BAB 41

1.7K 104 3
                                    

Layla melirik ke arah Aldimas. Ia tahu, pria itu pasti sedang menahan tawanya. Aldimas berkali-kali berdeham sambil menghindari mata Layla. Begitu mereka saling bertatapan lagi, Layla bisa melihat sudut bibir pria itu berkedut.

'Menyebalkan!'

"Saya pesan layanan kamar sebentar," ucap Aldimas, dengan nada yang terdengar biasa—pura-pura.

Sepertinya, Layla menyadari itu. Ia kembali berkata dengan ketus sambil menatap langit-langit kamar, "Gak perlu, aku gak laper banget."

"Saya sekalian mau turun."

Kali ini, ucapan Aldimas sukses membuatnya menoleh. Layla kira, ketika Aldimas bilang akan memesan layanan kamar, pria itu akan memanggilnya melalui telepon hotel.

"Turun?" ulang Layla.

Akhirnya, Layla paham kenapa Aldimas hanya berdiri di sana sedari tadi. Pria itu bahkan tidak melepaskan jam tangan mahalnya, atau paling tidak mengganti sepatu itu dengan sandal hotel.

"Kamu bisa pakai kamar ini sendiri, biar saya cari kamar lain," ucap Aldimas, sehingga membuat Layla duduk di tepi kasur.

Untuk beberapa saat, mereka hanya diam saling berpandangan. Begitu banyak yang Layla ingin katakan, tapi entah kenapa tidak bisa ia ucapkan. Pria itu sangat sulit ditebak. Sebentar ia dingin, lalu tiba-tiba memeluknya, dan sekarang bersikap cuek dan ingin meninggalkan Layla sendirian.

"Ya udah." Layla mendengus, dan kembali merebahkan dirinya di kasur. Ia sengaja meringkuk agar tidak melihat Aldimas lagi.

Layla tidak tahu apa yang dilakukan pria itu. Ia hanya mendengar suara pintu dibuka dan kemudian ditutup dari luar. Ya, mungkin begini lebih baik.

***

Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, tapi Aldimas malah masih berdiri di depan pintu kamar hotelnya sambil menghela napas berkali-kali. Ia tidak bohong soal ingin menyewa kamar lain untuk tidur malam ini. Namun sepertinya, Semesta memang sedang mengejeknya—tidak ada kamar tersisa, di resort milik keluarganya ini.

Alhasil, Aldimas malah kembali ke depan kamarnya. Sebenarnya, ia bisa saja memesan kamar di hotel lain, atau mungkin memesan tiket pulang. Ia tidak memiliki kesulitan untuk melakukan itu semua. Hanya saja... kakinya memiliki pemikiran sendiri. Ia malah kembali ke kamar ini, di mana Layla sedang tertidur di dalamnya.

Mungkin kalau petugas CCTV melihatnya sekarang, mereka akan menyangka Aldimas adalah penguntit, daripada seorang suami yang kebingungan. Sambil menarik napas sekali lagi, Aldimas menekan bel kamar. Ia menunggu selama sepuluh detik, tapi tidak ada jawaban dari dalam.

'Mungkin dia udah tidur,' Aldimas bergumam dalam hati.

Akhirnya, Aldimas membuka pintu itu dengan kartu akses yang ia punya. Keadaan kamar sudah gelap, hanya seberkas cahaya redup dari tengah ruangan. Aldimas melepas sepatunya dan mengganti dengan sandal agar tidak menimbulkan suara. Suasana di sini sudah sangat senyap.

Benar saja, ia mendapati Layla sudah tertidur nyaman di kasur besar itu. Selimut berwarna cokelat muda menutupi setengah badannya. Ia sudah berganti pakaian, memakai baju tidur berbentuk daster ringan bermotif bunga. Sepertinya ia baru membeli daster itu hari ini.

Aldimas meletakkan dompet, ponsel, dan jam tangannya di nakas sebelah kasur, lalu duduk di tepiannya. Ini pertama kalinya ia melihat Layla tertidur. Wanita itu sangat tenang, sampai membuat Aldimas tidak percaya kalau wanita cerewet dan suka marah-marah itu adalah orang yang sama.

Tangan Aldimas terulur untuk menyingkirkan beberapa helai rambut Layla yang menutupi wajahnya. "Enak, ya, kamu bisa tidur nyenyak begini, padahal saya dari kemarin uring-uringan gara-gara kamu."

Ya, meskipun sulit, akhirnya Aldimas mengakuinya sendiri. Layla adalah satu-satunya wanita yang bisa membuatnya seperti ini. Sebentar ia merasa kesal karena diabaikan, kemudian membuatnya tergelitik dengan tingkah dan segala ucapannya. Layla juga yang membuatnya meninggalkan kantor, dan terbang ke sini setelah mengetahui hubungannya dengan Michael Hartono.

Aldimas tidak pernah tahu kalau istrinya ini memiliki cukup banyak hubungan dengan pria. Ia sudah menyelesaikan soal Raikhal, tapi tiba-tiba datang satu makhluk lagi. Diego bilang, mereka sudah berteman lama, dan masih berhubungan intens walaupun Michael Hartono berkarier model di Amerika Serikat.

Kalau saja mereka tidak ada proyek bersama, mungkin Aldimas tidak pernah tahu soal fakta itu.

Pandangan mata Aldimas turun menyusuri setiap detail wajah Layla. Wanita itu mungkin bukan wanita tercantik yang pernah Aldimas temui, pun menjalin hubungan. Hidungnya tidak mancung, warna kulitnya pun cenderung sawo matang. Namun, semuanya seperti berpadu sempurna dan membuatnya terlihat sangat manis. Bahkan ketika Layla mengomel, sampai membuat pipinya kemerahan dan rambut ikalnya bergerak pelan, itu terlihat menarik di mata Aldimas.

"Ya, ngelihat kamu ngobrol sedekat itu dengan dia... saya gak tau." Aldimas menghela napas, jarinya masih membelai helai demi helai rambut Layla. "Kayaknya saya beneran udah gila."

Ketika jari Aldimas sampai ke leher wanita itu, ia terhenti. Ia masih belum paham perasaan apa ini. Yang pasti, Aldimas tidak merasa terganggu dengan kehadiran Layla. Ini lebih dari sekadar perasaan nyaman.

"...Mas?"

Aldimas terkesiap mendengar suara lembut itu. Matanya bergerak menatap mata Layla yang terbuka setengah. Wanita itu tampak belum sadar sepenuhnya.

Di tengah gelapnya kamar, Layla mengerjap pelan beberapa kali. Tatapannya yang sayu membuat tubuh Aldimas kaku seketika. Jantungnya pun berdegup tidak karuan, membuat aliran darah ke kepalanya meningkat. Aldimas, tidak bisa berpikir jernih saat Layla memanggilnya 'Mas' seperti itu.

"Bahkan di mimpi pun ketemu kamu...." suara serak dan pelan Layla kembali terdengar.

Aldimas terkekeh. Pemandangan ini sekali lagi menggelitik dadanya. Layla masih setengah tertidur, bergumam dengan suara serak dan tatapan sayu.

"Kamu ganteng loh kalau ketawa gitu," Layla kembali berkata—dengan nada yang sama. Ada senyum tipis yang tercetak di bibirnya.

"Benar?" goda Aldimas.

"Hm."

Layla hanya mengangguk dan mengerjap pelan. Sepertinya, kantuk masih menggantungi mata wanita itu.

Tawa Aldimas perlahan mereda, tapi senyumnya tetap tersisa. Tangan Aldimas yang tadi berhenti membelai Layla, kembali bergerak, menyusuri garis rahang wanita itu. Mata Aldimas melirik ke arah wajah Layla, wanita itu tidak menolak, malah balas menatap Aldimas.

Tatapan sayu itu menenggelamkan Aldimas. Tangan Aldimas berhenti di pipi wanita itu, menyalurkan kehangatan dari telapak tangan besarnya. Dorongan itu semakin besar, membuat Aldimas menundukkan kepala. Napasnya membentur napas Layla yang teratur, dan dari ujung matanya, Aldimas bisa melihat wanita itu memejamkan mata.

Bibir lembut itu bertemu dengan bibir Aldimas, membawa sensasi yang tidak bisa digambarkan oleh pria itu. Tangannya semakin erat memegang rahang Layla. Ia tidak membiarkan wanita itu lepas untuk malam ini. Aldimas ingin merasakan kehangatan itu sedikit lebih lama.







--------------------------

WKWKWKWKWK

Yang mau ngobrol dan berteman sama aku, bisa ke IG aku (ziajungstory) atau TikTok aku yaa (ziajungstory). Thank youuu

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang