BAB 71

1.2K 81 1
                                    


Walaupun Mike memang menyebalkan, tapi ia tidak pernah benar-benar membentak dan marah kepada Layla. Ini adalah pertama kalinya Layla melihat Mike semarah ini. Jantungnya langsung berdebar keras, membuat seluruh tubuhnya kaku. Bibir Layla bergetar, ingin menjawab, tetapi tidak bisa.

"A-aku... aku...."

Mike menghela napas sambil mengusap wajahnya dengan kasar. "Ayo, duduk dulu."

Entah siapa yang tuan rumah di sini, tapi justru Mike yang membawa Layla duduk di sofa. Tangannya menggenggam tangan wanita itu, mengusapnya pelan. Layla tahu, pria itu pasti sedang berusaha menenangkannya.

"Udah dong, jangan nangis. Aku kan cuma nanya," ucap Mike.

"Tapi, kamu bentak aku...."

"Kamu bahkan pernah pukulin aku, tapi aku biasa aja."

Layla mendengus. Bahkan dalam keadaan seperti ini, Mike masih saja bisa bercanda. Ia pun menarik napas panjang, lalu mengusap air matanya.

"Udah bisa cerita?" tanya Mike.

Layla mengangguk. Dengan segala gejolak emosi itu, akhirnya ia menumpahkan semuanya. Tidak ada yang ia sembunyikan lagi. Bahkan hal yang ia sembunyikan dari nenek dan mamanya, dikatakan semuanya kepada Mike.

Soal bagaimana Raikhal memperlakukannya, perjanjiannya dengan Aldimas, pernikahannya, sampai rumor terakhir. Sepanjang Layla bercerita, Mike hanya diam. Namun wajahnya mengatakan umpatan dalam seribu satu bahasa yang tidak bisa ia ungkapkan. Wajah pria itu sudah memerah karena amarah.

"BAJINGAN!!" teriak Mike setelah Layla selesai bercerita, entah untuk siapa. "Kenapa kamu gak cerita dari awal kalau Si Anjing Raikhal perlakuin kamu kayak gitu?!"

Layla menundukkan kepalanya. "Itu... aku pikir, itu masalahku. Dan kamu... jauh di Amerika...."

Mike lagi-lagi mengusap wajahnya dengan kasar. "Terus, sama Aldimas gimana? Kalian nikah beneran—maksudnya, oke, nikah kontak, tapi kalian saling cinta, kan? Ada perasaan, kan?"

Untuk pertanyaan Mike satu itu, Layla hanya bisa terdiam.

Cinta? Perasaan? Adakah?

***

"Seperti dugaan kita, sepertinya akun-akun yang ikut mengomentari Layla itu bayaran." Diego menggeser tablet PC-nya ke hadapan Aldimas. "Semua narasinya hampir mirip."

Aldimas mengambil tablet itu sambil menegakkan punggungnya. Ia dan Diego sedang berada di ruang kantornya, membahas rumor liar di media sosial soal Layla dan MD Group. Walaupun pada akhirnya Aldimas bisa mengendalikan semua itu, tetap saja ada gejolak di antara dewan direksi.

Dan semua itu dikepalai oleh Farah—ibu tirinya.

Dia pasti gak melewatkan kesempatan sekecil apa pun, batin Aldimas sambil membaca laporan yang Diego sediakan.

"Akun pertama yang memicu rumor itu udah dipastikan punya pacarnya Raikhal Agung—atau ekhem, selingkuhannya," lanjut Diego. "Bapak bisa geser ke halaman berikutnya."

Dalam laporan itu terlacak bahwa alamat IP yang digunakan merujuk pada seorang wanita. Kemudian, terdapat juga laporan tentang identitas lengkap wanita itu sampai hubungannya dengan Raikhal Agung. Meskipun begitu, sepertinya masih ada yang janggal.

"Raikhal Agung sedang dipenjara... apa yang buat wanita ini bersikeras ngebela dia? Apa dia sebodoh itu?" Aldimas bertanya.

"Kayaknya dia gak peduli risiko itu." Diego menghela napas. "Walaupun ada narasi soal utang dan bisnis prostitusi Raikhal yang sudah kita buka... dia tidak akan serugi kita."

Benar, karena bagaimana pun itu bukan perbuatannya, melainkan perbuatan Raikhal.

"Apa ini?" tanya Aldimas ketika bergeser ke halaman berikutnya. "Rekening koran Sabella Janetta?"

Diego mengangguk. "Ada dua kali kredit masuk dalam jumlah besar ke rekeningnya. Pertama 10 juta, dan selanjutnya 20 juta kemarin."

"Artinya?"

"Ada yang membayar, dan...." Diego berdeham, membuat Aldimas mengangkat kepalanya dari tablet itu. "Disinyalir melalui sebuah akun atas nama Mandrawoto."

"Apa?"

Aldimas buru-buru menggeser halaman berikutnya. Rahangnya mengeras melihat nama pengirim uang ke rekening Sabella itu.

"Satria Yudho Mandrawoto."

***

"Pokoknya, jangan stres-stres lagi. Kalau ada apa-apa, cepat telepon aku, termasuk kalau itu berhubungan sama Aldimas. Kamu udah muntah-muntah dari tadi karena asam lambung, jadi jangan dibawa stres lagi!"

Layla menghela napas begitu mendengar ocehan Mike. Padahal pria itu sudah berdiri di depan pintu, tetapi masih saja mengoceh.

"Iya, iya," jawab Layla.

"Kamu tau, kan, aku lebih baik kehilangan proyek ratusan juta itu daripada kamu menderita karena keluarga Mandrawoto," suara Mike melembut sekarang.

"Iya, aku paham," Layla menyahut lagi. "Udah sana, katanya harus terbang ke Malaysia nanti malam."

Mike tampak resah, tapi akhirnya mengangguk juga. Ia menepuk kepala Layla sekali lagi sebelum keluar dari rumah. Layla hanya mengantarnya sampai depan pintu. Pria itu pun melambaikan tangan, lalu masuk ke mobilnya. Dua kali bunyi klakson adalah pamitan terakhir dari Mike.

Layla menghela napas. Perasaannya jauh lebih baik setelah bercerita dengan Mike. Pria itu mungkin satu-satunya orang yang bisa ia percaya saat ini.

Layla baru saja ingin berbalik masuk ke rumah ketika melihat sebuah mobil masuk ke perkarangannya. Rumah ini memang memiliki perkarangan terbuka, tanpa ada pintu gerbang. Untuk sejenak, Layla mengerutkan dahi begitu melihat mobil asing itu.

"Satria?" gumamnya setelah melihat pria itu turun dari kursi pengemudi.

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang