bab 6 : hari ke-7

71 8 0
                                    

Untuk pertama kalinya semenjak masuk SMA, baru kali ini seorang Naren mau diajak telat masuk kelas oleh teman-teman laknatnya. Biasanya, laki-laki itu akan menjadi ustad dadakan ketika teman-temannya mengajaknya telat masuk kelas atau bolos sekalian. Namun hari ini, entah apa yang merasuki dirinya dengan memilih ikut aliran sesat.

Kelima laki-laki itu berjalan mengendap-endap seperti maling menuju halaman belakang sekolah. Kelimanya bahu-membahu memanjat tembok belakang sekolah dengan sangat hati-hati.

"Ini kalau ketauan Bu Yeni bisa gawat nih kita". Ucap Raka.

"Ya makanya cepetan! Lo berat banget ini". Ucap Gerry yang merasa berat karena tubuhnya yang sedang menopang badan Raka yang sedang berusaha memanjat tembok sekolah.

"Iya iya sabar". Balas Raka.

Setelah Raka berhasil memanjat tembok, kini giliran teman-temannya yang saling membantu menopang tubuh yang lainnya. Tiba lah giliran Naren yang terakhir memanjat tembok. Ia berhasil mendaratkan kakinya dengan tepat. Tidak sia-sia laki-laki itu pergi ke gym setiap Sabtu dan Minggu.

"Huft, gak ada yang liat kan?" Ucap Gerry. Laki-laki itu celingukan kesana kemari memastikan tidak ada yang melihat mereka.

"Yuk ah, ke kelas!" Ucap Naren.

Kelima laki-laki itu berjalan beriringan menuju kelas mereka.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tepat saat mereka melewati lorong kantin, mereka berpapasan dengan perempuan berbadan gendut yang tengah berjalan sembari membawa penggaris kayu.

"Mati dah ". Gumam Gerry.

"Bagus! Kalian habis ngonser dimana? Jam segini baru datang!" Bu Yeni, selaku guru BK melotot pada mereka, membuat kelima laki-laki itu terkena spot jantung.

"Hm.... Itu--Anu--Itu tadi si Raka sakit, Bu, tadi pagi dia kejang-kejang". Ucap Bagas mengarang bebas. Raka yang merasa terpanggil melotot tajam ke arah Bagas yang berdiri di sampingnya.

"SETAN!" Bisik Raka.

"Emang kamu sakit apa, Raka?" Tanya Bu Yeni sambil menatap horor ke arah lima laki-laki itu.

"Salah bantal, Bu, makanya jadi kejang-kejang". Balas Raka mengarang bebas.

"Sejak kapan salah bantal bisa bikin kejang-kejang?" Bu Yeni berkacak pinggang. "Bohong! Berani-beraninya kalian bohong sama ibu!" Teriak Bu Yeni menggelegar di sepanjang lorong. Kemudian, mata Bu Yeni beralih menatap Naren yang fokus melihat ke arah lain.

"Ini juga, nih! Kamu, anak pemilik sekolah bukannya kasih contoh yang baik malah ikut-ikutan gak bener!"

"Tadi Raka beneran kejang-kejang, Bu, makanya kami tolongin dulu". Ucap Naren mengarang bebas.

Tiba-tiba, Raka kejang-kejang seperti orang kesurupan. Ia terjatuh di pelukan panji sehingga Bu Yeni berteriak histeris. Sementara teman-temannya yang lain berhamburan kesana kemari berpura-pura panik.

"Ka, sadar woy!" Panji menampar keras pipi laki-laki itu.

"Aduh, itu--meninggal, eh, kejang-kejang! Cepat bawa ke UKS!" Pekik Bu Yeni sembari mendorong-dorong Raka yang seperti orang kesurupan.

Tanpa berlama-lama lagi, Raka dibopong kanan kiri oleh Naren dan Gerry. Mereka semua berlari ke ruang UKS dan meletakkan tubuh Raka di atas brankas. Sebetulnya, sedari tadi mereka menahan tawa tetapi suasananya sedang serius.

"Duh, gimana ini?" Bu Yeni jadi panik sendiri sekaligus merasa bersalah.

"Saya kasih nafas buatan aja, deh". Ujar Bu Yeni membuat mata panji membulat. Bukan hanya panji, semua yang ada di UKS itu sama kagetnya.

100 hari mengejar cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang