BAB 85

1.4K 122 17
                                    


"Saya ingin keturunan Hardian Mandrawoto menderita! Terutama kamu, Aldimas!" teriak Norman. "Para binatang yang sudah menginjak-injak hidup saya!"

Norman mencengkeram leher Layla semakin kuat.

"Saya yang rela menjilati kaki Hardian Mandrawoto setelah dia menghancurkan perusahaan keluarga saya. Datang sebagai karyawan biasa, sampai mendapatkan pengakuan sebagai orang kepercayaannya. Tapi apa? Dia tetap saja mengharapkan anak tak tau diri yang memilih kabur bersama wanita daripada mengurus perusahaan!"

Terlihat Norman mulai kehilangan kendali akan dirinya ketika mulai meracau panjang lebar. Ia bolak-balik mengacungkan pistolnya ke arah Aldimas yang terus berjalan mendekat, dan Layla yang berada dalam genggamannya. Langkahnya diseret mundur, menghindari Aldimas yang mendekatinya seperti jaguar hitam.

"Gak cuma menjodohkan bajingan itu dengan wanita yang saya cintai, tapi dia juga menginjak-injak wanita itu. Ya, Farah Yulia—ibu tiri Anda, Tuan CEO!" Norman mengeluarkan nada mengejek untuk Aldimas, tapi pria itu tetap tidak bergeming, hanya terus melangkah mendekat.

"Bajingan serakah itu... hanya demi wanita rendahan, dia memperlakukan wanitaku seperti sampah! Tapi, apa balasannya? Mereka malah menerimamu dan bahkan memberikan posisi itu kepadamu!"

Bola mata Norman bergerak tidak fokus. Ia bahkan sudah mengeluarkan tawa aneh, yang membuatnya tampak seperti orang gila. Layla semakin ketakutan, apalagi Norman tidak melepaskannya sedikit pun. Lengannya malah semakin kuat membelit lehernya, membuatnya hampir kesulitan bernapas.

"Kamu bilang, mau melakukan apa saja, kan?" Norman bertanya kepada Aldimas.

Aldimas berhenti melangkah. Apa itu artinya Norman ingin diajak bernegosisasi?

"Ya."

Dengan cepat, Norman mengeluarkan sesuatu dari selipan celananya dan melemparkannya ke depan Aldimas. Sebuah pistol lain tergeletak di tanah berdebu.

"Tembak dirimu sendiri, di depanku."

Layla membulatkan matanya. Apalagi saat melihat Aldimas menunduk untuk mengambil pistol itu. Ia memberontak di tangan Norman, membuat pria paruh baya itu dengan segera menekan ujung pistolnya lebih dalam ke leher Layla.

"DIAM! Ada gilirannya untukmu mati juga."

Seluruh tubuh Layla sudah lemas dengan air mata yang tidak berhenti mengalir. Mungkin, kalau tangan Norman tidak melingkar erat di lehernya, ia pasti sudah meluruh di lantai berdebu itu. Ia tidak punya kekuatan untuk berdiri, apalagi untuk bernapas dengan benar.

Aldimas bisa merasakan dinginnya pistol itu menyentuh tangannya. Matanya melirik ke arah Layla yang terus menggeleng sambil menangis. Di sisi lain, Norman tampak kesenangan. Senyum miringnya menghiasi wajahnya yang biasa terlihat tenang itu. Ia tidak pernah menyangka kalau musuhnya selama ini berada di tempat yang sangat dekat.

Mike memberi kode kecil kepada Om Beni untuk melakukan serangan mendadak. Namun sepertinya, ia salah perhitungan dan tidak memperhitungkan bahwa mungkin ada anak buah Norman yang masih bersembunyi.

Alhasil, ketika Om Beni mengulurkan tangan ke belakang untuk mengambil senjata cadangannya, ia tiba-tiba diserang dari lantai dua bangunan itu. Seketika, suasana menjadi kacau kembali, dan semua anggota siap mengeluarkan senjatanya kepada orang itu.

"BAJINGAN LICIK! SUDAH KUBILANG JATUHKAN SEMUA SENJATA!"

Aldimas membulatkan mata ketika melihat jari Norman bergerak untuk menekan pelatuk. "JANGAN!"

Dor!

"LAYLA!!" Aldimas berteriak sekuat tenaga sampai urat lehernya terasa ingin putus. Ia melempar pistol itu dan berlari ke arah Layla yang ambruk ke tanah. Di sebelah wanita itu, Norman juga ikut terjatuh dengan kaki bersimbah darah.

Darah?

Aldimas tidak mau memikirkan itu dan hanya berfokus kepada Layla. Di satu sisi, pasukan Om Beni sudah mengepung Norman di sana. Mereka juga tampaknya terkejut karena yang terluka di sana adalah Norman, bukan Layla.

Ya, itu adalah darah Norman.

"Sat... Satria...." Norman bergumam sambil melihat ke depan sana. Sontak saja, seluruh orang di sana mengalihkan perhatian ke arah yang sama.

Mata semua orang membulat begitu melihat Satria berdiri dengan napas memburu dan memegang sebuah pistol yang masih mengeluarkan asap. Mereka pun bergantian menatap pria itu dan kaki Norman yang terluka. Jangan bilang... Satria yang menembaknya tadi?

"Cukup," ucap Satria singkat dengan mata penuh kebencian. "Apa pun yang kamu lakukan sekarang, gak bisa membuat saya memanggilmu ayah."

Mata Norman membulat. Kapan anak ini tau kebenaran itu? Mulutnya sudah terbuka, ingin mengucapkan pembelaan, tetapi sorot mata Satria menghentikannya. Norman tidak pernah melihat Satria menatapnya penuh rasa jijik seperti itu.

"Jangan buat saya membenci kamu lebih jauh lagi," lanjut Satria.

Tangis Norman pecah. Ia memberontak di dalam genggaman kuat pasukan Om Beni. Ia ingin menghampiri Satria dan mengucapkan beribu kata maaf. Ia ingin memeluk Satria sebagai anaknya sendiri. Ia ingin mengatakan kalau ini semua demi anak itu.

"Satria... Ayah... Ayah lakuin ini semua untuk kamu dan mama kamu...."

"Papa saya hanya Wirdha Mandrawoto!" teriak Satria sambil kembali mengacungkan pistolnya ke arah Norman.

Sontak saja pasukan Om Beni segera bersiap. Mereka memang berterima kasih karena Satria melumpuhkan Norman, tapi tidak dengan membunuhnya. Mata pria itu benar-benar seperti kesetanan.

Pistol itu bergetar dalam genggaman Satria. "Bukan kamu, Norman Gumelar," lanjut Satria dengan penekanan di setiap ucapannya.

"Kamu harus menebus semua dosamu kepada saya, dalam waktu yang lama." Satria menarik napas panjang. Bisa dilihat air mata mengalir deras di kedua pipinya. "Saya harap, kamu gak pernah merasa cukup meminta maaf!"

Teriakan bercampur tangis pedih Norman adalah kode kalau ini semua sudah berakhir. Pasukan Om Beni segera mengamankan Norman, membawanya yang terluka parah di bagian kaki itu untuk menebus dosa-dosanya.

Pistol di tangan Satria terjatuh, bersamaan dengan dirinya yang bersimpuh di lantai berdebu itu. Semuanya berakhir... statusnya sebagai Mandrawoto pun berakhir.



----------------

End kah? WKWKWKK

Mau happy end atau engga?

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang