BAB 83

1.4K 119 9
                                    


Satria limbung, dan akhirnya jatuh tersungkur di tanah. Kesempatan itu tidak disia-siakan Aldimas. Ia pun langsung menduduki perut Satria dan menghujani pria itu dengan puluhan tinjuan di wajah.

Satria pasrah tanpa perlawanan. Ia seolah siap mati karena pukulan Aldimas. Hal itulah yang membuat Aldimas semakin geram. Ia tidak mau berhenti meskipun wajah Satria sudah penuh lebam dan hidungnya mengeluarkan darah.

"AL!"

"WOY! WOY! TAHAN DULU!"

Tidak hanya suara Diego, Mike terdengar juga berteriak dari jauh. Entah sejak kapan pria itu ada di sana, Aldimas tidak peduli. Ia hanya ingin menghancurkan wajah Satria saking muaknya. Bisa-bisanya orang yang menyakiti Layla adalah orang terdekatnya.

"Al! Udah cukup!" Diego menarik tubuh Aldimas bersama satu orang bawahannya. Sedangkan Mike membantu Satria untuk bangun.

"Lepas!" Aldimas semakin memberontak. "Gue yang punya nama Mandrawoto, bukan Layla! Jangan libatkan dia, bangsat!"

"Al! Tenang dulu!" Diego menahan dada Aldimas yang ingin maju lagi. "Justru Satria yang kasih tau keberadaan Layla."

"Itu karena dia pelakunya!"

"Ayahku pelakunya," suara serak dan terdengar seperti bsikan itu menjawab. Satria yang kepayahan mencoba untuk melepaskan rangkulan Mike dan berjalan mendekat ke arah Aldimas.

"Apa?" Aldimas mendengus. "Lo mau bilang kalau mayat—"

"Norman Gumelar," potong Satria. "Dia ayahku."

Mata Aldimas membulat, dan tidak bisa berkata-kata. Ya... persis seperti Satria ketika mengetahui kenyataan itu. Ia tidak sengaja mendengar pembicaraan mamanya dengan Norman di ruang belajar waktu itu. Satria mungkin akan pura-pura bodoh kalau obrolan mereka hanya seputar bagaimana menjatuhkan Aldimas, tapi tidak ketika mendengar sebuah ucapan dari Norman.

"Sekarang kita harus gimana, dong, Mas?! Aku gak sudi kalau anak haram itu dapat semuanya! Apa Mas lupa sama janji Mas ke aku?!"

"Gak, Mas gak akan lupa. Demi anak kita, aku akan melakukan apa pun."

Terdengar suara mamanya mulai terisak. "Maafin aku, Mas. Aku... aku masih belum bisa mengakui kamu di depan Satria. Aku masih belum bisa jujur, Mas."

"Sst... Farah, gak apa-apa, kamu tenang saja. Asalkan kamu dan Satria bahagia, aku pasti akan bahagia di samping kalian. Walaupun dia tidak pernah memanggilku ayah."

Satria jijik akan dirinya sendiri. Selama ini, ia membanggakan diri sebagai satu-satunya ketuurnan sah Wirdha Mandrawoto. Namun nyatanya, ia tidak lebih dari parasit yang dijadikan pion oleh orang tuanya.

Satria tidak tahu siapa dirinya sekarang.

"Jangan bercanda!" teriak Aldimas.

Satria tidak sadar kalau Aldimas sudah berdiri tepat di depannya, dan mencengkeram kerah bajunya. Orang-orang di sana tampak ingin menahan Aldimas lagi, tapi Satria mengangkat tangannya, meminta mereka untuk berhenti.

"Kamu... adalah anak Wirdha Mandrawoto!" Aldimas menggeram, lalu menghempaskan tubuh Satria sampai terdorong ke belakang.

Satria tidak menjawab. Entah Aldimas terlalu bodoh sehingga tidak mengerti ucapannya, atau dirinya sangat menyedihkan sampai-sampai Aldimas berkata begitu. Bekas tinjuan Aldimas masih terasa sakit, tapi tak sebanding dengan nyeri di hatinya.

"Jangan sampai aku ulangin ucapanku." Aldimas melewati Satria dengan sedikit menyenggol bahunya. Pria itu sudah memimpin pasukan untuk masuk ke salah satu gudang yang ada di dermaga itu.

Langkah Aldimas semakin menjauh, dan Satria akhirnya jatuh bersimpuh di sana. Tanah gersang dermaga menjadi saksi tangisan perih seorang pria berumur 26 tahun itu. Satria sudah tidak peduli berapa banyak warisan yang akan ia dapatkan. Ia juga tidak peduli kalau Aldimas merebut semua yang ia punya. Semua tidak ada maknanya lagi. Satria kehilangan jati dirinya.

Kalau bukan Mandrawoto, lantas aku siapa?

Hal yang sama berlaku untuk Aldimas. Selama puluhan tahun ia dikhianati oleh papa dan opanya sendiri. Mereka yang tidak berkata apa-apa saat dunia memanggilnya 'anak haram'. Mereka yang membiarkan Aldimas sakit dan kedinginan sendiri. Mereka yang tidak meninggalkan kasih sayang, melainkan harta melimpah untuk menebus dosa.

Semua hanya melihatnya sebagai sebuah komoditas. Sesosok manusia yang dijadikan pion dalam permainan kekuasaan. Tidak ada yang melihatnya sebagai Aldimas Noah seutuhnya—tanpa nama Mandrawatoto di belakangnya.

Atau mungkin ada....

Aldimas mengepalkan tangannya. Mungkin ada, dan wanita itu ada di dalam sana sedang ketakutan.

"Pak Al," suara Mike tiba-tiba membuyarkan lamunan Aldimas. Dia kembali menggunakan bahasa sopan kepada Aldimas. "Om Beni bilang, bagian luarnya udah clear. Kita udah bisa dobrak masuk ke dalam."

Aldimas hanya mengangguk, dan Mike pun langsung mengabarkan ke pria bernama Om Beni itu melalui talkie-walkie.

Meskipun begitu banyak pertanyaan Aldimas untuk Mike sekarang—seperti dari mana dia kenal pensiunan tentara yang punya banyak pasukan bawah tanah itu, dan kenapa dia bisa bersikap normal seperti ini—lebih baik ia tahan sekarang. Penyelamatan Layla jauh lebih penting.

Aldimas pun mulai bergerak mengikuti Mike dan Diego yang sudah melangkah lebar di depannya.

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang