BAB 77

1.2K 103 5
                                    


Aldimas kira, soal Layla dan Yunita adalah hal terburuk di hari itu, tapi ternyata tidak. Lima belas menit setelah Yunita meninggalkan kamar hotelnya, sebuah telepon darurat dari kantor pusat datang. Ia meminta Aldimas untuk segera pulang dan menghadiri rapat direksi darurat yang diadakan malam itu juga.

Dengan terpaksa, ia meminta Anggita untuk memesankannya tiket pesawat tercepat. Untuk sementara, sisa pekerjaan ia limpahkan kepada Anggita. Begitu sampai di bandara, sebuah mobil sudah menunggunya, siap mengantarkan Aldimas ke kantor. Benar saja, seluruh dewan direksi sudah berkumpul di ruang rapat yang besar itu, termasuk ibu tirinya dan Norman—orang kepercayaan Opa Hardian.

"Saya tidak tahu apa yang membuat saya dikecualikan dalam pemberitahuan rapat ini sebelumnya," ucap Aldimas sambil berjalan menuju kursinya.

Brak!

Sang ibu tiri langsung melemparkan foto-foto ke depan meja Aldimas. Tanpa dijelaskan, Aldimas sepertinya tahu foto apa itu.

"Aku gak kaget saat dapat kabar istrimu lagi-lagi selingkuh sama model itu. Tapi, apa kelakuanmu juga harus sama rendahnya? Kamu bahkan gak tau malu dengan bawa anak angkat keluarga Wardoyo ke kamarmu!" ucap Farah panjang lebar.

"Kamu harus berterima kasih kepada Norman karena sudah memantau publik agar rumor busuk kalian gak keluar!" Farah mendengus, lalu melirik Norman yang duduk di sampingnya.

Aldimas tersenyum miring sambil mendengarkan ucapan Farah. Ia pun memperhatikan satu per satu foto yang dilempar Farah tadi. Dari mana pun dilihatnya, ini bukan kamera seseorang yang tidak sengaja melihat mereka. Ini adalah foto yang diambil diam-diam dengan memperhatikan timing.

Padahal dari awal, petunjuknya sejelas itu. Kenapa Aldimas bisa kecolongan, ya?

"Darah memang gak bisa bohong. Kelakuannya sama dengan mendiang ayahnya dulu. Mengecewakan." Salah seorang direksi mulai berkomentar, membuat Aldimas mengangkat pandangannya sedikit. Namun, ekspresinya tidak berubah.

Ucapan itu memancing cibiran lainnya, "Apa yang ada di pikiran Pak Hardian waktu nunjuk dia sebagai penggantinya?"

"Saya tahu kalau gosip ini menimbulkan banyak kekhawatiran di antara kita." Aldimas meletakkan foto-foto itu dengan tenang. "Tapi, bukankah ada sesuatu yang jauh lebih penting?"

"Apa lagi? Justru gosip Anda yang membuat perusahaan goyah inilah yang lebih penting!" Norman, yang sedari dulu hanya menurut dan diam, tiba-tiba menyahut.

Senyum miring Aldimas semakin jelas. "Saya kira, Om Norman jauh lebih tau soal ini. Bukankah Opa yang selalu menyuruh Anda mengawasi saya?"

Norman tampak menelan air liurnya.

Aldimas mengeluarkan ponselnya, dan mengetikkan sesuatu di sana. Sikapnya menimbulkan beberapa cibiran sana-sini, sebelum ponsel masing-masing dewan direksi berbunyi. Aldimas mengirimkan sebuah dokumen di grup khusus direksi.

"Silakan baca. Di sana kalian bisa melihat indikasi adanya campur tangan pihak internal MD Group terhadap gosip-gosip ini," ujar Aldimas sambil menyenderkan punggung ke kursi.

Suara riuh-rendah yang mempertanyakan ucapan Aldimas pun mulai terdengar. Di antara orang-orang yang kebingungan, ada beberapa yang hanya diam dan menatap ponselnya dengan bola mata bergetar. Aldimas sudah menandai orang-orang itu.

"Saya tidak akan tinggal diam. Mereka adalah orang-orang yang menghina MD Group dan mendiang Opa. Pengacara perusahaan akan mengurus soal ini secara langsung."

Kena kalian! Hati Aldimas tertawa puas melihat wajah pucat mereka. Ternyata orang-orang itu datang tanpa dipanggil. Mereka menunjukkan ekornya sendiri hanya dengan satu ancaman.

Pembahasan pun mulai beralih ke topik lainnya yang terkena efek dari hal tersebut. Telinga Aldimas mendengarkan, tapi ujung matanya terus menghunus ke arah Farah yang duduk di sana.

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang