Aldimas mencoba untuk tersenyum, tapi air matanya tidak bisa berbohong. Sentuhan Layla membuatnya semakin merasa bersalah. Ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena melukai wanita selembut ini.
Tangan Aldimas menggenggam tangan Layla yang masih berada di pipinya. Kepalanya kembali tertunduk, tak berani menatap wanita itu. "Maaf... Maafkan Mas, Layla...."
"Sst.. gak apa-apa, Mas. Aku udah gak apa-apa kok." Ibu jari Layla mengusap pipi Aldimas dengan lembut.
"Maaf Mas gak bisa jagain kalian...."
"Mas."
"Maaf, gara-gara Mas, kita harus kehilangan dia."
Untuk kali ini, ucapan Aldimas berhasil membuat Layla terdiam. Alis wanita itu berkerut. Apa ada yang mati gara-gara penyelamatan itu? Apa yang Aldimas maksud adalah Norman? Namun... kenapa pria itu terlihat sangat terpuruk, bila yang mati benar musuhnya?
"Dia?" Layla tidak tahan untuk bertanya.
Aldimas mengangkat kepalanya, menatap Layla dengan mata penuh air dan tampak memerah. Bibirnya bergetar, terlihat kelu untuk mengucapkan kalimat selanjutnya. Ia pun menarik napas panjang.
"Anak kita," ucapnya lemah.
Bola mata Layla bergetar. "Aku... hamil?"
Aldimas tidak menjawab, tapi air matanya mengatakan sejuta kata untuk Layla. Perlahan, tangan Layla turun dari wajah Aldimas menuju perutnya sendiri. Jadi... beberapa waktu lalu, ada kehidupan baru yang hidup dalam tubuhnya.
Layla tahu, bahwa operasinya sudah selesai beberapa jam yang lalu, tapi ia seakan baru merasakan perihnya sekarang. Rasa sakitnya terus menusuk sampai relung terdalam hatinya. Layla meremas selimut yang menutupi perutnya, seakan sedang berusaha menggapai janinnya yang sudah dihilangkan itu.
"Maaf... dia gak bisa bertahan. Semua gara-gara Mas...." Aldimas lagi-lagi meracau sampai isakannya terdengar. Pria itu meraih tangan Layla yang berada di atas perut dan menggenggamnya.
Rencana Tuhan memang ajaib. Mereka bahkan belum pernah membahasnya, tetapi buah cinta itu sudah pernah hadir. Sayangnya, ia harus pergi kembali sebelum Aldimas bahkan Layla sendiri mengetahuinya. Betapa ironinya hidup ini.
Apakah Tuhan memang belum bisa mempercayakan dirinya?
Rasa sakit Layla berbuah menjadi kristal bening yang membasahi pipinya. Ia ingin marah, tetapi tidak harus kepada siapa. Aldimas? Norman? Atau... dirinya sendiri? Layla benci keadaannya sekarang. Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa melakukan apa pun.
Tangisannya menggema di ruang rawat VIP itu. Tidak seperti biasanya, Aldimas tidak mencoba untuk menenangkannya. Mereka merasakan sakit itu bersama.
***
Layla menangis hebat sampai akhirnya tertidur dengan sendirinya. Namun, pada saat dokter datang untuk pemeriksaan, wanita itu terbangun. Tidak ada senyuman atau kata-kata lembut seperti sebelumnya. Layla hanya memandangnya dalam sorot mata dingin.
"Mas," panggil Layla ketika dokter itu keluar dari ruangan.
"Ya? Kenapa? Ada yang sakit? Atau kamu mau makan sesuatu?"
Layla menggeleng. "Aku mau sendiri."
Alis Aldimas berkerut. "Apa?"
"Tinggalin aku sendiri, Mas. Aku... aku butuh waktu sendiri."
Aldimas tidak menjawab untuk beberapa saat. Ia hanya menatap Layla, mempelajari ekspresi wanita itu. Namun, Layla memalingkan wajahnya dengan cepat, sehingga Aldimas tidak bisa berkata lain selain menurutinya.
"Oke," ucap Aldimas. "Kalau kamu butuh apa pun, Mas ada di luar kamar."
Layla pun mengangguk, tanpa menatap Aldimas.
Dan akhirnya, Aldimas terpaksa keluar dari kamar itu, meninggalkan Layla sendiri dengan pikirannya. Setelah menutup pintu, Aldimas menarik napas panjang.
Ia baru ingin beranjak dari pintu ketika mendengar keributan dari arah lorong. Aldimas menoleh, dan menemukan nenek dan mamanya Layla datang dengan raut wajah tidak enak. Mike juga datang bersama mereka, mendorong kursi roda sang nenek, sambil menampilkan raut wajah bersalah kepada Aldimas.
Aldimas menelan air liurnya. Sepertinya, ia tahu kenapa Mike mengeluarkan ekspresi itu saat menatapnya.
Mereka berhenti di depan Aldimas. Tidak ada sapaan hangat atau sekadar menanyakan kabar seperti biasanya. Mama dan nenek Layla terlihat sangat marah dan siap memaki Aldimas.
Pria itu pun hanya bisa pasrah. Ia akan menerima semua makian dan tuduhan itu. Ia juga siap membayar berapa pun kompensasi yang dibutuhkan keluarga Darmawan atas kerusuhan ini.
"Kami akan bawa Layla pulang," ucap dingin nenek Layla dengan suara seraknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Name of Marriage Contract
RomanceLayla sama sekali tidak paham, kenapa pria yang menuduhnya sebagai simpanan kakek-kakek, tiba-tiba menawarkan pernikahan kontak? Terlebih, pria ini selalu datang seperti dewa penyelamat setiap kali Layla terkena musibah. Mulai dari ketika ia mabuk d...