BAB 34

1.7K 108 0
                                    


"Boleh."

Layla mengerjap beberapa kali ketika mendengar jawaban Aldimas. Memang, dirinya yang menawarkan mi goreng ini, tetapi ia tidak menyangka kalau Aldimas bakal mengiakan. Hidup hampir tiga bulan bersama pria itu, membuat Layla hampir yakin kalau Aldimas bakal menolaknya dengan dingin.

Sekarang, Layla bingung harus menjawab apa. Padahal tadi dia hanya basa-basi.

"Kamu yang mau masak, atau saya harus masak sendiri?" tanya Aldimas kemudian, membuat Layla tersadar. Nada bicaranya biasa, tapi entah kenapa bagi Layla itu seperti sindiran.

"Iya, iya, aku buatin." Layla menyuapkan satu gulung mi lagi sebelum beranjak dari sofa.

"Layla," panggil Aldimas tiba-tiba ketika Layla sudah berdiri.

"Apa?"

"Bisa tidak kamu hanya menjawab satu kali. Saya tidak suka kamu mengulang jawaban seperti itu."

Layla lagi-lagi mendengkus. "Iya, iya."

"Layla."

Layla yang tidak mau mendengar ocehan Aldimas pun segera melesat ke arah dapur. Ia juga dengan terpaksa meninggalkan mangkuk mi goreng itu di ruang tengah. Ia sedikit merutuki dirinya sendiri karena menawarkan mi kepada Aldimas tadi.

"Dasar orang tua! Ditawarin dikit langsung mau!" gerutu Layla sambil memasukan mi ke panci berisi air mendidih.

Sesekali, Layla melirik ke arah ruang tamu. Di sana, Aldimas yang malah anteng menonton tv sambil bersilang kaki. Jas dan dasinya sudah dilepas, dan kemejanya pun sudah digulung sampai siku. Pria itu juga tampaknya sudah sedikit mengacak rambutnya jadi tak terlihat kaku lagi, walaupun kacamata berbingkai hitam itu masih membuatnya tampak dingin.

Sepuluh menit kemudian, Layla pun selesai memasak mi goreng instan untuk Aldimas. Ia membawakan mangkuk berisi mi yang masih mengebul itu ke ruang tengah.

"Nih!" Layla menyodorkan mangkuk itu.

Aldimas menerimanya, tapi ada kerutan muncul di dahi pria itu. "Kenapa gak pakai telur?"

"Kok, protes! Kalau mau, buat sendiri sana!" Layla yang sudah terlanjur kesal pun memekik. Ia mengambil mangkuknya sendiri dari atas meja. "Lihat, gara-gara kamu, mi aku jadi kaku gini kan?"

Layla mengambil beberapa lembar mi dengan garpu, menunjukkan kalau mi itu sudah kering dan agak kaku. Namun, karena sudah jengkel duluan, Layla langsung melahap mi itu dengan kasar. Setiap kunyahannya mengandung umpatan untuk Aldimas.

Layla mendengar suara kekehan pelan dari sebelahnya. Ia pun menoleh, masih dengan mulut penuh mi. Matanya melotot, menatap Aldimas yang tampak kesenangan itu.

'Ini orang beneran mau aku kutuk, ya?!' pekik Layla dalam hati.

"Makasih, ya," ucap Aldimas tiba-tiba.

Mendadak, kunyahan Layla pun terhenti. Ia mengerjap dua kali, 'Bisa juga ucapin makasih?'

Layla pun berdeham. "Yah... itu cuma mi," jawabnya. "Tapi yang lebih penting, kita harus bahas soal ucapan Opa tadi."

Aldimas mengangguk-angguk sambil memakan mi-nya. "Ada saran?"

"Loh, harusnya kamu dong yang mikir," sahut Layla sambil mengacungkan ujung garpu ke arah Aldimas. "Itu kan masalah kamu."

"Kamu gak ingat perjanjian nomor tujuh?"

Ah, sial! Layla menggerutu dalam hati. Benar kata Aldimas, syarat yang harus dia penuhi adalah membantu Aldimas sampai mendapatkan kursi CEO itu. Kalau artinya Aldimas baru bisa menduduki saat punya anak, mau tidak mau Layla harus terlibat.

"Kamu aja yang hamil sendiri deh!" ucap Layla, setengah serius, setengah tidak.

Aldimas tak menjawab, hanya menatap Layla dengan datar. Layla pun mengangkat tangannya, memberi kode kalau dia paham.

"Terus gimana?" gerutu Layla kemudian.

"Kamu sendiri?" Aldimas malah balik bertanya. "Apa kamu siap hamil anak saya?"

Layla terdiam. Ia tidak benci anak kecil—pekerjaannya saja selalu berhubungan dengan anak-anak. Namun, jika ia mengiakan perkataan Aldimas, itu berarti dia harus menjalani "prosesnya" denngan Aldimas. Membayangkannya saja sudah membuat Layla merinding.

Mungkin, karena menyadari perubahan raut wajah Layla, Aldimas pun menghela napas panjang. Ia meletakkan piring mi gorengnya yang entah sejak kapan sudah kosong itu ke meja.

"Bagaimanapun, kita harus melakukannya," ucap Aldimas. "Itu adalah tujuan saya dan kamu sudah setuju buat membantu saya."

"Jadi... kita harus... kamu tau... having sex?" Layla menggigit bibir bawahnya, sedikit canggung mengucapkan kata terakhir itu.

Aldimas tidak langsung menjawab, malah menatap mata Layla dengan lurus. "Ya, harus."

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang