BAB 64

1.6K 119 6
                                    


Seperti ucapan Aldimas beberapa hari lalu, pria itu berubah menjadi manusia super sibuk yang bahkan tidak ada waktu untuk bernapas. Aldimas memang biasanya sudah sibuk, tapi kali ini ia berada di level berbeda.

Kalau biasanya Aldimas masih bisa pulang pukul 6 sore—atau paling lama jam 7 malam kalau lembur, kali ini paling cepat pukul 10 malam. Layla hanya menemuinya saat sarapan. Sudah beberapa malam ini ia makan sendiri, bahkan tidak tahu kapan Aldimas naik ke atas kasur. Pesannya memang masih dibalas Aldimas, tapi itu butuh beberapa jam kemudian.

Hari ini yang paling parah. Aldimas memilih untuk menginap di kantor dan hanya pulang untuk mengambil baju ganti. Jadinya, Layla pun sarapan sendirian tadi pagi. Wanita itu menghela napas sambil melirik ponselnya yang sunyi. Suaminya itu bahkan tidak mengiriminya satu pesan pun pagi ini.

Udah berapa hari ya ini? Atau udah berapa minggu?

Layla sudah tidak bisa menghitung. Sejak pembacaan wasiat itu, ia jadi susah sekali mengobrol dengan Aldimas. Padahal, masih ada hal penting yang harus mereka bicarakan.

Soal anak dan pemindahan saham Opa.

Bukannya Layla tidak pernah mencoba bertanya lagi, tapi Aldimas selalu menghindar. "Nanti ya, Lay, aku buru-buru hari ini," jawab Aldimas suatu waktu. Atau, "Iya, nanti kita bicarain kalau udah senggang, ya."

Namun, pria itu tidak pernah ada waktu.

Bertanya lewat pesan? Jangan harap untuk dibalas. Aldimas malah langsung mengganti topik, menanyakan soal keadaan Layla sebagai gantinya.

"Jadi, tadi malam kamu tidur sendirian?" tanya Poppy sambil membalik daging di atas panggangan.

Layla mengangguk.

Ini adalah hari libur, tapi Aldimas malah tidak akan pulang. Karena bosan, Layla pun mengajak Poppy makan siang di restoran Korean BBQ. Padahal belakangan ini, Layla lebih suka menghabiskan akhir pekan di rumah, bermalas-malasan dengan Aldimas.

"Aku gak tau sampai kapan Mas Aldi bakal sibuk begini." Layla menghela napas, lalu mengambil sepotong daging yang sudah matang dari panggangan. "Sekarang chat-ku aja jarang dibalas."

"Ambil aja hikmahnya. Toh, dia kerja keras demi kamu juga, buat beli berlian," canda Poppy pada akhirnya sambil terkekeh.

Layla pun ikut terkekeh.

Dia dan Poppy memang belum lama berteman, Mereka masuk ke Serenity Spring School pada hari yang sama, sebagai guru baru. Dari situlah interaksi mereka mulai berjalan intens, terlebih mereka ini seumuran.

Walaupun sifat mereka agak bertolak berlakang—Layla yang lebih suka menggebu-gebu dan gampang emosi, sedangkan Poppy lebih kalem dan pendiam. Poppy selalu berperan sebagai peredam emosi Layla kalau wanita itu sedang lepas kendali. Seperti sekarang, kalau tidak ada Poppy, mungkin Layla sudah berteriak-teriak seperti orang kesetanan karena Aldimas.

"Ada banyak yang mau aku ceritain ke Mas Aldi, tapi.... gak bisa." Layla menghela napas. Kini, ia sudah malah hanya memakan salad jagung dengan sumpitnya.

"Ya udah ceritain aja ke aku," balas Poppy. "Anggap aku mas-mu itu."

Layla terkekeh. Poppy memang menjadi satu-satunya teman Layla yang hadir di pernikahan, tapi bukan berarti Layla menceritakan semuanya. Tidak soal kontrak, soal warisan, atau umur pernikahan mereka.

Mengikuti permainan Poppy, Layla pun meletakkan sumpitnya dan duduk berpangku tangan. "Mas Aldi...."

Poppy berdeham, menegakkan punggungnya, "Iya, Layla Sayang?"

Layla tertawa keras mendengar suara Poppy yang diberat-beratkan itu. Belum lagi gaya duduknya yang sampai membusungkan dada. Bukannya terlihat gagah, Poppy malah seperti ayam kate yang sedang pamer kecantikan.

"Mas Aldi cara ngomongnya gak gitu, ya." Layla mengusap setitik air mata yang keluar di sudut matanya.

Poppy ikut terkekeh. Namun, saat ia ingin melanjutkan aktingnya, tiba-tiba ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar. Layla bisa melihat seseorang meneleponnya. Poppy juga melirik benda itu sejenak, sebelum membalikkan layar ponselnya tanpa menjawab panggilan itu.

"Gak diangkat?" tanya Layla.

"Biarin aja." Poppy mengibaskan tangannya, lalu kembali memindahkan sepotong daging ke piring Layla."Nih, makan yang banyak biar gak stres."

Layla merasa kalau Poppy sedang mengalihkan pembicaraan sekarang. Wanita itu bukan tipe yang suka mengabaikan panggilan begitu saja. Bahkan jika itu agen kartu kredit, atau Bu Retno yang meneleponnya di akhir pekan, pasti akan Poppy ladeni sampai akhir.

Meskipun begitu, Layla tidak ingin bertanya lebih jauh. Sama seperti dirinya, Poppy pasti memiliki sesuatu yang ingin disimpannya sendiri.

Layla kembali mengalihkan perhatiannya pada daging yang baru dipindahkan Poppy ke piringnya. Saat diangkat, ia bisa melihat cairan merah merembes dari potongan daging itu. Meskipun Layla tahu itu bukan darah, tetap saja ia merasa mual melihatnya. Perutnya bergejolak melihat cairan merah itu.

"Pop, ini belum matang." Layla mengembalikan daging itu ke panggangan, lalu meminum air lime-tea nya banyak-banyak untuk mengurangi rasa mual.

"Oh, iya, kah? Sorry." Poppy buru-buru memeriksa daging itu dan memasaknya lagi. Namun, baru ingin memindahkan daging yang sudah matang, ponselnya kembali bergetar. "Ck!"

"Angkat aja, gak apa-apa," ucap Layla ketika melihat wajah jengkel Poppy yang jarang ditunjukkan itu. "Aku refill minum dulu, ya."

Poppy mengangkat pandangannya. "Kamu refill minuman teh jeruk itu lagi? Bukannya asem banget ya?"

Layla berdiri dari duduknya. "Enak, kok. Mau aku ambilin?"

"Nope. Thanks." Poppy mengibaskan tangannya, lalu mengangkat panggilan yang terus masuk itu. "Aduh... Iya, kenapa, sih telepon mulu?"

Sementara memberi Poppy sedikit privasi untuk menelepon, Layla pun berjalan ke area buffet. Saat mengisi kembali minumannya, matanya melirik beberapa dessert yang ada di sana. Layla sudah mencoba puding karamelnya, tapi... buah-buahan di sana tampak lebih menggoda. Apalagi semangkanya sangat merah.

Kapan-kapan, aku bakal ajak Mas Aldi ke sini deh. Aku harus kasih coba puding karamelnya ke dia.

Lalu, Layla teringat.

Di dekat kantor Mas Aldi ada yang jual rujak enak kan ya?



----------------------

Jangan lupa vote dan komen nya yaaa~

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang