Hari libur tidak selamanya dianggap baik oleh setiap orang. Mungkin untuk anak-anak Cemara, mereka akan menantikan weekend atau hari-hari libur untuk berkumpul dengan kedua orang tua mereka. Namun bagi Naren, weekend adalah hal yang paling horor dibanding hari Senin. Terdengar aneh, namun itu yang Naren rasakan.
Berbeda dengan salsa yang mempunyai ibu yang sayang padanya. Naren justru merasa lebih baik kalau papahnya ikut menyusul ibunya yang sudah lama meninggal. Ia sudah terbiasa hidup tanpa peran orang tua di rumah. Ada bi Neneng, asisten rumah tangga keluarganya yang selalu memperlakukannya dengan baik saja sudah cukup bagi Naren.
Pagi ini, bi Neneng mengantarkan sarapan ke kamarnya. Itu adalah sebuah pekerjaan rutin yang dilakukan BI Neneng selama majikannya ada di rumah. Laki-laki itu jika sudah ada papahnya di rumah mendadak mogok bicara dan hanya berdiam di kamar seharian. Bahkan untuk makan sekali pun. Yudha tidak bisa memaksanya, toh, dia juga tidak peduli.
Bi Neneng tersenyum sembari memperhatikan Naren yang tengah lahap memakan sarapannya. Padahal menu nya hanya nasi putih di tambah kecap, dan telor ceplok kesukaannya.
"Bibi seneng liat mas Naren lahap banget makannya". Bi Neneng mengusap-usap rambut anak majikannya.
Hubungannya dengan Naren bukan hanya sebatas pembantu dan anak majikan. Mengasuhnya semenjak Naren masih bayi, membuat bi Neneng benar-benar menyayangi Naren seperti anaknya sendiri.
"Papah sore ini jadi pergi ke Bali kan, bi?" Tanya Naren.
"Iya, mas, sore ini pak Juned antar bapak ke bandara". Balas Bi Neneng.
Pak Juned itu supir pribadi papahnya. Bi Neneng dan pak Juned itu saling mengenal satu sama lain. Selain karena satu majikan, mereka juga menjadi rumah ternyaman bagi Naren yang kurang kasih sayang orang tua. Begitupun dengan Mbak Wati, Mbak Wati akan menjadi orang pertama yang bi Neneng hubungi kalau anak majikannya itu belum pulang ke rumah.
Mendengar papahnya akan pergi ke Bali sore ini membuatnya senang bukan main. Naren justru menantikan momen dimana hanya ada dirinya dan bi Neneng di rumah.
"Kayaknya mas seneng banget bapak pergi". Ucapnya yang dibalas oleh anggukan singkat oleh Naren. Bi Neneng tentu paham kenapa anak majikannya ini lebih senang jika papahnya tidak di rumah.
"Bagaimana pun, bapak itu orang tua mas satu-satunya, jangan larut dalam kebencian, ya, mas. Mas Naren gak tau apa yang bapak rasain setiap kali mas Naren bertingkah seperti itu. Orang tua mana yang gak sedih kalau tau anaknya sendiri gak suka sama orang tuanya sendiri?" Bi Neneng berujar dengan lembut, tak mau membuat anak majikannya itu merasa tersinggung.
"Terus, perasaan Naren sendiri gimana, bi? Papah selu menuntut Naren untuk melakukan hal yang Naren gak suka. Coba sesekali Naren tuntut papah buat kayak bibi atau pak Juned? Gak bisa, kan, bi?"
"Sudah menjadi watak bapak yang selalu menuntut kesempurnaan dari orang-orang di sekitarnya. Tapi buat bibi, mah, sampe hari ini, Mas Naren sudah melakukan yang terbaik, bibi bangga". Selalu saja Naren mendapat kalimat menenangkan itu dari orang lain.
****
"KAK NAREN!!!"
"ANJ... Sumpah?! Lo tuh lama-lama udah kayak jurig tau gak? Datang tak diundang pulang tak diantar".
Naren menoleh kaget kepada salsa yang menyengir kuda di sebelahnya. Gadis itu ikut menyamai langkahnya yang tengah berjoging di komplek. Btw, rumah mereka masih dalam satu komplek perumahan yang sama.
"Mana ada jurig secantik ini". Balasnya penuh percaya diri.
"Kepedean Lo".