Mana yang lebih mengejutkan? Mendapat lamaran pernikahan tiba-tiba atau kedatangan orang tua yang paling kamu hindari?
Layla tidak bisa memilih, karena keduanya sama-sama membuat kepalanya pening sekarang.
Ia belum selesai berurusan dengan urusan Aldimas tadi, tapi sudah dibuat pusing dengan kehadiran nenek dan mamanya. Layla sudah bisa menduga, kalau ini bukan hanya sekadar kunjungan biasa.
"Kamu ini ditelepon berkali-kali kenapa tidak diangkat?" Neneknya langsung menodongnya dengan pertanyaan.
Layla ingat kalau ia memasang ponselnya dalam mode hening gara-gara gosip tadi pagi. Ia juga tidak memeriksanya sedari tadi karena sibuk bertengkar dengan Aldimas.
Karena tidak mau memberi alasan, Layla malah langsung mengalihkan topik. "Nenek dan Mama mau apa ke sini?"
"Kamu masih tanya untuk apa?" neneknya menjawab dengan nada terdengar marah.
Layla menelan air liurnya.
"Kamu pikir, Nenek gak dengar gosip kamu di sekolah—"
"Oh, hahaha, ya ampun... apa Nenek lelah? Bagaimana kalau kita masuk ke kamarku? Atau mau makan terlebih dulu? Aku yang traktir," Layla memotong ucapan neneknya dan mengalihkan topik.
Pasalnya ia tahu, jika ini terus berlanjut, Nenek pasti akan menyuruhnya pulang ke rumah dan berhenti menjadi guru. Belum lagi soal kabar putusnya dengan Raikhal. Pasti perjodohan dengan keluarga Wandara tidak bisa Layla hindari lagi.
"Jangan mengalihkan topik, Layla." Namun kali ini, Layla kalah pintar. "Nenek juga sudah dengar soal studio itu, dan sekarang, kamu terlibat skandal dengan pria lain di hotel? Kamu mau jadi apa, hah?!"
Layla hanya menundukkan kepala.
Lalu, suara mamanya pun terdengar. Walaupun lebih lembut, tetap saja penuh rasa kecewa, "Mama mengizinkan kamu keluar dari rumah, karena Mama percaya sama kamu. Tapi kalau sudah begini, kami tidak punya pilihan lain."
"Masih untung Beni kasih tau Nenek dengan cepat, jadi gosip itu belum menyebar." Neneknya mendengus sambil melipat tangan di dada. "Lalu, gimana sekolah kamu? Apa ada tindakan? Akan lebih baik kalau kamu dipecat, jadi bisa balik ke rumah dan mengurus—"
"Nenek!"
"Layla Saras—"
Layla berteriak tepat ketika seseorang memanggilnya dari pintu. Ia memang masih mengobrol dengan mama dan neneknya di ruang tamu, sehingga mereka pun bisa melihat jelas siapa yang datang.
Layla menoleh cepat, dan seketika matanya membulat. 'ALDIMAS?!'
Aldimas tampak mengerjap karena kaget, walaupun wajahnya tetap saja datar. Tatapannya bertemu dengan milik Layla yang panik luar biasa.
Layla bisa melihat pria itu ingin mengucapkan sesuatu. Batin Layla seperti diremas, ia hanya berharap pria itu tidak mengatakan kalimat yang aneh. Apalagi ketika pria itu mulai mengangkat satu tangannya.
"Halo," ucap Aldimas singkat.
Mulut Layla terbuka. Di antara ribuan kalimat yang lebih masuk akal, Aldimas hanya berkata 'Halo'?
Tentu saja sapaan yang aneh itu mengundang rasa penasaran neneknya. "Siapa, ya?"
"Saya—"
"Teman aku!" Layla menyerobot sambil berdiri dari duduknya. Ia pun menghampiri Aldimas yang masih terpaku di depan pintu. "T-tadi kita p-pulang bareng."
"Kalian pulang bareng?"
Layla menepuk bibirnya sendiri. Ucapannya tadi sama saja dengan menggali kuburan untuknya. Lihat saja, ekspresi Nenek langsung berubah setelah itu.
"Ya, kebetulan sekali, Nyonya," jawab Aldimas, terdengar jauh lebih lancar dari sebelumnya. "Dan, Layla meninggalkan ini di mobil saya."
Aldimas mengangkat tas totebag Layla yang berisi material pembelajaran besok. Karena hari ini agak heboh, Layla berniat ingin melanjutkannya di kosan malam ini.
Namun ternyata, situasinya malah semakin rumit.
"Terima kasih." Layla mengambil tas itu dengan senyum kaku, lalu berbisik di samping Aldimas, "Kenapa gak minta satpam aja yang antar, sih?!"
Aldimas sedikit menundukkan kepalanya, dan balas berbisik, "Dia menyuruh saya untuk masuk saja."
Satpam kosannya memang terkenal malas. Kadang, ia bahkan tidak memberitahu penghuni kosan kalau ada paket datang. Sudah pasti, alih-alih mengantarkan tas itu kepada Layla, ia pasti akan menyuruh Aldimas untuk memberikannya langsung. Padahal ini kosan khusus wanita.
"Kalian benar hanya berteman?" tiba-tiba suara neneknya kembali terdengar. Kali ini, seperti menyelidik.
"Tentu saja!" Layla menjawab dengan semangat, lalu menyenggol lengan Aldimas untuk meminta dukungan.
Namun, Layla lupa kalau pria ini sama liciknya dengan hyena. "Jika Layla berkata begitu, saya tidak bisa membantahnya."
Layla membulatkan mata, sedangkan kedua wanita di depannya mengerutkan dahi.
"Apa maksudnya?" tanya mamanya.
Layla menoleh cepat, bermaksud untuk memarahi pria itu. Namun yang ia lihat kemudian, justru membuatnya sedikit tertegun. Aldimas tengah tersenyum.
"Saya sedang membujuknya." Aldimas menoleh ke arah Layla, dan seketika membuat wanita itu tersadar.
"Kamu jangan gila!"
"Layla! Yang sopan!" peringat neneknya. Kemudian, ekpresinya berubah begitu melihat ke arah Aldimas. Wanita tua itu bahkan mau repot-repot menghampiri Aldimas dan menjabat tangannya.
Neneknya seolah baru mendapat secercah harapan. Wajahnya jadi lebih cerah, bahkan senyuman lebar yang tak pernah ditunjukkan kepada Layla pun diberikannya kepada Aldimas.
"Siapa namamu, Nak?" tanya neneknya dengan wajah semringah, masih menjabat tangan Aldimas.
Dengan tangannya yang bebas, Aldimas merogoh saku jasnya dan memberikan kartu nama. "Saya Aldimas Mandrawoto, Nyonya."
"Keluarga Mandrawoto! Pas sekali!"
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Name of Marriage Contract
Storie d'amoreLayla sama sekali tidak paham, kenapa pria yang menuduhnya sebagai simpanan kakek-kakek, tiba-tiba menawarkan pernikahan kontak? Terlebih, pria ini selalu datang seperti dewa penyelamat setiap kali Layla terkena musibah. Mulai dari ketika ia mabuk d...