja, Mas. Yang biasa."

"Tapi tetap harus makan dulu."

"Tapi, Mas—"

"Makan dulu, ya?" Walaupun terdengar memaksa, tapi Aldimas masih menggunakan nada yang lembut. "Dan kamu istirahat aja dulu hari ini, gak usah ke sekolah."

Layla sepertinya tidak ada tenaga untuk melawan ucapan Aldimas. Akhirnya, ia hanya mengangguk. Ia pun digandeng Aldimas untuk kembali duduk. Kali ini, Layla sampai harus menahan napas agar bisa menelan bubur itu. Satu, dua, sampai lima suap bisa ditelannya, sampai akhirnya tidak sanggup lagi karena perutnya terus bergejolak.

Aldimas membantunya kembali rebahan di kamar. Ia juga memberikan Layla paracetamol dan obat lambung. Pria itu tetap di sana sampai memastikan Layla aman dan nyaman rebahan di sana.

"Mas ke kantor dulu, dan... Mas usahakan agar bisa pulang cepat," ucap Aldimas sambil mengusap kepala Layla. "Kamu jangan ke mana-mana dulu, gak perlu pegang HP kalau gak urgent, dan... kalau bisa jangan hubungi Michael Hartono dulu."

Layla hanya mengangguk lemah. Sepertinya efek obat itu mulai bekerja, ia jadi semakin mengantuk.

Aldimas mengecup kening Layla sekali, lalu mengusapnya lagi. Setelah itu, ia pun keluar dari kamar. Dalam keadaan setengah sadar, Layla mendengar suara mobil Aldimas meninggalkan perkarangan rumah.

Layla tidak tahu seberapa lama ia terlelap setengah sadar seperti itu, sampai akhirnya mendengar suara bel berbunyi berkali-kali. Ia memandangi langit-langit kamarnya, berharap kalau bunyi bel itu hanya ilusi. Namun, bel itu tidak juga berhenti.

Sambil menghela napas, Layla pun terpaksa beranjak dari kasurnya. Ia melihat ke layar interkom, dan langsung mengerutkan dahi.

"Ngapain Mike ke sini?"

Seakan lupa dengan pesan Aldimas tadi, Layla berjalan ke arah pintu dan membukanya. Tanpa dipersilakan, Mike langsung melangkah masuk dengan terburu-buru.

"Kenapa kamu gak pernah cerita soal Raikhal, hah?!" serang Mike langsung. "Kamu bilang itu cuma putus biasa, terus apa yang orang-orang bilang itu?! Kamu nikah sama Aldimas cuma sebulan setelah putus?!

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang