Aldimas menghela napas, lalu menjawab dengan datar. "Bukan kamu yang tonjok saya."
Aldimas pikir, wanita itu akan mengoceh atau paling tidak sekadar terkekeh dengan jawabannya itu. Namun ternyata tidak, Layla masih hanya menatapnya. Bibirnya tertekuk ke bawah, dan bisa Aldimas lihat ia juga menggigit kecil bibir bawahnya itu.
'Kenapa kamu memasang wajah seperti itu?' batin Aldimas bertanya.
Layla tiba-tiba saja mengulurkan tangannya, membuat bola mata Aldimas membulat seketika. Namun anehnya, Aldimas sama sekali tidak bisa bergerak. Ia merasa seluruh tubuhnya membeku ketika melihat jemari kurus Layla mengarah ke sudut bibirnya.
"Beneran gak apa-apa?" tanya Layla ketika ia berhasil menyentuh luka itu.
Jujur, Aldimas merasakan sedikit perih sekarang, tapi ia tidak bisa menghindar. Ia malah merasa jika rasa sakit dan ujung jari Layla seperti candu.
Aldimas ingin menahan tangan itu lebih lama di sana. Ia refleks memegang pergelangan tangan Layla, dan perlahan telapak tangannya membungkus tangan kecil Layla.
"Hm," gumam Aldimas.
"Gak mau diperiksa juga? Tadi Rai pukul kamu cukup kuat loh," Layla kembali bertanya dengan nada yang lebih khawatir.
Aldimas mendengus kecil. "Kamu kira, saya selemah itu?"
Layla tidak menyahut, tapi Aldimas bisa melihat senyuman tipis wanita itu. Seketika, rasa jengkel yang tadi sempat muncul itu pun sirna.
Aldimas menurunkan tangannya sambil masih mengenggam tangan Layla. "Kamu gak apa-apa?"
Layla tidak langsung menjawab. Wanita itu malah menundukkan kepala, menatap tautan tangannya dengan tangan Aldimas. Dengan lembut, ibu jari Aldimas pun mengusap punggung tangan Layla yang terbalut perban. Ia tidak ingin mendesak wanita itu untuk berbicara.
"Aku... aku gak menduga kalau Rai bakal ngomong kayak gitu kepadaku. Rai yang aku kenal itu selalu lembut, gak pernah membentak, apalagi sampai pukul aku," ucap Layla akhirnya.
Walaupun Layla tidak menjawab secara langsung soal keadaannya, Aldimas tidak protes. Ia hanya diam dan mendengarkan, dengan tangan masih mengelus perban Layla.
"Itu juga yang buat aku tutup mulut soal prostitusi online dia. Aku udah tahu dari lama, tapi kupikir, asalkan dia gak sakitin aku, aku gak mau berurusan soal itu. Aku cuma mau uangku kembali," lanjut Layla.
Wanita itu pun mengangkat pandangannya, menatap mata Aldimas. "Niat aku mau diam-diam telepon Mas Diego, tapi... kayaknya aku salah pencet nomor."
Dahi Aldimas berkerut ketika mendengar nama Diego meluncur dari mulut Layla. Apalagi panggilan "mas" itu menimbulkan perasaan yang tak nyaman. Meskipun begitu, Aldimas tidak bisa mengeluarkan satu kata pun. Kelopak mata Layla yang mengejap di depannya seolah menyedot semua sumpah serapah itu.
Lantas, amarah Aldimas menguap habis ketika Layla membalikkan telapak tangannya dan mengusap buku tangan Aldimas yang memerah. Sepertinya, ia tanpa sadar menggenggam tangannya sendiri terlalu erat.
"Makasih, ya, udah datang," ucap wanita itu dengan nada sedikit bergetar.
Aldimas mendadak kaku, sementara kepalanya memutar kembali kejadian beberapa saat lalu. Sesaat sebelum ia pergi ke ruang rapat, tiba-tiba saja panggilan dari Layla masuk. Aneh sekali, wanita itu bukan tipe yang suka mendadak telepon, paling hanya mengiriminya pesan.
Maka dari itu, Aldimas pun mengangkatnya, barangkali ada hal penting yang harus dibicarakan segera. Namun, suara yang pertama kali ia dengar bukanlah sapaan Layla, melainkan suara bentakan seorang pria.
"Benar-benar kamu, ya! Aku udah telepon kamu berkali-kali! Tapi kamu malah blokir nomor aku! Kurang ajar!"
Seluruh tubuh Aldimas menegang. Ia menggenggam ponselnya kuat-kuat. Tidak perlu waktu lama untuk dirinya berlari meninggalkan ruang kantornya, mengabaikan teriakan Anggita yang terus memanggilnya. Aldimas menunggu lift dengan tidak sabar, berlari ke parkiran basemen, dan memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju sekolah Layla. Ponsel itu terus terhubung ke telinganya, meskipun gejolak amarahnya tidak bisa dibendung lagi.
Untungnya, Layla memang masih berada di sekolah, walaupun tempatnya agak tersembunyi. Melihat bagaimana wanita itu ketakutan tadi, seluruh tubuh Aldimas menjadi lemas dan tegang secara bersamaan. Ia tidak menjadi dirinya sendiri kala itu.
Mungkin sampai saat ini, Layla masih memiliki trauma soal kejadian tadi. Satu tangan Aldimas terulur, mengusap puncak kepala Layla dengan lembut.
"Ayo, kita pulang." Karena rumah kita adalah tempat yang paling aman buat kamu, lanjut Aldimas dalam hati.
"Hm."
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Name of Marriage Contract
RomanceLayla sama sekali tidak paham, kenapa pria yang menuduhnya sebagai simpanan kakek-kakek, tiba-tiba menawarkan pernikahan kontak? Terlebih, pria ini selalu datang seperti dewa penyelamat setiap kali Layla terkena musibah. Mulai dari ketika ia mabuk d...