Bagai di sambar petir di siang bolong. Itulah yang dirasakan salsa. Acara jalan-jalan yang seharusnya dilalui dengan rasa senang, kini berubah menjadi tangis pilu takut kehilangan. Tidak ada jalan-jalan, tidak ada foto-foto, juga tidak ada liburan.
Salsa tadi sempat menyaksikan kecelakaan di depan sebuah supermarket saat dirinya selesai belanja. Sebuah truk tangki menabrak mobil yang hendak keluar dari area pom bensin. Namun siapa sangka jika korban kecelakaan yang terjadi di depannya adalah Sarah.
Sekarang salsa menyesal, kenapa ia membiarkan mamahnya isi bensin sendirian. Sehingga membuatnya tidak berada di samping mamahnya saat sedang kesakitan. Harusnya, tadi Sarah ikut masuk ke supermarket saja, soal bensin masih bisa di beli nanti di warung eceran atau di pom bensin lain. Sekarang, ia malah kelimpungan sendiri setelah dokter mengatakan kondisi mamahnya cukup parah dan membutuhkan operasi darurat.
"Kak, aku takut mamah..."
"No. Mamah kamu pasti akan baik-baik aja, percaya sama aku". Keduanya kini sedang duduk di pintu ruang operasi.
"Don't cry, okay? Jangan sampe ketika mamah kamu bangun nanti kamu masih nangis. Kamu gak mau, kan, mamah kamu ikutan sedih karena kamu sedih?"
Salsa menggenggam erat tangan Naren. Perasaannya campur aduk. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, antara takut dan khawatir menjadi satu. Ia tak menyangka acara jalan-jalan yang seharusnya menyenangkan malah berakhir di tempat berbau obat-obatan ini.
"Aku takut mamah kenapa-kenapa. Aku cuman punya mamah di hidup aku". Ucap salsa lirih.
"Gapapa, sa, gak ada yang maksa lo buat terlihat baik-baik aja". Ucap Anin. Selain ada Naren dan salsa, ada Bagas, panji, Anin, Gerry, Raka, dan Inara yang turut berusaha menguatkan salsa dan meyakinkan gadis itu kalau semuanya akan baik-baik saja.
Jika boleh meminta, ia ingin tuhan mengganti posisi Sarah dengan dirinya. Ia ikhlas, menanggung semua rasa sakit yang mungkin sedang dialami mamahnya.
"Gue takut...." Lirih salsa sambil menunduk dalam-dalam, tak berani menatap siapapun yang kini ada di hadapannya.
Anin dan Inara bergerak maju, saling menguatkan satu sama lain. Mereka pun sama takutnya dengan salsa. Namun, mereka berusaha yakin bahwa semua akan baik-baik saja.
Setelah menunggu hampir dua jam, akhirnya ruang operasi di buka.
"Gimana kondisi mamah saya, dok?" Tanya salsa.
Dokter tersebut tampak menghela nafas, lalu tersenyum tipis. "Sampai di ruang rawat sudah bisa di tengok, kak".
Jawaban yang sangat tidak memuaskan. Tetapi sedikit menenangkan. Setidaknya, dengan senyuman dokter membuat salsa sedikit mengesampingkan pikiran buruknya. Kalau terjadi sesuatu yang buruk terjadi pada sarah, tidak mungkin dokter tadi masih bisa senyum.
Salsa tak berkutik. Ia masih berdiri di ambang pintu dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Tanpa pikir ulang, ia langsung berlari memeluk mamahnya begitu Sarah membuka mata.
"Sayang?" Perempuan dengan perban di tangan dan kepala serta infus di tangannya itu bertanya.
Salsa mengangguk. Air mata yang sebelumnya sempat berhenti, akhirnya runtuh juga.
"Mamah baik-baik aja, sayang, kamu jangan nangis!" Ucap Sarah dengan suara parau karena kesadarannya masih berada di bawah efek obat bius.
Walaupun masih berada di bawah efek obat bius, namun Sarah masih bisa mengusap air mata anaknya sambil berkali-kali membubuhkan kecupan singkat di puncak kepala anaknya.
Naren ikut terharu, melihat interaksi ibu dan anak itu. Ketika tengah menikmati momen itu, mata Sarah melirik ke arahnya. Ia pun tersenyum tipis, begitu Sarah menyadari keberadaannya dan juga teman-teman salsa dan Naren di sekelilingnya.