BAB 29

1.8K 112 6
                                    



Keesokan harinya, Layla memutuskan untuk izin bekerja lebih dulu. Aldimas juga sudah mewanti-wantinya, menyuruhnya untuk mengambil cuti sampai seminggu penuh. Namun, tentu saja Layla tidak mau. Ia hanya perlu beristirahat satu atau dua hari sampai luka-lukanya tidak terlalu kentara.

"Telepon saja jika kamu butuh sesuatu," itu adalah kalimat terakhir Aldimas sebelum menutup pintu.

Dulu, Layla pasti akan menganggap itu basa-basi saja, tetapi sekarang ia pasti akan melakukan itu. Kejadian kemarin membuatnya yakin kalau Aldimas bukan pria yang suka omong-kosong. Bahkan ketika telepon Layla itu tidak jelas, ia tetap mencari keberadannya.

Tidak banyak yang Layla lakukan selama di rumah. Karena bosan, ia pun membuka catatan mengajarnya dan sesekali bertukar pesan dengan Poppy. Ia tahu kalau tidak bisa mengganggu Poppy setiap saat karena temannya itu pasti sedang mengajar. Mengurusi sepuluh orang balita jauh lebih merepotkan daripada mengerjakan puluhan laporan.

Ting! Tong!

Layla sedang meregangkan ototnya ketika mendengar bel rumah berbunyi. Ia melirik ke arah jam dinding. Ini belum waktunya Aldimas pulang, lagi pula pria itu tidak akan membunyikan bel lebih dulu. Jadi, siapa? Kalaupun orang tua mereka atau Poppy, pasti akan menghubungi lebih dulu.

Layla masih mencoba untuk berpikir positif, 'Mungkin kurir.'

Layla akhirnya berjalan perlahan menuju pintu karena kakinya masih terasa sakit. Mungkin ini salah satu kesalahan Layla yang tidak mengintip lewat jendela dulu sebelum membuka pintu. Alhasil, dirinya sekarang bengong sendiri karena melihat pria muda di depannya.

Pria itu tidak memakai seragam kurir. Walaupun ia membawa paperbag, itu tidak terlihat seperti kotak paket untuk Layla atau Aldimas. Lagi pula, dia terlalu tampan dan keren untuk ukuran kurir. Mana ada kurir yang memakai kemeja licin biru muda dan blazer hitam begitu.

"Cari... siapa ya, Mas?" tanya Layla akhirnya.

Bukannya langsung menjawab, pria itu malah tersenyum lebar. "Salam kenal, Kakak ipar."

Layla tersedak air liurnya sendiri begitu mendengar panggilan itu. Diperhatikannya lagi pria itu dari atas sampai bawah. Jangan bilang kalau dia... adiknya Aldimas!

'Tapi kok gak mirip?' batin Layla melanjutkan. Namun, buru-buru ia mengenyahkan pikiran itu dan membuka pintu lebar-lebar.

"O-oh... maaf, aku gak tau kalau adiknya Aldimas mau datang hari ini," ucap Layla.

Pria itu lagi-lagi hanya menatap Layla dengan mata mengerjap. Ada senyum tipis yang terlihat aneh di mata Layla. "Kamu langsung menyuruh aku masuk?"

Layla mengerutkan alis. "Kamu gak mau masuk?"

"Kamu gak curiga kalau ternyata aku bohong?" Pria itu kembali beranya.

"Jadi kamu bohong?"

Percakapan penuh kalimat tanya itu ditutup dengan suara tawa pria itu. Entah apa yang lucu, tetapi Layla malah dibuat mengerutkan dahi olehnya. Lalu, sebelum Layla bertanya lebih jauh, pria itu sudah mengulurkan tangannya lebih dulu.

"Aku Satria, adik Kak Al. Maaf, aku tidak sempat datang ke pernikahan kalian," ucapnya.

Layla menyambut uluran tangan itu dengan canggung. Ia tersenyum kaku sambil berpikir, 'Lagian pernikahannya juga gak spesial banget kok.'

"Aku Layla. Istri Aldimas," jawab Layla. Ketika ia menyadari kalau mereka masih berdiri di depan pintu, ia pun mempersilakan Satria masuk, "Eh, iya, silakan masuk."

Sambil menggiring Satria menuju sofa, Layla melanjutkan, "Tapi, Aldimas masih di kantor. Apa mau aku telepon dulu?"

"Boleh."

Layla mengangguk, lalu berjalan ke dapur dengan sedikit tertatih. Ia akan membuatkan Satria minuman dan camilan dulu sebelum menelepon Aldimas. Pikirnya, tidak ada yang aneh seorang adik mengunjungi rumah kakaknya. Terlebih, Satria juga tidak datang ke pernikahan mereka. Ini adalah pertama kalinya mereka saling mengenal.

Sambil menunggu air panas untuk membuat teh, Layla pun menelepon Aldimas. Seolah sudah menunggu panggilan Layla dari tadi, Aldimas mengangkat telepon itu pada dering kedua.

"Kamu sibuk?" tanya Layla langsung begitu mendengar suara dehaman Aldimas.

"Hm," gumam pria itu. "Kenapa?"

"Ng... aku cuma mau kabarin kalau Satria datang ke rumah. Tapi kalau kamu sibuk—"

"APA?!"

Layla sampai harus menjauhkan ponselnya gara-gara teriakan Aldimas. Ia memang sudah menduga kalau Aldimas akan terkejut, tapi tidak sampai berteriak seperti ini. Terlebih, teriakan Aldimas seperti bukan menunjukkan perasaan senang atau semangat, lebih terdengar seperti kemarahan.

"Duh, gak perlu teriak!" Layla balas menggerutu. "Aku bilang, adikmu datang. Dia, kan, gak datang waktu pernikahan kita, kayaknya dia cuma mau menyapa aja."

Aldimas terdengar menghela napas panjang, lalu suaranya kembali seperti semula—datar dan dingin, "Tunggu sebentar, saya pulang sekarang."

"Eh, gak perlu kalau kamu si—" tapi, panggilan itu sudah diputus lebih dulu. "—buk. Dasar pria gak jelas!"

Layla menggerutu kembali pada layar ponselnya yang mati. Tepat pada saat itu, air dalam teko pun mendidih. Ia segera menaruh ponsel itu kembali ke saku, lalu menuangkan air ke cangkir yang sudah berisi teh hijau dan sedikit gula.

Setelah mengaduknya, Layla meletakkan cangkir itu ke nampan. Ia juga menyiapkan beberapa camilan kue kering dan buah potong di sana. Karena Satria datang tanpa pemberitahuan, jadi Layla hanya mengeluarkan camilan yang ada di rumah saja.

"Maaf, ya, cuma ada ini," ucap Layla sambil meletakkan nampan itu ke meja di ruang tamu.

Satria, yang tadinya sedang bermain ponsel, pun meletakkan benda itu ke meja, lalu tersenyum kepada Layla. "Gak apa-apa."

Layla duduk di sofa kosong di sana. "Aldimas kayaknya juga gak sabar ketemu kamu. Dia lagi perjalanan pulang."

"Iya, kah?" Wajah Satria tampak penasaran, tapi entah kenapa Layla merasakan ada gurat lain di sana. Seperti... mengejek?

"Aneh sekali. Biasanya, dia paling gak mau ketemu sama aku," gumam Satria kemudian.

Layla terdiam. Ada yang aneh dari hubungan kakak-adik ini.

"Jadi, Layla," panggil Satria setelah meletakkan cangkir tehnya ke meja.

"Ya?"

Layla menunggu, tapi pria itu tidak kunjung melanjutkan ucapannya. Ia pun memiringkan kepala, berniat untuk membaca ekspresi Satria. Namun, pria itu hanya tersenyum dengan tatapan kosong menatap cangkir teh di depannya.

Awalnya, Layla pikir, Satria sedang merasa tidak enak badan, atau bosan karena Aldimas tidak kunjung datang. Sampai akhirnya, pria itu menoleh tiba-tiba, dan membuat Layla refleks menegakkan punggungnya.

"Berapa lama kalian akan menikah?"

"Apa?" mata Layla membulat. Napasnya pun tercekat di tenggorokan.

'Bagaimana dia...'

"Oh, maaf. Aku salah bicara." Satria mengubah posisi duduknya, menjadi bersandar dan menopang satu kakinya ke kaki lain. Ia menatap Layla dengan senyum tipis. "Maksudku, berapa lama kontrak pernikahan kalian?"

In The Name of Marriage ContractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang