BAB 6

2.4K 141 1
                                    

"Bu!" Layla memekik. Bukan karena dirinya dihina, tetapi karena ibu itu mengucapkan kata tidak baik di depan anaknya sendiri.

Layla melirik khawatir ke anak ibu itu. Bocah laki-laki itu tampak tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan.

Layla menghela napas, lalu menundukkan tubuhnya agar sejajar dengan bocah itu. Ia pun melirik name tag yang berisi informasi nama dan kelas itu.

"Vano bisa masuk dulu, ya, Nak. Gabung sama teman-teman yang lain," ujar Layla dengan senyuman manis.

"HALAH! Gak usah ya sok-sokan nasehatin anak saya!" sang ibu malah marah dan menarik si anak ke belakang tubuhnya. "Kamu aja gak benar kelakukannya!"

Layla kehabisan kesabaran. Dia memang seorang guru pre-school yang dituntut selalu sabar. Namun, jika menghadapi orang dewasa yang seperti ini, kesabarannya bisa setara dengan tisu dibagi 3, lalu dicelupkan ke air.

"Bu—"

"Lay, Lay, Lay!" suara Poppy bersamaan dengan langkah kaki terburu-buru pun terdengar, memaksa Layla menelan amarahnya.

Poppy tiba di sebelah Layla, lalu tersenyum canggung kepada wali murid itu, sebelum berbisik, "Bu Retno udah nunggu, ayo."

"Tapi, Pop—"

Poppy tidak membiarkannya berbicara, dan langsung menyeret Layla beranjak dari sana. Ia juga kembali mengeluarkan senyum bisnis kepada wali murid itu, seolah sedang meminta maaf.

Melihat itu, Layla mendengus sebal. "Kenapa, sih, ditarik? Aku baru aja mau balas mulut nyinyir dia!"

"Dan membuat kamu langsung dapat SP 3? Jangan gila deh, Lay!" Poppy membalas.

Layla tidak menyahut lagi. Ia pun menurut saja ketika Poppy membawanya ke ruangan Bu Retno. Poppy mengetuk pintunya, dan begitu terdengar sahutan dingin dari dalam, ia pun mendorongnya sampai terbuka.

"Permisi, Bu," sapa Poppy.

Layla yang ada di belakangnya pun ikut menyapa. "Selamat pagi, Bu."

"Poppy, kamu boleh kembali ke kelas, dan Layla silakan masuk," ucap Bu Retno tegas.

Tidak perlu dua kali disuruh, Poppy pun meninggalkan Layla di sana. Layla tidak protes, dan masuk dengan napas tertahan. Bu Retno selalu memiliki aura tersendiri yang membuatnya tertekan.

Di dalam ruangan itu, ternyata Bu Retno tidak sendiri. Ada Bu Sandra juga, si wali murid parlente yang menjadi biang kehebohan gara-gara status WhatsApp-nya.

Bu Sandra meliriknya sekilas, sebelum melengos dengan dengusan. Ia memakai terusan hitam dengan akses emas. Kalung dan anting mutiaranya berkilauan tertimpa cahaya lampu ruangan. Dan tolong jangan bayangkan bagaimana semerbak bau parfumnya.

Layla berusaha tidak merasa terganggu. Ia hanya menghampiri meja Bu Retno dan berdiri di depannya.

"Saya yakin, kamu sudah tau alasan kenapa kamu dipanggil ke sini," ucap Bu Retno sebagai pembuka.

"Ya, Bu," jawab Layla.

Keributan tadi pagi, ditambah hadirnya sosok Bu Sandra di sini, sudah pasti masalah yang akan dibahas adalah soal fotonya yang ada di hotel itu.

"Gak usah banyak basa-basi, Bu Retno!" Bu Sandra yang duduk di sofa itu menyilangkan kakinya. "Langsung aja jatuhkan sanksi buat dia!"

Lebih dari suara ketusnya, Layla sangat tidak suka dipanggil "dia" dalam keadaan formal begini. Bagaimanapun, statusnya masih sebagai guru di sini.

"Sabar, Bu Sandra. Mari kita dengar penjelasan dari Bu Layla."

"Halah! Gak perlu! Guru yang gak punya moral, gak perlu dipertahankan di sekolah elit ini. Memangnya Ibu mau, reputasi Serenity Spring School ini tercemar gara-gara satu guru?!"

Pada saat Bu Retno berusaha berpikir rasional, Bu Sandra sudah menggebu-gebu. Napasnya terlihat naik-turun, dan tatapan matanya menghunus Layla yang masih berdiri di depannya. Layla tidak paham, apa yang membuat Bu Sandra bersikeras menjatuhkan hukuman untuknya.

Memang, perbuatan Layla tidak bisa dikatakan terpuji, tapi toh ia melakukan itu di luar jam kerja—malah pada malam akhir pekan. Layla juga tidak ingat pernah mengganggu Bu Sandra atau anaknya.

'Heran, kenapa Bu Sandra kayaknya dendam banget sama aku, ya,' pikir Layla dalam hati.

"Sabar, Bu," Bu Retno tampak tak bisa berkomentar banyak untuk ucapan Bu Sandra. Tentu saja karena dia adalah salah satu donatur terbesar.

Lalu, Bu Retno kembali menatap Layla. "Setelah ini, kami akan mengadakan forum bersama pimpinan yayasan, donatur, dan beberapa perwakilan orang tua murid. Jadi, saya harap kamu bisa bekerja sama, Layla."

Layla menelan air liurnya sendiri. "F-forum, Bu?"

Walaupun terlihat seperti wanita yang keras kepala, Layla sangat takut jika menyangkut soal kariernya. Ia sudah mempertaruhkan diri, kabur dari rumah, dengan tekad ingin menjadi wanita sukses tanpa keluarganya.

Apa yang akan mereka katakan kalau tahu Layla dipecat?

"Iya—"

"Masih untung dibuatkan forum terlebih dulu!" Bu Sandra menunjuk-nunjuk Layla. "Kalau saya kepala sekolahnya, sudah langsung dilaporkan ke Kementerian Pendidikan!"

Ceklek!

Suara pintu yang dibuka membuat ketiga wanita itu menoleh. Bu Retno sampai berdiri dari duduknya, mungkin ingin memarahi orang yang tak sopan itu. Di dalam sini sedang ada pembicaraan serius, siapa yang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk lebih dulu?

Namun dua detik kemudian, ekspresi Layla dan Bu Retno langsung berubah.

Seorang pria dengan setelan rapi membawa masuk kakinya yang terbalut sepatu hitam mengkilat itu. Tubuhnya yang tinggi tampak sangat menonjol di ruangan itu. Belum lagi tatapan dingin di balik kacamatanya yang menyorot Bu Sandra tajam, membuat tubuh wanita itu menjadi tegang seketika.

"Melaporkan? Atas tuduhan apa Anda melaporkannya?"

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang