Resepsi pernikahan Poppy diadakan di sebuah ballroom utama hotel mewah. Layla tidak sempat mengikuti upacara pemberkatannya, jadi sebisa mungkin menghadiri resepsi dari awal. Poppy tampak cantik dengan wedding dress berwarna biru langit, dengan efek bunga sakura tiga dimensi.
Wanita itu melambai kepada Layla ketika melewati karpet merah yang disediakan. Ia tampak terharu karena Layla bisa datang ke acara pernikahannya. Jujur saja, sampai kemarin pun Layla masih ragu haruskah ia kembali ke kota ini atau tidak. Poppy pun sempat mewanti-wantinya, dan tidak memaksa jika Layla memang tidak bisa. Namun pada akhirnya, Layla bisa memantapkan hati.
Ia tidak menyesal datang ke sini. Melihat Poppy tersenyum bahagia, dan digandeng oleh seorang pria gagah terasa sangat mengharukan. Layla memang pernah menikah, tapi pasti rasanya berbeda dengan Poppy. Saat itu, acara pernikahan mereka hanya sebatas formalitas, dan senyum yang Layla tunjukkan hanyalah topeng.
Setelah menyapa Poppy, Layla bergabung dengan yang lain. Para guru tempatnya mengajar dulu juga datang. Mereka terus menanyakan kabarnya serta Aldimas. Untungnya, Layla sempat menyimpan beberapa jawaban agar membuat mereka tidak menggali lebih lanjut.
"Aku lihat-lihat, kayaknya Pak Aldi lebih sering sendiri deh. Kamu lagi berantem ya? Atau... mau cerai?" ucap Muti, salah seorang guru yang terkenal dengan mulut julidnya.
Layla pun tersenyum tipis. "Aku emang belakangan ini pulang kampung. Nenek lagi sakit, dan Mama kerepotan, jadi aku yang jagain beliau. Mas Aldi tahu kok."
Jawaban itu tidak sepenuhnya benar, tapi tidak juga bohong. Aldimas memang tahu kalau dirinya "pulang" ke rumah. Mereka pun belum resmi bercerai, walaupun Mama sudah siap mendampingi Layla kapan pun jika dirinya siap. Di satu sisi, Aldimas dan Layla juga tidak pernah berkomunikasi intens lagi.
Obrolan mereka pun berpindah ke topik lain. Sampai akhirnya, Layla mohon izin untuk ke kamar mandi sejenak sambil menunggu sesi foto grup. Setelah sekian lama tidak bertemu teman-teman, rasanya cukup menyenangkan bisa berinteraksi lagi.
"Hei," seseorang menyapa Layla yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Layla terkesiap, sampai mundur satu langkah. Pria tinggi di depannya memakai jas hitam dengan dasi berwarna biru tua. Senyumnya tampak cerah, dan wajahnya menunjukkan sisi lembut yang tidak pernah Layla lihat sebelumnya.
"Ng... Kakaknya Poppy, kan? Dante?" Layla menebak, khawatir kalau ia salah mengira. Tadi, Poppy sempat memperkenalkan mereka.
"Iya." Pria itu terkekeh sambil menggaruk pipinya. "Aku mau ngobrol—"
"Eh, maaf." Layla tanpa sadar memotong ucapan pria itu saat ada seseorang yang ingin masuk ke kamar mandi. Posisi mereka yang berdiri di dekat pintu ternyata menghalangi jalan beberapa orang.
"Tadi mau tanya apa, Mas?" Layla bertanya lagi kepada pria itu.
"Kita ngobrol di tempat lain gimana? Kesannya kayak mau ngantre ke WC juga kalau di sini," sahut Dante sambil terkekeh canggung.
Layla ikut terkekeh dan akhirnya mengikuti langkah Dante keluar dari lorong itu. Mereka juga mengobrol kecil sambil berjalan menuju salah satu meja berisi minuman. Dante ternyata cukup pandai berbicara. Ia bisa membawa topik apa pun sebagai bahan obrolan. Mungkin karena pekerjaannya sebagai legal di perusahaan, dia memiliki kemampuan mempersuasi orang.
Obrolan mereka pun terhenti ketika MC mengumumkan sesi foto untuk rekan-rekan kerja Poppy.
"Layla," Dante menahan Layla sebelum pergi, dan menyerahkan sebuah kartu nama. "Itu... kartu namaku. Kalau kamu butuh konsultasi soal hukum, atau ya... paling gak butuh bantuan buat pasang bohlam pun, bisa banget hubungin nomor itu."
Entah apa yang Poppy bilang kepada Dante sampai kakaknya itu berani mendekatinya begini. Sampai saat ini, status Layla masih menjadi istri Aldimas, rasanya tidak etis juga menghubungi pria lain tanpa sepengetahuan Aldimas. Namun, karena Dante adalah kakak Poppy dan dia juga pria baik, Layla pun menerimanya.
"Oke," jawab Layla. "Aku ke sana dulu, ya."
Dante mengangguk.
Layla segera bergabung dengan yang lain untuk berfoto. Godaan-godaan untuk Poppy pun datang bergantian. Tentu saja, tidak ada yang menyangka jika guru paling imut di Serenity Spring mendapatkan seorang dokter tampan.
Setelah selesai, Layla pun langsung pamit untuk pulang. Sebenarnya tidak pulang, ia menyewa satu kamar di hotel ini dan pesawatnya baru berangkat besok pagi. Namun sebagai manusia introver, energi sosial Layla sudah habis sekarang.
Heels tujuh sentimeter mulai terasa menyiksa kaki Layla. Ia buru-buru keluar dari ballroom sebelum ada yang mengajaknya bicara lagi. Layla hanya perlu menemukan lift untuk membawanya ke lantai 17, tempat kamarnya berada.
Kakinya yang sudah pegal, pinggang yang mulai sakit, serta tenaganya yang hanya tinggal setengah, adalah kombinasi sempurna untuk keadaan Layla saat ini. Ia sampai tidak memperhatikan jalan, dan tersandung kakinya sendiri. Untungnya, Layla bisa meraih tembok di dekatnya sebelum benar-benar jatuh menghantam lantai.
Tapi kok, temboknya empuk begini?
Layla melirik tangannya. Ternyata itu bukan tembok, melainkan dada seorang pria yang memakai jas hitam. Tanpa sengaja, Layla tersandung dan terjatuh di pelukan pria itu.
"Ah, maaf—"
Deg!
"Kamu gak apa-apa?"
Air mata Layla hampir menetes tanpa sadar begitu mendengar suara berat itu. Sebuah kalimat sederhana yang selalu ia ucapkan kepada Layla, kini bisa didengarnya kembali. Tangan Layla secara refleks meremas jas pria itu.
"Layla?"
Iya, panggil aku kayak gitu lagi.... mata Layla mulai berkaca-kaca.
"Kamu gak apa-apa?" pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya akhirnya menyadarkan Layla. Wanita itu pun menegakkan tubuh dan menjauhkan tangannya dari dada pria itu.
"Aku...." Layla mendadak tidak tahu harus menjawab apa. Kakinya memang tidak apa-apa, tapi hatinya bermasalah. Melihat pria itu berdiri di depannya, Layla tidak tahu harus senang atau marah. Emosinya bercampur aduk sekarang.
"...Gak apa-apa," jawab Layla kemudian dengan suara pelan.
"Syukurlah," sahut pria itu. "Kalau gitu aku pergi—"
Mendengar kata 'pergi', tangan Layla refleks meraih pergelangan tangan pria itu. Bukan hanya pria itu, Layla sendiri bingung dengan reaksi tubuhnya. Matanya membulat, tapi rasanya terlalu telat untuk menariknya kembali.
Mulut Layla mulai bergerak tak kendali saat melihat tatapan tajam pria itu. "Kaki... kaki aku kayaknya keseleo."
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Name of Marriage Contract
RomansaLayla sama sekali tidak paham, kenapa pria yang menuduhnya sebagai simpanan kakek-kakek, tiba-tiba menawarkan pernikahan kontak? Terlebih, pria ini selalu datang seperti dewa penyelamat setiap kali Layla terkena musibah. Mulai dari ketika ia mabuk d...