BAB 33

1.7K 106 0
                                    



Setelah itu, hanya Layla dan opanya yang mengobrol. Wanita itu malah sudah duduk anteng di sebelah brankar. Sementara itu, Aldimas sudah berkali-kali melirik jam tangannya.

Ia bukan sebal karena Layla menyita waktunya dengan bersikap sok akrab dengan Opa. Malah sebaliknya, ia tidak mau opanya menyita waktu Layla terlalu lama. Wanita itu memang bilang sudah sengaja cuti hari ini, tapi tidak harus menghabiskan waktu seharian bersama Opa, kan?

Aldimas jauh lebih tenang mengetahui Layla berdiam diri di rumah, daripada menghadapi bahaya seperti waktu itu.

Aldimas hanya menatap percakapan opanya dan Layla dengan tangan terkepal. Begitu banyak kata umpatan di ujung lidahnya ketika opanya mulai bercerita soal masa kecil Aldimas, tetapi tak bisa ia ucapkan. Itu karena Layla terlihat sangat antusias mendengarnya, dan sesekali melempar tatapan jail ke arah Aldimas.

Peringatan terakhir datang, sekretaris Aldimas menelepon dan menyuruhnya untuk segera kembali ke kantor untuk menghadiri rapat. Setelah menyelesaikan panggilan itu, Aldimas kembali ke tempatnya.

"Layla, saya harus kembali ke kantor. Ayo, saya antar kamu pulang," kata Aldimas, sama sekali tidak menghiraukan opanya yang sudah akrab menggenggam tangan Layla.

"Kamu kembali saja duluan, biar Layla di sini. Akan kusuruh Norman yang mengantar nanti." Bukan Layla yang menjawab, melainkan Opa Hardian.

Wanita itu tadinya tampak ingin menyahut, tapi ucapan Opa Hardian membuatnya mengatupkan bibir lagi. Ia menatap Aldimas dengan tatapan bersalah. Sepertinya ia bingung harus bersikap seperti apa sekarang.

"Tidak bisa, Opa. Layla datang bersamaku, jadi dia harus pulang bersamaku juga," jawab Aldimas tegas.

Opa mengibaskan tangannya. "Kaku sekali," sahutnya, lalu kembali menatap Layla. "Bagaimana Layla, apa kamu mau pulang sekarang?"

"Ng... itu...."

Layla kembali menatap Aldimas. Ia juga menggigit kecil bibir bawahnya. Mungkin wanita itu juga ingin pergi dari sini, tapi melihat betapa antusiasnya Opa Hardian, ia jadi tidak enak.

Meskipun begitu, Aldimas tidak peduli. Tangannya bersidekap di dada, dan tatapannya lurus ke arah Layla. Ia berusaha tidak terpengaruh dengan mata berkaca-kaca Layla—tidak kali ini. Ia tidak suka Layla berada di tempat ini terlalu lama.

Ceklek!

"Kakak ipar biar aku yang antar pulang," tiba-tiba sebuah suara menyahut dari belakang, bersamaan dengan bunyi pintu terbuka. "Kakak bisa balik ke kantor duluan."

Bukannya mereda, Aldimas malah semakin meradang. Ia mendengkus keras. "Kenapa istriku jadi tanggung jawabmu?"

Layla sepertinya merasakan peringatan dari ucapan Aldimas, jadi wanita itu segera bangun dari kursi dan menghampiri Aldimas. Sebelumnya ia juga berpamitan kepada Opa terlebih dulu.

"Opa, lain kali, aku akan jenguk Opa lagi, ya," ucap Layla.

Opa Hardian mengangguk. "Kalau bisa, tidak perlu ajak Aldimas."

Layla hanya terkekeh, dan berpamitan sekali lagi. Lalu tanpa menunggu aba-aba, Aldimas segera menarik tangan Layla keluar dari ruangan itu. Ia sama sekali tidak memberikan sepatah dua kata lagi kepada tiga pria yang ada di dalam sana.

"Sifat kamu buruk banget!" komentar Layla begitu mereka berada di depan pintu lift.

"Terima kasih."

Layla mendengkus. "Walaupun kamu emang benci pernikahan ini, seenggaknya berbuat baik sama opa dan adik kamu dong."

Aldimas melirik Layla. Dalam hati, ia membantah ucapan Layla tersebut. Aldimas tidak membenci pernikahan ini.

***

"Mari kita bahas soal an—maksudku, yang Opa bicarakan tadi begitu kamu pulang kerja."

Itu adalah kalimat terakhir Layla sebelum wanita itu menutup pintu mobil dan masuk ke rumah. Gara-gara kehadiran Satria tadi, Aldimas melupakan masalah yang lebih penting. Jadi, sepanjang perjalanan pulang ini, ia memikirkan kemungkinan yang terjadi soal memiliki anak.

'Apa Layla akan mengajukan cerai lebih cepat? Atau menyuruhku mengadopsi anak? Atau jangan-jangan... gak! Gak mungkin dia ngajak aku tidur bareng, kan?!'

Aldimas menggeleng. Padahal itu hanya dugaan liarnya, tetapi wajahnya sudah panas duluan membayangkannya. Ia pun menarik napas panjang sambil mengendurkan dasinya. Merasa kalau itu tidak cukup, Aldimas pun menurunkan kaca jendela di sebelahnya. Debu dan angin jalanan sore hari itu pun langsung menerpa wajahnya.

Begitu tiba di rumah, Aldimas tidak langsung turun dari mobil. Berkali-kali ia melirik ke arah pintu rumah. Pikiran konyol itu terus menggerayangi otaknya.

"Oke, Layla gak mungkin meminta hal gak masuk akal seperti itu," Aldimas berkata kepada dirinya sendiri sebelum membuka pintu mobil.

Begitu membuka pintu rumah dengan kunci miliknya, samar-samar terdengar suara televisi dari ruang tengah. Benar saja, Layla sedang bersantai di sofa sambil memakan sesuatu. Dari bentuk dan baunya, sepertinya itu mi goreng instan.

Wanita itu menolehkan kepalanya ketika menyadari kehadiran Aldimas di balik sofa. "Kamu udah pulang?"

"Hm."

Layla menyodorkan mangkuknya. "Mau mi?"

Kepala Aldimas ingin berteriak, 'Gak perlu! Mari kita bahas soal anak itu sekarang.', tapi perutnya berkata lain. Sejak pulang dari rumah sakit, ia langsung dihajar rapat tanpa jeda. Ia hanya meminum air dan kopi untuk mengganjal perut.

Aroma mi goreng yang khas itu mampu memudarkan gengsi Aldimas yang setinggi langit. Pria itu pun berdeham, dan sedikit mengalihkan wajah untuk menyembunyikan rona merah itu.

"Boleh," jawab Aldimas singkat.

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang