BAB 14

1.9K 113 0
                                    

"Empat kali."

"Dua kali."

"Di bar, di sekolah, soal nenekmu, dan pria tadi."

Layla menghela napas. "Yang Nenek tidak dihitung. Jadi, tiga kali."

"Baiklah, tiga kali," ucap Aldimas, terdengar mengalah.

Setelah kejadian di restoran itu, Aldimas menawarkan Layla untuk mengantarkannya pulang. Tentunya bukan karena khawatir, tapi justru ingin membahas hal yang belum selesai kemarin. Dimulai dari perdebatan tentang berapa banyak pria itu sudah menolong Layla. Wanita itu kagum sendiri dengan kemampuan mengingat Aldimas.

Aldimas begitu perhitungan. Layla bahkan sempat curiga kalau Aldimas ternyata mengikutinya ke restoran tersebut. Sayangnya, pria itu menjelaskan dengan logis kenapa dia ada di sana—yaitu makan siang bersama klien.

"Dan bayaranmu?" tanya Aldimas kemudian, seperti dugaan Layla—pria yang perhitungan.

"Perhitungan sekali," komentar Layla.

"Saya ini bussines man."

Layla berdecak. Daripada bussines man, Aldimas mungkin lebih pas disebut sebagai debt-collector. Padahal pada pertemuan pertama mereka, Aldimas sudah menuduhnya jadi simpanan sang opa. Namun sekarang, malah terus memaksanya menikah kontrak.

Layla sudah siap menolak Aldimas lagi ketika ponselnya berdering. Panggilan dari neneknya masuk. Sungguh, saat ini Layla sama sekali tidak mau mendengar ocehan wanita tua itu.

"Saya bisa menolongmu," ucap Aldimas, yang membuat Layla menoleh dengan cepat.

"Maksudmu?"

Dagu Aldimas bergerak ke ponsel Layla yang terus berdering. "Kamu bisa menghindari nenekmu menggunakan saya, dan kamu harus membantu saya mencapai tujuan. Bagaimana?"

Ada yang kontras dari ucapan Aldimas tersebut. Satu sisi dia hanya menggunakan "bisa" untuk Layla, tapi Layla sendiri "harus" membantunya.

Namun, karena otak Layla tidak bisa berpikir logis sekarang, ia tidak terlalu ambil pusing. Masalah neneknya tidak akan selesai dengan mudah. Apalagi jika itu sudah menyangkut keluarga besar.

Layla menghela napas, sambil berpikir kalau ia mungkin sudah gila karena mulai mempertimbangkan ajakan Aldimas.

"Hanya satu tahun?" ucap Layla akhirnya, memastikan.

Aldimas mengangguk sekali. "Satu tahun."

"Tapi, aku butuh syarat tambahan."

"Apa itu?"

Layla mengibaskan tangannya. Setidaknya dengan mengatakan itu, Aldimas bisa membiarkannya istirahat sejenak.

"Nanti kupikirkan dulu. Kepalaku sangat sakit sekarang," jawab Layla sambil memijat keningnya dan menyenderkan kepala ke jendela.

Kepalanya yang pening pun terasa semakin berdenyut gara-gara melihat kemacetan dan hujan deras di luar. Ia mulai memejamkan mata, dan tanpa sadar mengelus lengannya yang hanya terlapis kain brokat.

"Pak, tolong AC-nya dibesarkan sedikit."

Dengan masih terpejam, Layla mendengar suara berat Aldimas berkata pelan kepada sang sopir. Layla terlalu malas membuka mata, meskipun ia merasakan sebuah kain mulai menutupi pahanya.

***

Lalu, semuanya terjadi begitu cepat. Padahal baru kemarin Layla "sedikit" setuju dengan tawaran Aldimas, pria itu sudah merencanakan untuk pertemuan kedua keluarga hari ini.

Semua yang serba dadakan itu tentu membuat neneknya marah-marah lagi. Ia terus mengomel, menganggap Aldimas tidak sopan, meskipun pada akhirnya mau juga datang ke pertemuan itu.

Namun masalahnya, Layla sama sekali tidak ada persiapan. Jangankan pergi ke salon, ia bahkan tidak sempat membeli baju baru untuk pertemuan keluarga hari ini. Ia hanya memakai salah satu baju formalnya di lemari—blus warna biru yang dipadukan dengan blazer krem, dan celana bahan hitam.

Ia dijemput oleh Aldimas langsung, tanpa sopir. Nenek dan mamanya akan menyusul nanti ke restoran yang dituju, sementara Aldimas berkata kalau keluarganya sudah dalam perjalanan.

"Ada ibu tiri dan adik tiri saya yang datang," ucap Aldimas ketika Layla bertanya siapa saja yang akan datang.

"Keluargamu tinggal mereka?" tanya Layla penasaran.

"Ada Opa, tapi beliau masih dirawat intensif, dan saya tidak mau membicarakan soal ayah saya."

Layla langsung menutup mulutnya setelah mendengar jawaban dingin Aldimas. Mungkin ayahnya tidak sesederhana meninggal dunia atau bercerai. Lantas, kenapa Aldimas hanya membawa ibu tirinya? Di mana ibu kandungnya?

Sebenarnya, masih banyak yang ingin Layla tanyakan, tapi aura Aldimas sudah tidak enak. Jadi, ia pun mulai mengalihkan perhatian dengan membahas keluarganya.

"Kalau aku, hanya Nenek dan Mama yang datang—seperti yang kamu tahu. Papa udah tiga tahun meninggal, dan aku sama sekali gak punya saudara kandung," Layla mulai bercerita.

Aldimas hanya menanggapi dengan dehaman.

"Nenek itu orangnya bawel, jadi lebih baik kamu jawab seadanya saja kalau dia bertanya macam-macam," lanjut Layla.

"Bagaimana bisa begitu. Kamu mau membuat saya terlihat buruk di depan calon mertua?"

Tiba-tiba, sekujur tubuh Layla merinding mendengar kalimat Aldimas. Mertua katanya? Aduh, kenapa geli banget sih!

"Argh, terserah!" Layla mengibaskan tangan pada akhirnya, memilih menyerah. "Pokoknya, karena Nenek tahu kita ini belum lama 'jadian', jadinya kita harus berakting sedikit meyakinkan."

Situasinya memang agak rumit dan terburu-buru. Layla pun tidak bisa membayangkan bagaimana respons keluarga Aldimas nanti. Apa mungkin mereka lebih lembut karena sudah tahu opanya yang menjodohkan mereka?

Namun, firasat Layla tidak berkata demikian.

Mereka pun akhirnya tiba di restoran keluarga yang ada di pinggir kota. Suasana restorannya sangat asri, khas perdesaan di Bali. Tempatnya cukup ramai, tapi untungnya Aldimas sudah memesan meja privat sebelumnya. Mereka pun diarahkan ke meja tersebut.

Pintu terbuka, dan betapa terkejutnya Layla ketika sudah melihat seorang wanita paruh baya sudah duduk di sana. Wajahnya terlihat angkuh, dengan rambut sebahu yang tampak ditata sangat rapi. Ia duduk dengan tegak, dan hanya menolehkan kepala begitu Layla dan Aldimas datang.

"Kalian terlambat," ucapnya dingin.

"Ini bahkan belum waktu perjanjian," Aldimas menjawab dengan santai sambil merangkul Layla dan membawanya masuk. Ia terlihat sama sekali tidak terkejut dengan kehadiran wanita itu.

"Satria tidak bisa datang, dia harus terbang mendadak ke India untuk bertemu ekportir," ucap wanita itu kemudian, lalu menyesap tehnya.

Aldimas tidak menjawab. Ia hanya menarik kursi untuk Layla, lalu duduk di sebelahnya.

Berbanding terbalik dengan Aldimas yang sangat santai, Layla rasanya ingin mati berdiri sekarang. Tatapan wanita yang diduga ibu tiri Aldimas itu tampak mengintimidasi.

Biasanya, Layla tidak pernah takut menghadapi wali murid yang bawel dan menyebalkan. Ia selalu bisa menghadapinya dengan tenang. Namun kali ini, rasanya ia harus menelan ludahnya berkali-kali.

"Begini kualitas perempuan yang Ayah jodohkan denganmu?" tiba-tiba wanita itu berkata lagi. "Dia bahkan tidak bisa menyapaku dengan benar, ya?"

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang