BAB 12

2.1K 108 0
                                    

Layla merasakan alarm tanda bahaya segera muncul di atas kepalanya. Ia sudah tahu arti senyuman neneknya itu, yang sama artinya dengan melihat sebuah kesempatan. Makanya, sebelum itu semakin gawat, Layla buru-buru mendorong Aldimas.

"Nenek, sepertinya Aldimas sangat sibuk. Iya, kan?" Layla menggerakkan bola matanya, memberi isyarat agar Aldimas segera pergi.

"Pulanglah! Tidak perlu berkenalan lebih jauh," mulutnya pun bergerak mengucapkan kata itu tanpa suara.

Perlu usaha hebat untuk bisa mengusir Aldimas dari sana. Neneknya masih ingin mengobrol, dan Layla tahu kalau Aldimas punya maksud tersembunyi. Namun pada akhirnya, pria itu bisa juga angkat kaki dari kosannya itu.

'Oke, sekarang tinggal hadapi Nenek dan Mama.' Layla menarik napas panjang, sebelum berbalik menghadap wajah neneknya yang sudah kembali suram.

"Kita bicara di kamar aja, gimana?"

***

Layla tahu, semua tidak akan berjalan dengan baik jika itu berurusan dengan Nenek. Semuanya berbuntut panjang. Dimulai dari putusnya Layla dengan lelaki bajingan bernama Raikhal, rumor di sekolah, sampai kehadiran Aldimas.

Akibatnya, akhir pekan ini Layla "dihukum" harus menemui pria dari keluarga Wandara yang ingin dijodohkan dengannya. Sekarang ia sudah duduk manis di sebuah restoran yang ada dalam hotel. Ia memakai dress hitam dengan akses brokat yang dipilihkan mamanya.

Sebagai catatan, mamanya tidak punya kuasa apa pun atas sang nenek. Di keluarga Layla, memang menganut sistem matriarki, dan Nenek masih menjadi kepala keluarga yang sah. Apalagi ketika papa Layla meninggal dunia, sudah pasti tidak ada yang mengganggu gugat keputusan sang nenek.

Lima belas menit berlalu, tapi pria Wandara itu belum juga menujukkan batang hidungnya. Layla mulai bosan, kakinya bergerak naik-turun. Entah sudah berapa gelas air putih yang ia teguk selama menunggu.

"Layla, kan?"

Layla hampir tersedak air putih yang tengah diminumnya ketika seorang pria muncul di hadapannya. Bahkan sebelum dipersilakan, pria itu sudah duduk di hadapan Layla.

Ryan Wardana, seorang pria keturunan Wardana yang sekarang memegang anak perusahaan otomotif Wardana. Gaya hidupnya yang glamor selalu menjadi sorotan. Bahkan ia pernah dirumorkan sebagai pengguna narkoba.

Tentu saja rumor itu cepat turun dengan kekuatan Wardana. Sekarang, pria itu malah bertambah eksis di media sosial. Tubuhnya yang tinggi, otot-ototnya yang kecokelatan menjadi daya tariknya. Belum lagi hobinya yang berpesta dan balapan itu. Para wanita dengan mudahnya mendatangi Ryan.

"Untung aku menginap di sini, jadi gak telat banget." Entah Ryan sedang bergumam sendiri atau berbicara dengan Layla. Namun yang jelas, tidak ada kata maaf atau apa pun yang terucap.

Jangankan maaf, penampilan Ryan membuat Layla sakit kepala duluan. Ia memakai kaus polo berwarna hitam, yang tampak sedikit kusut. Ia bahkan tidak mau menyembunyikan noda bedak wanita di dadanya itu. Walaupun rambutnya rapi dan tercium aroma cologne yang kuat, tetap tidak menyembunyikan bahwa pria itu baru saja bangun.

"Memangnya kenapa dengan rumah kamu? Kok, menginap di sini?" Layla sebenarnya tahu jawaban pria itu, tapi ia tetap ingin bertanya.

"Ada lah," jawab Ryan singkat sambil membaca buku menu. Ia tidak mau repot-repot menatap Layla yang sudah lima belas menit menunggu di sini.

Tanpa bertanya lebih jauh, Ryan memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya. Ia sepertinya tidak sadar kalau Layla belum memesan apa pun dari tadi. Barulah ketika pelayan pria itu bertanya kepada Layla, dia tersadar.

"Eh, kamu belum pesan, ya? Ayo, ayo pesan aja, bills on me," ucap Ryan, dan tampak sengaja menekan kalimat terakhirnya agar didengar pelayan itu.

Layla memaksakan senyum, walaupun tangannya sudah menggenggam ujung taplak meja. Ia bisa saja menarik taplak itu dalam sekali tarikan. Namun, ia masih berusaha menahan diri demi neneknya.

Setelah menyebutkan pesanannya, pelayan itu pun menyiapkan hidangan. Sekarang, Layla dan pria itu duduk berhadapan saling berpandangan.

"Kamu tahu, ini bukan pertama kalinya aku ikut perjodohan. Tapi, harus kuakui, kamu salah satu yang terbaik," Ryan menopang dagunya di salah satu tangan yang diletakkan di meja.

Sudut bibir Layla sudah berkedut. 'Benar-benar omongan buaya!'

"Padahal aku gak terlalu berharap waktu tahu kamu cuma seorang guru," pria itu melanjutkan. "Tapi ya... not bad."

Tengkuk Layla mulai menegang. Apanya yang teraik? Apanya yang not bad? Apa yang dinilai pria ini padahal belum ada lima menit mereka duduk bersama!

"Ah... begitu, ya...." Layla hanya pura-pura tertarik.

"Tapi jujur saja, aku tidak terlalu mempermasalahkan profesi pasanganku nanti." Ryan mengibaskan tangannya. "Aku bisa memenuhi apa yang dia inginkan, jika dia menurut padaku."

Setelahnya, Ryan terus mengoceh ini-itu, membanggakan dirinya, bahkan pamer akan banyaknya wanita yang dekat dengannya. Sampai makanan disajikan pun pria itu tidak berhenti berbicara.

Layla hanya menanggapi seadanya. Ia tidak bertanya duluan, dan hanya menjawab jika ditanya. Layla pikir, Ryan cukup pintar dan paham dengan gestur tubunya, tapi ternyata tidak.

Pria ini benar-benar bodoh.

"Kamu mau ke mana setelah ini?" tanya Ryan pada saat mereka selesai makan.

"Hm... langsung pulang," jawab Layla. Menghabiskan akhir pekan di sini benar-benar menguras energinya, ia ingin pulang!

"Kamu gak mau mampir dulu?"

"Hah?" Kali ini, Layla tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Lalu tiba-tiba, Ryan malah mengeluarkan kunci kamar hotel dari saku celananya. "Aku sudah menyewanya sepanjang akhir pekan ini."

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang