BAB 31

1.7K 112 0
                                    


Lagi-lagi Satria malah tertawa. "Oh, kalian benar-benar lucu."

Lalu, sebelum Aldimas bertanya apa maksudnya itu, Satria sudah berdiri dari duduknya. Ia berjalan mendekati Aldimas yang masih berdiri di sana. Sebelumnya, Aldimas tidak pernah merasa muak dengan segala tingkah Satria. Namun kali ini, melihat pria itu duduk di ruang tamu rumahnya, mengobrol hanya berdua dengan Layla, ia hampir kehilangan kendali.

Satria menepuk pundak Aldimas dua kali. "Jangan sampai menyesal, Kak. Kak Layla... sepertinya wanita yang baik."

Pria itu pun berjalan ke arah pintu sebelum Aldimas mengusirnya lagi. Aldimas bergeming di sana, bahkan setelah ia mendengar suara pintu tertutup.

'Satria tau soal kontrak itu? Dari mana?' tubuh Aldimas mendadak kaku.

Aldimas menoleh ke arah pintu kamar Layla. Tidak mungkin juga wanita itu secara gamblang menceritakannya kepada Satria. Walaupun sifat Layla agak menyebalkan, tapi ia bukan wanita yang terlalu polos.

Aldimas akhirnya berjalan menuju pintu itu. Ia mengetuknya sebanyak dua kali dan memanggil, "Layla?"

Tidak perlu waktu lama sampai Layla membuka pintu itu. "Satria udah pulang?" tanyanya langsung.

Aldimas mengangguk.

Untuk beberapa detik, mereka hanya saling berpandangan dalam suasana canggung. Layla seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi terlihat menahan diri.

"Kamu... ah, gak jadi," wanita itu membuka suara, tapi dengan cepat pula meralatnya. "Omong-omong, Satria mention soal kontrak pernikahan. Aku tahu, kamu gak bakal bocorin itu ke siapa pun, tapi ya... in case."

"Saya gak pernah cerita ke siapa pun," sahut Aldimas langsung.

Layla mengangguk. "Oke."

Mendengar nada acuh tak acuh Layla, Aldimas menambahkan. "Saya serius."

"Iya, iya, aku tau." Layla mendorong pelan pundak Aldimas agar menyingkir dari depan pintu kamarnya. Wanita itu pun berjalan ke ruang tamu untuk membereskan cangkir bekas Satria tadi.

Aldimas mengikutinya dari belakang. "Besok kita temui Opa."

"Ah, itu juga yang mau aku tanyain." Layla berhenti sejenak dan menoleh. "Kamu kok gak cerita kalau opamu itu udah siuman?"

Aldimas mengalihkan pandangannya dari Layla. Ia tidak mau wanita itu tahu cerita di balik semua ini. "Itu gak terlalu penting."

"Tapi, kita menikah gara-gara wasiat opa kamu. Terus, opa kamu siuman—bukan maksudku nyumpahin opa kamu meninggal, dan... kita harus gimana sekarang?"

Aldimas memegang punggung tangan Layla yang masih memegang cangkir itu. Lalu perlahan, mengambil alih cangkirnya, beserta dengan piring kecil di tangan Layla yang lain.

"Kita akan temui Opa dulu, baru nanti akan pikirkan jalan lain," ucap Aldimas, lalu membawa benda-benda itu ke dapur.

***

"Gak perlu tegang begitu."

Layla melirik ke arah Aldimas yang tampak seratus persen normal dan baik-baik saja—maksudnya, dengan wajah datar, tatapan acuh tak acuh, dan postur tegak seperti tiang bendera. Mereka sedang menyusuri lorong rumah sakit untuk menuju ruang rawat VVIP. Lorong ini begitu sepi, tidak seperti saat di lobi tadi. Sepertinya, memang hanya orang tertentu saja yang diperbolehkan naik ke lantai ini.

Seorang pria paruh baya langsung menghampiri Aldimas begitu melihat kehadirannya. Ia memakai pakaian sangat rapi, mirip dengan Aldimas.

"Tuan Besar sudah menunggu Anda, Tuan Aldimas," ucap pria itu.

Aldimas mengangguk, tanpa mau memperkenalkan dulu siapa pria paruh baya itu. Alhasil, Layla pun hanya melempar senyum canggung sambil mengangguk singkat, lalu mengikuti langkah lebar Aldimas.

Pintu kamar rawat Opa berada di paling ujung lorong. Sepertinya itu sengaja dipilih untuk menghindari keramaian. Ya... walaupun sebenarnya lorong VVIP ini pun sudah sangat sepi.

Aldimas membuka pintu dan masuk, diikuti oleh Layla dan pria paruh baya tadi. Di tengah ruangan, seorang pria tua yang tampak agak kurus tengah duduk di atas brankar. Tangannya dipasangi selang infus, ia juga masih dipasangi selang oksigen. Begitu Aldimas melangkah masuk, pria itu langsung meletakkan surat-surat yang sedang dibacanya.

"Akhirnya kamu datang juga, Mas... Mas...," ucap Opa dengan nada mengeluh.

"Maafkan saya," jawab Aldimas.

Layla menatap wajah Aldimas. Layla kira, Aldimas seakrab itu dengan opanya, mengingat bagaimana dulu ia sangat bersemangat menuduh Layla. Namun, melihat Aldimas menjawab opanya dengan begitu formal, sepertinya itu tidak benar.

"Layla, apa kabar?"

Mendengar suara serak itu memanggil namanya, Layla pun menoleh. Di dalam hatinya, ia masih penasaran kenapa namanya keluar menjadi syarat agar Aldimas bisa mewariskan perusahaan. Keluarganya tidak pernah berhubungan dengan Mandrawoto, dan Layla yakin sekali kalau ini adalah pertemuan pertamanya dengan Opa.

"B-baik, Opa," jawab Layla dengan canggung.

Mungkin, karena melihat gurat kebingungan di wajah Layla, pria tua itu kembali bertanya, "Kamu gak ingat saya, ya?"

Layla mendongak, menatap Aldimas yang berdiri di sebelahnya. Aldimas juga sedang menatapnya. Gestur kecil itu menunjukkan kalau pria itu sama tidak pahamnya dengan Layla.

Opa mengangkat tangannya, memberikan gerakan untuk Layla mendekat. Layla pun menurut, dan bertukar posisi dengan Aldimas.

"Norman, tolong ambilkan kotak kecil di sana." Opa menunjuk sebuah kotak yang ada di atas sofa.

Pria paruh baya bernama Norman itu menuruti perintah Opa. Ia membawakan benda itu, lalu meletakkannya di pangkuan Opa. Dari tampilannya, kotak itu terkesan sangat antik dan mahal.

'Apa Opa mau kasih aku harta karun?' Layla segera menepis pikiran konyol itu. Mana mungkin orang tua itu memberikan barang berharga di pertemuan pertama mereka.

Dengan hati-hati, Opa membuka kotak kayu berukir emas itu. Ia mengeluarkan sebuah kain kecil berwarna merah muda dengan aksen renda di tepinya. Benda itu tampak seperti selembar sapu tangan.

Opa mengulurkan sapu tangan itu dengan tangan kurusnya kepada Layla. "Kamu berikan ini kepada saya waktu itu. Kamu gak ingat?"

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang