Pesta berjalan dengan lancar. Setelah Aldimas memberikan kata sambutannya, ia kembali berbaur dengan para kolega. Sepanjang itu, ia tidak melepaskan tangannya dari Layla. Sebenarnya itu bukan hal yang buruk, hanya saja Layla mulai merasa lelah sekarang.
Kakinya terasa sakit karena lama berdiri menggunakan sepatu hak tinggi. Belum lagi aroma samar alkohol dari minuman yang berjajar di sana dan campuran berbagai macam parfum. Kepala Layla terasa berputar, sampai perutnya kembali bergejolak.
"Mas," panggil Layla pelan sambil menarik sedikit ujung jas Aldimas. "Aku boleh duduk di sana?"
Aldimas menoleh dan tampak terkejut dengan dirinya sendiri. Sepertinya ia baru sadar kalau sudah membawa Layla berkeliling tanpa henti sedari tadi.
"Mau Mas temenin?" tanya Aldimas.
Layla menggeleng. "Gak apa-apa. Mas ngobrol aja, aku tunggu di sana."
Aldimas tidak langsung menjawab. Wajahnya terlihat ragu-ragu untuk melepaskan tangan Layla. Namun pada akhirnya, pria itu mengangguk juga dan melepaskan tangan Layla.
"Jangan jauh-jauh, ya. Panggil Mas atau staf di deket kamu kalau ada apa-apa," pesan Aldimas.
Layla hanya mengangguk dan segera beranjak dari tempat itu. Ia duduk di salah satu meja yang memang disediakan untuk para tamu undangan. Lalu entah dari mana, tiba-tiba ada seorang pelayan katering membawakan kue-kue dan beberapa potong buah.
"Pak Aldi yang nyuruh saya bawain buat Ibu," ucap pelayan itu ketika Layla bertanya.
Layla menoleh, dan mendapati kalau Aldimas juga sedang melihat ke arahnya. Pria itu hanya mengangguk pelan, seolah menyuruhnya makan itu selagi menunggu.
"Kalau gini, gimana aku bisa marah lama-lama sama Mas Aldi!" Layla menggerutu sendiri sambil melahap sepotong melon.
"Akhirnya Nyonya Mandrawoto istirahat juga, ya." Sebuah suara tak asing membuat Layla menoleh. Mike sudah berdiri di sampingnya sambil membawa segelas sampanye.
"Kayaknya kamu juga gak jauh sibuknya deh," komentar Layla. Sedari tadi, Mike—selaku brand ambasador sekaligus model utama produk baru ini—selalu sibuk dengan wawancara dan foto dengan wartawan.
"Biasalah...." Mike mengambil duduk di kursi sebelah Layla. "Wartawan gak mau pergi kalau belum diladenin semua."
"Kayaknya gak cuma wartawan deh. Aku lihat kamu juga asyik banget foto-foto sama ciwi-ciwi gemeush." Layla sengaja mengeluarkan nada mengejek di akhir kalimatnya.
"Come on... no one can't resist my charm."
Layla memutar bola matanya. "Oh, please."
Kemudian tiba-tiba hening mengisi keduanya. Layla fokus menusuk-nusuk kue di depannya, sedangkan Mike menatap lurus ke depan sambil meminum sedikit demi sedikit sampanye itu.
"Kamu lagi ada masalah ya sama si Mandrawoto?" tanya Mike tiba-tiba.
Layla menoleh, masih dengan garpu di mulutnya. "Huh?"
"Muka kamu beda dari tadi."
"Sok tau kamu!"
"Lay, I've been your friend for more than 10 years. Masa baca ekspresinya aja gak tau."
"Cuma berantem biasa kok." Layla menghela napas, dan mengalihkan pembicaraan. "Makanya kamu nikah dong, biar ngerasain berantemnya suami-istri gimana."
Kali ini berhasil. Mike tampak kesal dan mengacak poni Layla dengan gemas. "Gak usah pamer!"
***
"Istrimu sama Michael deket banget, ya?"
Pertanyaan Yunita sukses membuat Aldimas mengalihkan pandangannya dari dua orang yang duduk di sana itu. Ah, dia baru ingat kalau Yunita bergabung dengannya beberapa saat lalu.
Awalnya, Aldimas hanya mengobrol dengan para direktur perusahaan rekanan, sampai akhirnya Yunita datang dan mengambil posisi di sebelahnya. Wanita itu terus memamerkan keakraban keduanya di hadapan orang-orang itu. Bahkan, ia tanpa ragu mengatakan kalau mereka berdua sangat dekat karena pernah berkuliah di tempat yang sama.
Aldimas mulai jengah, tapi tahu tidak bisa mengusir Yunita begitu saja. Ia juga tidak bisa pergi tiba-tiba. Lalu, saat mengalihkan pandangan untuk memeriksa keadaan Layla, ia melihat Michael Hartono sudah duduk bersama istrinya di sana.
"Mereka udah temenan lama," jawab Aldimas singkat, lalu meminum sampanye di tangannya.
"Kita juga temenan lama, tapi gak sampai se-touchy itu."
Aldimas semakin jengah. Ia pun menoleh ke arah Yunita sambil menghela napas. "Apa yang mau kamu omongin, Yun?"
"Gak ada. Aku cuma penasaran sama hubungan kedua orang itu." Yunita mengangkat bahunya dengan santai. "Don't you feel the same?"
"Gak," jawab Aldimas tegas. "Aku percaya istriku."
Jawaban tegas Aldimas sepertinya tidak memenuhi ego Yunita. Wanita itu malah menggigit bibir bawahnya, lalu kembali melirik ke arah Layla dan Mike.
"Kamu percaya, tapi apa dia juga? Apalagi... Michael lebih lama berhubungan sama dia. Bukannya aku pernah bilang? Laki-laki dan perempuan itu gak bisa berteman."
"Kita pun begitu," sahut Aldimas dengan cepat.
Kali ini, ekspresi Yunita berubah dengan drastis. Bibirnya yang dipoles lipstik merah marun itu merekah, dan matanya berbinar. Ia seperti melihat harapan dalam ucapan Aldimas.
"Oh? Jadi kamu—"
"Selain urusan kantor, aku harap kamu gak hubungin aku lagi, Yun."
Aldimas meletakkan gelas sampanyenya di meja terdekat, lalu pergi begitu saja dari hadapan Yunita. Ia berjalan mendekati Layla yang masih duduk di sana, tanpa peduli kalau Yunita tengah mengepalkan tangannya di sana.
"Udah selesai, Mas?" Layla yang menyadari kehadiran Aldimas pun langsung bertanya kepada pria itu.
"Hm." Aldimas hanya berdiri di belakang kursi Layla. Matanya melirik tajam ke arah Mike, sebelum kembali berbicara kepada wanita itu, "Kamu mau pulang?"
Layla mengangguk pelan. "Kalau Mas gak keberatan...."
"Ayo."
Aldimas mengamit tangan Layla, membantunya untuk berdiri dari kursi. Layla pun berpamitan singkat dengan Mike, yang membuat Aldimas lagi-lagi mendengus. Setelah selesai, ia segera menarik pelan tangan Layla dari sana.
"Tunggu," suara Mike yang memanggil kembali menghentikan gerakan mereka.
Layla dan Aldimas menoleh. Kali ini, Aldimas tidak bisa menyembunyikan wajah jengkelnya di hadapan Mike. Lo mau apa lagi? Batinnya bergejolak.
"Bapak gak bisa bawa pulang Layla begitu aja."
Aldimas mendengus mendengar ucapan Mike. Dia tidak mempermasalahkan pria itu memanggilnya 'bapak'—beberapa pertemuan terakhir memang membuat Mike mengubah cara bicaranya. Namun, apa haknya menghentikan Aldimas yang ingin membawa Layla pulang?
"Apa?" balas Aldimas tajam.
Mike tersenyum miring. "Bapak dan Layla masih punya utang sama saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Name of Marriage Contract
RomanceLayla sama sekali tidak paham, kenapa pria yang menuduhnya sebagai simpanan kakek-kakek, tiba-tiba menawarkan pernikahan kontak? Terlebih, pria ini selalu datang seperti dewa penyelamat setiap kali Layla terkena musibah. Mulai dari ketika ia mabuk d...