Wanita itu memejamkan. Jantung Aldimas kembali terpacu melihat itu. Ia tidak akan menahannya....
Grrrk~
Baik Aldimas maupun Layla membuka matanya kembali. Aldimas mengerjap, bingung sendiri dengan suara apa yang baru terdengar begitu keras.
Namun berbeda dengan Aldimas, Layla malah menundukkan kepala. Awalnya, Aldimas pikir kalau Layla marah kepadanya gara-gara tindakan barusan. Dia mulai dilanda kepanikan. Tangannya pun dijauhkan dari wajah Layla.
"Maaf—"
Grrrk~
Bunyi itu kembali terdengar, bersamaan dengan kepala Layla yang menunduk semakin dalam. Tangan wanita itu pun memegani perutnya. Pada saat itulah, Aldimas menyadari dari mana suara itu berasal.
Dia bohong bilang udah makan ternyata....
Aldimas menundukkan kepalanya juga, berusaha melihat wajah Layla. "Kamu belum makan malam, kan?"
Layla mengangguk pelan.
Aldimas kembali mengusap pipi Layla, sebagai bentuk kelegaan dan juga rasa bahagianya. Layla sudah tidak lagi marah, tidak juga menghindar gara-gara tindakannya tadi. Dengan satu gerakan, Aldimas bangun dari sofa itu.
"Tunggu di sini, saya akan masak."
"Eh? Mas bisa masak?" Layla mendongak, menatap Aldimas yang sudah berdiri di sebelah sofa.
Aldimas mengusap kepala Layla. "Buat kamu, pasti bisa."
***
Hari yang tidak diharapkan pun tiba. Dengan kesepakatan bersama, akhirnya Layla dan Aldimas pun datang ke rumah utama keluarga Mandrawoto. Seperti dugaan Layla, rumah tersebut sangat besar dan megah. Bahkan halaman depannya saja bisa menampung lebih dari 20 mobil.
"Kalau kamu gak siap, gak apa-apa kok, Mas. Kita bisa pulang aja," ucap Layla dengan kakinya yang bergerak gelisah di bawah sana. Mereka masih duduk di mobil, baru saja selesai parkir.
Aldimas meliriknya dan terkekeh pelan. "Kayaknya aku deh yang harus bilang gitu ke kamu."
Sejak malam tadi, cara bicara Aldimas mulai lebih lembut dari sebelumnya. Pria itu juga mengganti panggilan mereka dari 'saya-kamu' menjadi 'aku-kamu'. Layla pikir, itu mungkin salah satu strategi Aldimas untuk malam ini di depan keluarganya. Jadi, mau tidak mau Layla harus terbiasa, walaupun sesekali tetap merinding mendengarnya.
"Ayo, turun." Aldimas membuka pintu lebih dulu, lalu diikuti dengan Layla.
Mereka berjalan sambil bergandengan tangan menuju pintu utama. Aldimas bilang, pesta ini hanya pesta kecil yang dihadiri kerabat dan orang-orang terdekat Opa. Namun yang terlihat, ini tidak ada bedanya dari pesta peresmian studio baru neneknya tahun lalu.
Ruangan tengah yang mewah dan elegan itu disulap menjadi ruang pesta. Meja-meja berjejer dengan makanan dan minuman, bahkan ada juga wine dan champagne. Orang-orang yang datang memakai pakaian semi formal, tapi tetap tercium bau uangnya.
Layla sendiri memakai rok batik yang dipadukan dengan blus, sedangkan Aldimas hanya memakai kemeja polos yang senada dengan blus Layla. Mereka berjalan di antara kerumunan, dan pada saat itulah perhatian orang-orang mengarah kepada mereka.
Tidak ada cibiran yang terdengar jelas, tapi tatapan itu sudah cukup menjelaskan. Perut Layla terasa mual. Entah bagaimana Aldimas bisa menahan semua ini dari dulu.
"Rileks, Lay...," bisik Aldimas sambil menuntun Layla menuju meja utama, tempat keluarga intinya berkumpul.
Opa Aldimas belum ada di kerumunan itu, tapi Layla bisa melihat ibu tirinya dan beberapa orang yang hadir di pernikahannya waktu itu. Tidak ada yang menyambut Aldimas. Mereka hanya melengos dan kembali mengobrol satu sama lain.
Kenapa aku baru sadar, ya.... Layla bergumam dalam hati. Layla baru ingat, pada hari pernikahannya pun tidak ada yang mengucapkan selamat secara langsung kepada Aldimas. Ternyata, pria itu memang diperlakukan sedingin ini.
"Kakak ipar udah datang?" di antara kerumunan, muncullah Satria dengan wajah semringah.
"Halo, Mas," sapa Layla balik.
"Gimana jalanan? Macet?"
Layla menggeleng. "Gak, kok. Kita... emang terlambat aja dandannya, jadi telat datang."
"Gak telat, kok. Opa belum keluar juga."
Bagaimanapun, melihat ruangan ini sudah penuh, Layla pasti berpikir kalau mereka adalah tamu terakhir yang datang.
"Oh, iya, Kakak ipar—"
"Berhenti panggil Layla kayak gitu," Aldimas tiba-tiba memotong. "Bikin risi."
Sebenarnya, apa yang dikatakan Aldimas ada benarnya. Namun, Layla hanya tidak menyangka kalau Aldimas benar-benar mengatakannya. Pria itu cenderung tidak peduli, lantas kenapa tiba-tiba berbicara ceplas-ceplos seperti itu?
"Oh, iya?" Seolah tidak percaya, Satria menoleh ke arah Layla.
Layla meringis, sedikit canggung karena berdiri di antara Aldimas dan Satria. "Ah... sedikit."
"Oke, kalau gitu... aku panggil Layla, gimana?"
"Jang—"
Layla dan Satria menoleh bersamaan begitu mendengar suara Aldimas. Namun, pria itu buru-buru mengatupkan mulutnya kembali. Layla pun menaikan sebelah alisnya.
"Gak apa-apa," lanjut Aldimas kemudian.
Percakapan mereka terhenti karena sang bintang utama hadir. Opa datang dengan kursi rodanya yang didorong oleh sekretarisnya. Tepuk tangan ringan menyambut kehadirannya, dan dibalas dengan senyum Opa yang masih terlihat lemah.
Sepatah-dua kata diucapkan Opa sebagai sambutan. Layla dan Aldimas hanya berdiri di tempatnya, tidak seperti kerabat lain yang berusaha mendekat dan mengeluarkan kalimat penjilat di depan Opa. Layla bisa merasakan tangan Aldimas menggenggam tangannya dengan begitu erat.
"Selama saya absen dari perusahaan, saya ingin berterima kasih kepada cucu-cucu saya. Terutama Aldimas."
Tepat setelah nama Aldimas disebutkan Opa, semua perhatian langsung tertuju kepadanya. Layla pun tak luput dari tatapan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Name of Marriage Contract
RomantizmLayla sama sekali tidak paham, kenapa pria yang menuduhnya sebagai simpanan kakek-kakek, tiba-tiba menawarkan pernikahan kontak? Terlebih, pria ini selalu datang seperti dewa penyelamat setiap kali Layla terkena musibah. Mulai dari ketika ia mabuk d...