"Bos! Gawat, Bos!"
Mata Layla yang perih pun terpaksa terbuka gara-gara teriakan itu. Ia sudah lelah menangis, sehingga matanya menjadi berat dan perih. Belum lagi mulutnya disumpal lakban, hingga membuatnya tidak nyaman dan sulit bernapas.
Seorang pria berlari dari arah pintu. Wajahnya terlihat pucat dan panik. Tidak seperti si 'bos' yang berpakaian rapat, Layla bisa melihat jelas wajah pria itu. Ada bekas luka yang menjalar di pelipisnya. Tentu saja itu bukan wajah orang baik-baik.
"Kenapa?" Pria yang sedari tadi mengancam Layla itu berdiri dari kursinya.
"Pasukan luar mendapat serangan dari kelompok tak dikenal! Hampir sebagian besar sudah lumpuh—"
"SIALAN!" pria itu berteriak keras, sampai Layla ikut berjengit di kursinya. "Dari mana Aldimas bajingan itu bisa mendapat akses bantuan?! Kenapa kalian gak tau itu! Bukannya udah saya bilang untuk terus awasin dia?!"
"I-itu, Bos.... pasukan dipimpin pensiunan tenta—"
BRAK!
Pria itu belum selesai menjelaskan ketika pintu besar itu terbuka lebar. Padahal dilihat sekilas saja Layla merasa kalau pintu besi itu terlihat tua dan sulit dibuka orang awam. Puluhan orang yang memang berjaga di dalam gudang ini pun sudah siap di posisi, dengan senjata masing-masing. Sementara itu, pasukan asing yang baru masuk itu dalam sekejap mata langsung menyerang.
Kejadiannya begitu cepat, sampai Layla kesulitan membedakan mata pihak lawan, mana pasukan yang ingin menyelamatkannya. Matanya berkeliling, mencari sesosok manusia yang paling dirindukannya. Namun sepanjang mata memandang, Layla hanya melihat pria-pria berpakaian hitam yang saling berkelahi.
Layla ingin berteriak, tapi tak bisa. Hanya air matanya yang menandakan betapa takutnya ia sekarang. Sudah banyak darah dan orang pingsan—atau mungkin mati—di depannya. Layla memberontak, berusaha melepaskan ikatan di kaki dan tangannya. Namun, sebelum ia berhasil, seseorang mencengkeram lengannya dan memotong tali yang melilit badannya di kursi.
Layla diseret dari tempat itu. Sekuat apa pun ia memberontak, cengkeraman pria itu begitu kuat. Langkahnya diseret paksa.
Dor!
"NORMAN!"
Mata Layla membulat ketika mendengar suara Aldimas meneriakan nama 'Norman'. Apa maksudnya?
Sebelum Layla sempat berpikir, ia merasakan ujung pistol menyentuh pelipisnya. Tubuhnya menegang seketika.
Bagai sebuah film yang di-pause, semua orang di depannya juga tidak ada yang bergerak. Semuanya menegang melihat adegan di depan mata mereka.
"Letakkan senjata kalian, atau kepala wanita ini akan berhamburan keluar!" ucap pria yang menodongkan pistol ke kepalanya.
Dengan bola mata bergetar, Layla melirik ke arahnya. Masker pria itu sudah terlepas. Walaupun masih memakai topi, Layla jadi bisa melihat wajahnya dengan jelas dari bawah sini. Matanya semakin membulat. Norman? Apakah ini pria yang sama dengan yang menjaga opa itu?
Seluruh tubuh Layla merinding. Ia tidak menyangka pria berwajah sejuk itu ternyata dalang dari semua ini.
Ancaman Norman tidak membuat mereka serta merta melakukan apa yang ia minta. Dilihat dari posisinya, Norman sudah pasti terpojokan sekarang. Sebagian besar anak buahnya sudah terkapar di lantai. Pasukan bersenjata yang entah dari mana itu sekarang tengah mengacungkan pistol ke arah Norman.
Klek!
Layla refleks memejamkan matanya ketika mendengar suara itu dari pelipisnya. Hanya satu gerakan lagi, ia mungkin akan menemui papanya di surga.
Aldimas mengepalkan tangannya. Ia percaya bahwa anak buah Om Beni bukanlah orang sembarangan. Mereka bisa saja melumpuhkan Norman dalam satu tembakan saja. Namun di satu sisi, Aldimas juga tidak mau mengambil risiko melihat Layla bersimbah darah di depannya.
Melihat bagaimana wanita itu diikat dan dibungkam saja sudah membuat seluruh tubuh Aldimas sakit. Air mata Layla seperti puluhan pisau yang terus melumpuhkan syaraf-syarafnya. Layla memandanganya dengan tatapan yang paling menyakitkan.
"Al?" Diego memanggilnya, mungkin menunggu aba-abanya.
"Taruh senjata kalian," sahut Aldimas.
"Pak Al? Masa kita—"
Aldimas memotong protes Mike. "Saya bilang, letakkan senjata kalian semua!"
Aldimas bisa melihat Layla menggeleng di depan sana, mungkin tidak suka dengan keputusan Aldimas. Namun, ini satu-satunya cara untuk mengulur waktu. Aldimas yakin, Om Beni tidak sebodoh itu untuk melepaskan seluruh senjatanya.
"Lepaskan istri saya, dan saya akan lakuin apa yang kamu mau, Norman." Aldimas tidak lagi mau memanggil Norman dengan sopan.
Norman justru tertawa keras. Satu tangannya melingkar di leher Layla dengan kuat, sedangkan satunya masih menodongkan ujung pistol ke leher Layla. "Kamu pikir, saya akan percaya? Setelah kalian lihat semua ini?"
Kalau hanya sekilas melihat, sebenarnya Aldimas sudah menang telak. Norman hanya sendirian di sana, sedangkan Aldimas mempunyai pasukan lengkap untuk menolongnya. Sayangnya, satu sandera di sana membuat mereka tidak bisa bergerak sembarangan. Tujuan mereka adalah penyelamatan Layla, apa gunanya jika wanita itu terluka pada akhirnya?
"Apa mau kamu sebenarnya?" tanya Aldimas dengan suara menggeram. Ia pun mengambil satu langkah mendekat.
Sebaliknya, Norman juga menarik Layla untuk mundur selangkah bersamanya. "Mau saya?" ia bertanya dengan senyum miring. "Saya mau kehancuran Mandrawoto. Apa kamu bisa mewujudkannya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Name of Marriage Contract
RomanceLayla sama sekali tidak paham, kenapa pria yang menuduhnya sebagai simpanan kakek-kakek, tiba-tiba menawarkan pernikahan kontak? Terlebih, pria ini selalu datang seperti dewa penyelamat setiap kali Layla terkena musibah. Mulai dari ketika ia mabuk d...