"Layla?" Aldimas juga tampak sama bingungnya. "Kenapa di si... ni?" suaranya melemah ketika melihat sosok Mike yang berdiri di belakang Layla.
Layla menyadari itu, tapi fokusnya masih terpecah kepada wanita yang berdiri di samping Aldimas. Dia bukanlah sekretaris Aldimas yang kelewat polos itu, bukan juga salah satu anggota keluarga Mandrawoto. Tubuhnya tinggi langsing, rok span selutut dan kemeja biru laut itu membentuk tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya yang ikal kecokelatan tampak seperti dirawat salon jutaan rupiah. Mungkin kalau dia memperkenalkan diri sebagai model Victoria Secret, Layla tidak akan kaget.
"Mas juga." Layla melirik ke arah wanita itu.
Seolah paham arti lirikan Layla, Aldimas langsung memperkenalkan wanita itu, "Layla, kenalkan ini Yunita, kami sedang ada proyek bareng. Dan Yunita, ini Layla, istriku."
"Ah, jadi ini istri kamu?" sahut wanita bernama Yunita itu. Ia pun mengulurkan tangannya kepada Layla. "Halo, aku gak datang ke wedding kalian. So sorry, kalau aku gak sopan tadi."
Aksen Amerika-nya masih kental walaupun Layla yakin dia orang Indonesia tulen. Dan apa katanya tadi? Tidak sopan? Perasaan, mereka hanya saling melirik tadi. Kenapa wanita itu menganggapnya berlebihan begitu.
"And, is this Mr. Hatono? The top model?" Yunita tiba-tiba beralih kepada Mike yang masih berdiri mengawasi. "Nice to meet you."
Mike mengangguk singkat. "Yeah."
Suasana menjadi canggung kemudian. Sepertinya, penjaga toko juga bingung harus mengusir mereka atau menawarkan produk lagi. Di satu sisi, Layla sudah kehilangan minat untuk berbelanja. Rasanya jauh lebih penting mencari tahu sedang apa Aldimas bersama wanita itu ke toko ini daripada mencari kado.
Seperti sebelumnya, Yunita tiba-tiba mengejutkan semua orang dengan satu tepukan tangannya. "Oh, iya karena kebetulan lagi ngumpul gini, gimana kalau kita dinner? Ya... walaupun it's too early to grab the dinner."
Wanita itu terkekeh anggun, sebuah gaya tertawa yang jarang Layla lihat. Bahkan sekelas neneknya yang dikenal banyak orang pun, tidak pernah tertawa seperti itu. Yunita tertawa dengan suara lembut dan gerakan tangan yang seperti putri kerajaan.
Layla bisa melihat Aldimas sedang melirik ke arahnya, mungkin meminta persetujuan atau jawaban. Akhirnya, Layla pun menghela napas.
"Ayo, kebetulan aku juga udah lapar," jawab Layla akhirnya sambil meraih tangan Aldimas.
"Great!"
Pada awalnya, Layla masih aman bergandengan dengan Aldimas. Mereka berjalan bersisian, walaupun tidak saling berbicara. Namun beberapa saat kemudian, entah bagaimana caranya Yunita tiba-tiba sudah berada di sisi Aldimas yang satunya. Lalu pada saat memesan meja di bagian depan restoran, wanita itu tahu-tahu sudah menarik lengan Aldimas.
"Jangan lupa tarik napas, La," celetuk Mike sebelum mendahului Layla masuk ke restoran.
Layla mencium aroma amis di sini.
"Aku harap cabang di Indo sama enaknya dengan yang sering kita kunjungi di State dulu, ya, Al," ucap Yunita ketika mereka sampai di meja yang ditunjuk. Wanita itu terkekeh pelan.
Aldimas tidak menyahut, tapi kepala Layla sudah mendidih mendengarnya. Sepertinya memang benar dugaannya, Yunita dan Aldimas bukan sekadar rekan bisnis.
Layla pun duduk di sebelah Aldimas, kursi yang sudah ditarik lebih dulu oleh pria itu. Mike duduk di seberangnya, sedangkan Yunita duduk di seberang Aldimas. Restoran yang mereka kunjungi katanya milik dari salah satu chef dunia yang berfokus pada menu steak dan pasta. Meskipun begitu, Layla hampir tidak berselera. Melihat bagaimana Yunita memesan makanan dengan luwes sambil sesekali berdiskusi dengan Aldimas, sudah cukup membuat perutnya melilit.
"Apa dessert-nya mau dipesan sekalian juga, Kak?" tanya pelayan yang sedang mencatat pesanan mereka.
"Boleh, tapi diantarnya nanti saja, ya, Mbak. Kalau habis makan," jawab Yunita, seolah dirinya adalah ketua dalam meja itu. Ia pun menyebutkan nama dessert yang diinginkannya.
"Kayaknya saya mau Croissant Lava ini deh, Mbak," Yunita menunjuk salah satu menu dan langsung dicatat oleh pelayan itu. "Kalau kamu, Al—oh, aku lupa kamu gak suka makanan manis."
Kerutan di dahi Layla semakin banyak. Kenapa Yunita sampai tahu selera Aldimas yang tidak suka makanan manis? Dan juga, kenapa Aldimas tidak pernah bilang soal itu? Padahal yang Layla lihat, Aldimas selalu makan apa saja yang Layla siapkan.
Begitu banyak pertanyaan yang berputar di kepala Layla, tapi kemudian teralihkan ketika merasakan senggolan di bawah meja. Itu dari Mike. Pria itu memberi kode kalau Yunita sedang bertanya padanya soal dessert.
"Saya mau Cinnamon-honey Creame Brulee, Almond Biscuits Tarts, Aniseed and Chocolate Parfait, dan... oh! Ini juga, Apple Pie."
"Kamu yakin bisa habisin itu?" Aldimas mengerutkan dahinya setelah mendengar semua pesanan Layla. Jumlahnya bahkan jauh lebih banyak daripada makanan utamanya.
"Tenang aja. Kalau gak abis, ada Mike yang bantuin aku," jawab Layla sekenanya sambil menutup buku menu dengan keras. "Dia suka manis."
Duk!
Sekali lagi, Mike menendang pelan kaki Layla di bawah meja. Pria itu meringis, dan menggerutu tanpa suara kepada Layla, "Kenapa bawa-bawa aku, sih?"
"Jangan kasih ke dia," tiba-tiba Aldimas berucap sambil menyerahkan buku menunya kepada pelayan. Pelayan itu pun pergi.
Layla mendengus. "Kenapa?"
Aldimas terdiam sejenak, membuat Layla menatapnya tajam dan menunggu jawaban itu. "Soalnya aku yang bayar," jawab pria itu akhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Name of Marriage Contract
RomanceLayla sama sekali tidak paham, kenapa pria yang menuduhnya sebagai simpanan kakek-kakek, tiba-tiba menawarkan pernikahan kontak? Terlebih, pria ini selalu datang seperti dewa penyelamat setiap kali Layla terkena musibah. Mulai dari ketika ia mabuk d...