BAB 80

1.3K 112 11
                                    


Selepas kepergian Mike, Layla hanya menghabiskan waktu di dalam kamar. Ruang tengah dan ruang tamu masih menyisakan sedikit trauma untuknya. Sampai detik ini hanya ada satu pesan dari Aldimas yang bertanya 'ada apa', kemarin siang. Sepertinya pria itu terlalu sibuk sampai tidak menghubunginya.

Atau karena sudah terlanjur membencinya.

Layla menghela napas, dan tiba-tiba perutnya berbunyi. Tingkat stresnya yang meningkat membuat Layla juga cepat lapar sekarang. Anehnya, begitu mendapatkan apa yang ia mau makan, tiba-tiba asam lambungnya naik lagi. Alhasil, Mike-lah yang sedari tadi memakan makanan Layla.

"Aku mau makan bubur...."

Lidah Layla sudah membayangkan gurihnya bubur ayam yang dijual di depan kompleks. Sekarang sudah menunjukkan hampir pukul 11 siang, entah abang tukang bubur itu masih berjualan atau tidak.

Layla mengambil kardigannya dan bersiap ke luar. Mike memang melarangnya untuk keluar rumah dulu, tapi ia tidak bisa menahan dorongan ini. Ia belum tahu kapan Aldimas pulang, dan masih terlalu gengsi untuk bertanya lebih dulu. Makanan di aplikasi online pun tidak cukup untuk mengobati keinginannya ini. Jadi, ia pun mengabaikan peringatan Mike itu dan keluar dari rumah sambil membawa ponsel dan dompet kecilnya.

Kalau dipikir-pikir, Layla hampir tidak pernah keluar rumah sejak tinggal di sini. Dari Senin sampai Jumat, ia harus bekerja. Kalau akhir pekan, lebih banyak menghabiskan waktu di rumah atau berjalan di mall. Padahal kompleks perumahannya ini termasuk yang terbaik. Ada taman yang luas, yang sering digunakan para keluarga untuk berkumpul. Anak-anak kecil tampak ramai di sana. Mungkin kalau Aldimas sudah pulang nanti, Layla bisa mengajaknya ke sana.

Perlu waktu kurang lebih lima belas menit untuk Layla sampai ke gerbang depan. Cukup melelahkan juga, ditambah cuaca sedang panas. Ia melihat ke seberang jalan, di mana banyak pedagang kaki lima yang berkumpul. Karena termasuk perumahan eksklusif, para pedagang dilarang masuk kompleks. Makanya, spot di sana menjadi pelarian warga kompleks ini jika ingin makanan kaki lima yang rasanya luar biasa.

Gerobak bubur ayam itu masih terlihat dari seberang sini—walaupun Layla tidak tahu apakah sudah habis atau belum. Layla hanya perlu menyeberang jalan untuk bisa sampai. Ia menunggu waktu sampai keadaan kendaraan lumayan sepi.

Ciit!

Sebuah mobil van hitam tiba-tiba berhenti tepat di depan Layla. Lalu, sebelum wanita itu menyadari situasinya, pintu mobil itu terbuka dan dua orang berpakaian serba hitam keluar secara terburu-buru. Mereka menempelkan sesuatu untuk menutupi mulut dan hidung Layla, dan perlahan kesadaran wanita itu menghilang.

***

"Layla!"

"Wait, pelan-pelan."

Aldimas menengok ke samping, tapi bukan Layla—orang yang diharapkannya—yang ada di sana. Diego duduk di kursi sebelah brankar rumah sakit yang ia tiduri.

Tunggu? Rumah sakit?

Aldimas mengangkat tangan kanannya yang terasa nyeri. Ada sebuah jarum infus yang bersarang di urat nadinya. Kenapa dia berada di sini? Bukankah sebelumnya, Aldimas masih berada di ruang kantor bersama Satria....

"Lo pingsan tadi malam. Satria yang bawa ke sini, dan telepon gue," seolah bisa membaca pikiran Aldimas, Diego menjawab dengan nada datar.

Aldimas menghela napas dan mengusap wajahnya dengan tangan. "Gue harus pulang. Panggilin dokter."

Semua obrolannya dengan Satria semalam, semakin mendorong Aldimas untuk menemui Layla secepatnya. Terlebih, ia memiliki firasat buruk soal wanita itu. Pikirannya tidak tenang, meskipun faktanya Aldimas sendirilah yang menghindari Layla dari kemarin.

Namun, Diego tidak bergerak ataupun menyahut, sehingga Aldimas menoleh kembali. Wajah pria itu mendadak berubah pucat. Ia juga tampak menghindari tatapan Aldimas, sebelum akhirnya menghela napas panjang.

"Kenapa?" Aldimas bertanya lebih dulu sebelum Diego berucap apa pun. "Jangan bilang kalau Layla....."

"Istri lo gak ada di rumah," potong Diego. "Dan gak bisa dihubungi atau dilacak."

Deg!

Sungguh, golakan emosi yang Aldimas rasakan sekarang cukup untuk membuatnya berteriak seperti orang gila dan mengobrak-abrik seisi kamar VIP ini. Namun, ia bukan orang seperti itu. Rasa pahit harus ia tahan kuat-kuat sambil memejamkan mata. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya, sampai buku-buku jarinya memutih. Ia pun hampir membuat Diego khawatir jika urat di pelipis dan lehernya akan meledak karena tampak begitu tegang.

"Udah cek Michael Hartono?" tanya Aldimas dingin, dengan mata yang masih terpejam.

Diego mengangguk. "Layla terakhir ada di apartemen dia. Dan Michael terkonfirmasi bakal balik ke Amerika sore ini."

"Tahan dia." Aldimas mengembuskan napas dan kembali membuka mata. Tatapannya yang tajam seolah bisa menembus plafon kamar itu. "Dan cepat panggil dokter ke sini!"



--------------------

Kalo rame, nanti aku upload satu bab lagi muehehehe buat persediaan weekend

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang