BAB 32

1.7K 98 0
                                    


Layla tidak yakin apa yang sedang dibicarakan Opa Hardian. Meskipun begitu, ia tetap mengambil sapu tangan berwarna merah muda itu. Sapu tangan itu terasa familar, tapi Layla masih belum ingat kenapa.

Mungkin karena menyadari kebingungan Layla, Opa melanjutkan, "Kamu memberikaan kepada saya setahun yang lalu, di pos pendakian waktu itu."

'Tahun lalu... pos pendakian....'

Mata Laura beredar, berusaha mengingat kejadian yang sudah cukup lama itu. Sampai akhirnya, ia mengingat suatu kejadian yang hampir ia lupakan. Waktu itu, Layla dipaksa naik gunung oleh sepupunya. Layla yang tidak suka kegiatan luar ruangan pun sampai terkilir beberapa kali karena terjatuh.

Karena jalannya yang lambat, ia pun tertinggal oleh rombongan di pos terakhir. Keadaan mulai mendung dan gerimis, jadi Layla hanya berdiam di pos itu sampai ada seseorang yang menemukannya. Lalu, seseorang tiba-tiba memasuki pos pendakian dengan napas terengah-engah. Layla pikir itu adalah salah satu anggota rombongannya, tapi ternyata adalah pria tua yang tampak sangat payah.

Layla tidak tahu apa motivasi pria tua itu sampai nekat naik gunung ini. Ya... walaupun gunung ini tidak terlalu tinggi dan ramah buat pemula, tetap saja itu di luar ekpetasinya. Sampai tiba-tiba, pria tua itu pingsan di hadapan Layla.

"P-PAK!"

Layla segera menghampiri pria tua itu. Ia juga memeriksa denyut jantung dan napasnya. Masih terasa, walaupun sangat pelan. Naik gunung saja sudah menjadi pengalaman buruk baginya, dan Layla tidak mau memperburuk dengan melihat orang meninggal di depan matanya.

Untungnya, Layla punya pengetahuan soal pertolongan pertama. Setelah melepaskan tas pria itu dan membaringkannya di tempat yang datar, Layla segera memberikan resusitasi jantung paru. Hatinya terus berdoa agar pengetahuannya yang sedikit ini bisa menolong nyawa seseorang.

Satu... dua... tiga...

Layla menghitung sampai tiga puluh dengan kecepatan dan tekanan yang sudah ia pelajari. Ia juga memberikan napas buatan melalui mulut sebelum kembali menekan dada pria tua itu. Sampai akhirnya, terdengar helaan napas panjang dan serak, diikuti dengan batuk lemah dari pria tua itu.

"O-obat...." suaranya yang lemah tampak mengawang.

Layla buru-buru membongkar barang pria tua itu. Ia tahu, itu tidak sopan, tapi ia tidak punya pilihan lain. Ia pun menemukan "obat" tersebut di saku samping tasnya.

"Ini, Pak?" tanya Layla dengan seluruh tubuh bergetar karena panik.

Pria tua itu menganggu, dan dengan segera Layla memberikan obat itu. Ia juga memberikan minumannya untuk membantu pria tua itu menelan. Setelah selesai, Layla mengeluarkan sapu tangan dari saku jaket, mengelap wajah pria itu dari air hujan dan sisa minum.

"Bapak udah gak—"

"PAK HARDIAN!"

Layla tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena tiba-tiba beberapa orang datang sambil meneriakan nama seseorang. Kemudian, semua terjadi begitu cepat. Bagaimana pria tua itu dibawa, rombongan Layla tiba, dan mereka berpisah begitu saja.

Ingatan Layla terputus di sana. Ia bahkan sudah tidak ingat siapa pria yang ia selamatkan waktu itu.

***

"Kamu sudah ingat?" Opa Hardian tampak terkekeh begitu Laura membulatkan matanya. Wanita itu seperti sebuah buku, sangat mudah untuk dibaca.

"J-jadi itu...."

"Kalau tidak ada kamu waktu itu," Opa Hardian memotong. "Saya gak mungkin ada di sini sekarang."

Layla menoleh, menatap ke arah Aldimas yang juga sedang menatapnya. Pria itu tampak penasaran dengan cerita Layla dan opanya. Layla akhirnya memberi kode bahwa ia akan menceritakannya nanti, dan itu membuat Aldimas menganggu.

"Kalau begitu, kami akan pamit sekarang," ucap Aldimas kemudian.

"Kenapa terburu-buru? Aku bahkan belum ngobrol banyak sama Layla," Opa Hardian tampak protes.

Mendengar itu, Layla tidak bisa berbuat banyak. Ia belum mengetahui sifat asli Opa Hardian, jadi tidak berani sembarangan berucap. Terlebih, ada Aldimas di sini.

Lantas, sebelum Aldimas menjawab lagi, Opa Hardian melanjutkan, "Dan aku juga belum bertanya tentang rencana kalian memiliki anak."

"APA?!"

Aldimas menaikan suaranya, sedangkan Layla tersedak air liurnya sendiri. Pernikahan ini saja masih suka membuatnya pusing, apalagi soal anak?! Aldimas pun tampaknya sama sekali tidak paham dengan ucapan opanya itu.

"Aku baru saja mendapat rekomendasi dari Norman," Opa Hardian berkata sambil menoleh ke arah Norman, sekretarisnya. "Sepertinya ada baiknya jika kamu menduduki jabatan pimpinan MD Group setelah memiliki anak."

Norman mengangguk. "Benar, Tuan. Itu juga akan memperjelas hak waris Anda berikutnya."

"Gak masuk akal!" Aldimas mendengus, dan dalam hati, Layla mengiakan umpatannya itu.

Mereka seperti orang tua yang tak pernah puas dengan apa yang dilakukan anaknya. Sudah dipaksa menikah, sekarang juga dipaksa memiliki anak. Korbannya bukan hanya Aldimas, tapi Layla juga.

Namun, Layla sadar, ia tidak bisa berbicara dengan Opa Hardian seperti ia berbicara dengan neneknya. Kondisi Opa jauh lebih lemah, selang infus dan oksigen itulah sebagai bukti. Jadi, daripada membuat keadaan semakin kacau, Layla mencoba untuk meredamnya sejenak.

"Kita akan pikirkan ini baik-baik. Tapi untuk sekarang, kita masih mau habisin waktu berdua, Opa," jawab Layla, yang mengundang tatapan protes dari Aldimas. Namun, sebelum pria itu membuka mulut, Layla lebih dulu mencubit pahanya, menyuruhnya untuk diam.

"Hm... benar juga. Apalagi kalian ini kan menikah karena perjodohan." Opa Hardian mengangguk. Dalam hati, Layla menghela napas lega. "Tapi kuharap, itu tidak menghabiskan banyak waktu."




-------------------------------

Aku kadang suka bikin konten buat cerita ini hehe. Boleh mampir ke tIktok aku @ziajungstory yaaa

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang