BAB 90

1.2K 94 2
                                    

Tujuh bulan kemudian.

Layla menghela napas panjang begitu membaca sederet kalimat pada berita itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Layla menghela napas panjang begitu membaca sederet kalimat pada berita itu. Ia tidak menyangka kalau waktunya cukup singkat untuk bisa membongkar semuanya. Bagaimanapun, Layla tahu kalau Farah bukan orang sembarangan. Ia pasti akan melakukan apa saja agar lolos dari tuduhan itu.

Namun ternyata, Aldimas sangat bekerja keras sampai bisa menyelesaikan semuanya kurang dari setahun. Kasus penggelapan dana di MD Group yang menjadi 'kanker' di perusahaan itu pun terselesaikan dengan baik. Baik Farah, Norman, dan antek-anteknya akan mendapat bayaran yang setimpal.

"Lay, taruh dulu hapenya."

Layla terkejut saat mendengar suara mamanya dan buru-buru meletakkan ponselnya. Ia baru ingat kalau saat ini ada di meja makan, tengah menikmati sarapan bersama nenek dan mamanya.

"Udah Mama bilangin berkali-kali, kalau di meja makan, jangan pegang hape," komentar Mama lagi sambil menuang air putih di gelas Layla.

"Maaf, Ma."

Setelah pembicaraan mereka di rumah sakit, akhirnya Aldimas mengizinkan Layla untuk ikut bersama orang tuanya. Tentu saja itu berat untuk keduanya.

"Iya, kita akhiri kontraknya. Mas akan minta Diego untuk mengurusnya, kamu gak perlu pikirin soal kompensasi atau apa pun itu. Yang perlu kamu pikirin adalah kesehatanmu, ya?"

"Dan untuk perceraian... maaf, aku gak bisa menceraikan kamu, Lay. Jika kamu siap, kamu bisa kirim surat cerainya ke Mas, nanti Mas pasti datang ke persidangan."

Layla masih mengingat jelas-jelas kata-kata perpisahan Aldimas waktu itu. Ikhlas tak ikhlas, mau tak mau, begitulah keadaan keduanya. Sampai saat ini, Layla bahkan tidak bisa memproses perceraian mereka walaupun sang mama terus mendorongnya.

Layla malah berubah menjadi wanita yang tak ketinggalan berita dunia finansial gara-gara Aldimas belakangan ini. Setiap hari ia akan membaca portal berita online, menonton tayangan khusus finansial, hanya untuk mengetahui kabar Aldimas.

Aldimas menjadi pria yang lebih baik, membuat Layla semakin takut menghubungi pria itu. Takut jika ternyata hanya dirinya yang menunggu.

"Kemarin ada surat dari sana, kan?" tanya Mama tiba-tiba. Wanita itu seolah sungkan memanggil nama Aldimas atau MD Group, jadi hanya menyebutnya 'sana' atau 'orang itu' jika ada kiriman barang.

"Iya."

"Isinya apa?"

"Cuma beberapa berkas."

"Bukan surat cerai?"

Layla dan Nenek sontak menoleh ke arah Mama. Di antara anggota keluarga Darmawan, mamanyalah yang paling mendorong Layla untuk bercerai. Layla pun kaget. Ia pikir, justru sang nenek yang paling menentang pernikahan itu.

"Bukan, Ma," jawab Layla sambil menghela napas.

"Kalau gitu, kamu saja yang kirim. Kamu udah tanda tangan—"

"Suci," potong neneknya setelah meletakkan cangkir teh ke piring kecil. "Aku ingin makan apel."

Walaupun terlihat jengkel, Mama sepertinya tidak punya pilihan lain selain menutup mulut dan mengupaskan Nenek apel. Untuk sementara, Layla akhirnya bisa menelan sarapannya dengan tenang.

"Jam berapa pesawat kamu?" tanya Nenek tiba-tiba, membuat Layla terkesiap.

"Jam 11, Nek."

Ya, hari ini Layla akan terbang ke ibu kota untuk menghadiri pernikahan Poppy. Sungguh tidak menyangka kalau wanita yang terus berkutat dengan anak-anak dan laptop itu bisa menikah juga. Terlebih, suaminya adalah seorang dokter dan pewaris rumah sakit swasta.

Mengingat itu, Layla akhirnya sadar begitu banyak hal yang dilewatinya selama tujuh bulan ini. Ia sengaja tidak membuka media sosial, melainkan untuk membaca berita Aldimas. Teman-teman yang masih menghubunginya hanyalah Poppy dan Mike. Ia hidup seperti biarawati yang hanya keluar rumah untuk ke psikolog, terapi, dan yayasan neneknya.

"Jangan menginap terlalu lama. Kalau mungkin bisa langsung pulang, pulang saja," komentar mamanya sambil meletakkan potongan apel ke piring sang nenek.

"Anak kamu itu udah mau 28 tahun, masih aja dilarang ini itu," sahut Nenek ketus. "Suka-suka dia saja, toh risikonya dia sendiri yang menanggung." Nenek menjawab dengan nada setengah ketus.

Layla hanya tersenyum mendengarnya. Dulu, ia pasti akan langsung menyahut begitu Nenek menggunakan nada itu, tapi sekarang tidak lagi. Ia tahu kalau itulah bentuk kepedulian Nenek. Beliau memang bukan wanita yang lembut, tapi rasa cinta dan perhatiannya untuk Layla tidak ada yang menandingi.

"Layla udah selesai sarapan." Layla pun berdiri dari kursinya. "Aku mau cek barang-barang dulu, ya."

Kedua wanita itu pun mengangguk.

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang