BAB 17

1.9K 113 0
                                    

Hari kelima sebagai istri Aldimas Mandrawoto, tapi Layla sudah ingin mati kebosanan.

Harusnya, ia tidak menyetujui neneknya untuk mengambil cuti di sekolah. Mereka memang pergi berbulan madu di hari kedua, tapi itu tidak lebih dari sekadar menumpang tidur di hotel. Aldimas malah sibuk bekerja dari hotel, sementara Layla memanfaatkannya untuk tidur seharian.

Baru kemarin mereka kembali ke rumah, dan Aldimas sudah kembali bekerja ke kantor. Layla yang masih memiliki sisa dua hari lagi, sudah mati kutu di rumah ini.

Rekan-rekan gurunya sudah bertanya segala macam. Bagi orang yang jarang mengambil cuti, Layla terus dihujani pertanyaan untuk apa mengambil cuti seminggu penuh. Tentunya selain Poppy, tidak ada yang tahu ia sudah menikah dengan Aldimas.

Layla bangkit dari posisinya di sofa dan berputar-putar sejenak. Mau ngapain, ya? Apa aku pergi jalan-jalan aja keluar?

Pada saat itulah matanya mengarah pada ruangan khusus milik Aldimas. Pria itu bilang, ruangan itu adalah tempatnya bekerja. Layla pernah mengintip sekali dan melihat banyaknya tumpukan buku di sana.

Mungkin di sana ada sesuatu yang menarik, pikir Layla.

Sebagaimana peraturan yang mereka buat, keduanya tidak boleh meminjam dan memakai barang pihak lain tanpa persetujuan. Oleh sebab itu, ia mengirimkan pesan kepada Aldimas terlebih dulu.

[Aku mau pinjam buku dari ruang kerja kamu, boleh gak?]

Lima menit, sepuluh menit, sampai setengah jam tidak ada balasan juga dari Aldimas. Layla semakin kebosanan. Akhirnya, ia memilih untuk masuk saja ke ruangan itu. Toh, dia sudah minta izin lewat pesan.

Salahnya sendiri gak baca chat aku! gerutu Layla sambil melangkah masuk.

Ruangan itu lebih besar bayangan Layla ketika mengintipnya waktu itu. Ruangan itu dominasi warna kayu abu-abu. Ada satu meja cukup besar berisi seperangkat komputer dan satu buah kursi. Di bagian tengah, ada satu sofa sedang dan meja kecil. Sekelilingnya dipenuhi rak buku, hanya satu sisi yang menjadi jendela besar langsung menghadap ke halaman belakang.

Layla menyusuri punggung buku itu satu per satu. Kebanyakan buku di sini bertema bisnis dan ekonomi, ada juga tentang sejarah. Layla berdecak, merasa kalau semua buku itu membosankan ketika menemukan satu judul yang menarik.

"Apa yang Ingin Kau Lakukan Pada Ibumu?" Layla membaca judul buku itu dengan alis terangkat.

Judul buku itu sama sekali tidak cocok dengan Aldimas. Orang sepertinya berpikir tentang ibu? Bahkan dia bersikap sangat dingin terhadap ibu tirinya.

Eh? Tapi omong-omong, Aldimas gak pernah cerita soal ibu kandungnya, Layla berpikir dalam hati.

Layla mencoba untuk membaca isi buku tersebut dengan membuka cepat halaman demi halaman. Tanpa sadar, ketika ia membuka satu halaman, sebuah kertas melayang dari sana.

Itu bukan sekadar kertas, melainkan selembar foto tua. Layla berjongkok, mengambil foto itu dan memperhatikannya dengan dahi berkerut. Itu adalah foto seorang wanita bersama anak laki-laki berumur sekitar sepuluh tahunan.

"Siapa, ya? Pacarnya Aldimas? Udah punya anak?"

"Sedang apa di sini?"

Duk!

"Aw!"

Mendengar suara berat Aldimas, Layla buru-buru berdiri sampai kakinya kram, dan berakhir dirinya jatuh terduduk di lantai. Wanita yang masih mengaduh itu pun mengangkat kepala. Ia mendapati Aldimas sudah berdiri di depannya, masih dengan pakaian kerja yang tadi pagi dipakainya.

"Kamu sedang apa?" ulang Aldimas.

"Cuci baju," jawab Layla asal sambil meluruskan kakinya.

Dalam hati ia menggerutu sebal karena Aldimas sama sekali tidak membantunya. Pria itu tetap berdiri menjulang di depannya, menatap Layla dari atas.

Cih, apa susahnya bantuin aku berdiri?!

"Saya tidak ingat punya mesin cuci di ruangan ini." Aldimas melipat tangannya di dada. "Dan saya juga tidak ingat pernah mengizinkan kamu masuk ke sini."

Layla mungkin akan tertawa keras kalau Aldimas setidaknya menggunakan nada bercanda kalau memang sedang melucu. Namun, sayangnya tidak. Pria itu tetap memasang wajah datar dengan kalimatnya yang terdengar dingin.

"Aku udah chat kamu—ah, sudahlah!" Layla malas menjelaskan, toh sepertinya Aldimas juga tidak peduli dengan pesan-pesannya.

Setelah merasa lebih baik, Layla pun akhirnya bisa berdiri, walaupun masih harus berpegangan dengan rak di sebelahnya.

"Kamu, kok, udah pulang?" tanya Layla.

"Ada dokumen yang harus saya ambil."

Layla mengangguk-angguk. Ia juga melihat Aldimas sudah beranjak ke meja kerjanya.

"Kamu udah makan?" tanya Layla kemudian.

"Belum."

Selesai. Pembicaraan itu berakhir begitu saja. Ya, Layla memang tahu kalau Aldimas adalah pria membosankan. Layla jadi paham kenapa tidak ada wanita yang mau menikah dengannya—selain dirinya pasti.

Merasa tidak ada gunanya berada di sana lagi, Layla pun berniat pergi. Toh, Aldimas sudah dengan halus mengusirnya tadi. Namun, tiba-tiba ia teringat dengan selembar foto di tangannya.

"Mas," panggil Layla sambil berbalik badan, menatap Aldimas yang masih menyiapkan dokumen di mejanya.

"Hm?"

"Ini foto siapa, ya?" Layla menunjukkan foto itu kepada Aldimas. "Aku menemukan ini di—"

Grep!

Aldimas merebut foto itu dari tangan Layla, lalu membentak, "Kamu bisa tidak tidak mengacau? Apa yang kita sepakati soal tidak mengganggu privasi orang lain? Apa kamu sedang memata-matai saya? Ibu saya yang menyuruhmu, kan?"

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang