Bagas dan Raka memasuki kawasan rumah Naren dengan langkah tergesa. Mereka bahkan tidak mengucapkan salam dan langsung menerobos masuk begitu saja. Bahkan mereka juga tidak sadar dengan keberadaan Yudha di ruang tamu, dan melewatinya begitu saja. Kakinya melangkah lebar, menaiki anak tangga menuju kamar Naren.
"Ada apa? Kok main nyelonong masuk ke rumah orang aja?" Tanya Yudha, sedikit berteriak.
Baik Bagas maupun Raka tidak ada niatan untuk menghentikan langkahnya ataupun sekedar menoleh. "Naren ngedrop, om". Ucap Raka tanpa menoleh sedikit pun.
Yudha tentu terkejut. Seharian ini ia di rumah dan tidak tahu sama sekali perihal anaknya yang sakit. Tadi pagi ia memang tidak melihat anaknya sama sekali. Pintu kamarnya pun tertutup rapat. Ia pikir Naren sudah berangkat ke sekolah lebih awal.
Sudah seminggu semenjak kepergian salsa ke London, Naren memang tampak lebih sering menyendiri, mengurung diri di kamar, dan lusuh seperti tak terurus. Di rumah pun, ia selalu mengurung diri di kamarnya. Ia tidak mau bertemu dengan papahnya. Ia hanya memakai beberapa sendok dari makanan yang diantarkan oleh bi Neneng ke kamarnya. Badannya juga tampak lebih kurus dari sebelumnya karena jarang makan. Dan barusan, bi Neneng menghubungi Bagas karena Naren mendadak demam tinggi dan tidak sadarkan diri.
Yudha buru-buru menyusul Bagas dan Raka menuju kamar Naren. Sesampainya di kamar, mereka melihat sudah ada bi Neneng yang setia mengompres kepalanya yang bercucuran keringat dingin. Beruntunglah, saat mereka sampai Naren sudah sadar.
"Ayo, bi, kita bawa ke rumah sakit aja". Ucap Bagas.
"Jangan". Ucap Naren dengan nada parau.
"Ke rumah sakit, ya, Na? Sama gue sama Bagas". Raka masih berusaha membujuk Naren agar mau dibawa ke rumah sakit, meskipun sudah berkali-kali di tolak.
Naren tetap menggeleng. Tangannya hanya bergerak untuk merapatkan selimut. Kepalanya terlalu pusing untuk sekedar membuka mata. Demamnya semakin tinggi, badannya menggigil hebat.
"Bibi kenapa gak kasih tau saya kalau Naren sakit?" Tanya Yudha dengan nada sedikit meninggi.
Yudha menghampiri Naren yang masih membungkus dirinya dengan balutan selimut tebal. Ia sentuh dahinya yang ternyata benar-benar panas.
"Papah gak usah bentak-bentak bi Neneng. Bi Neneng juga gak tau kalau aku sakit. Bi Neneng baru tau tadi pas nganterin makan buat aku. Siapapun tau, siapa yang lebih peduli sama kondisi aku".
Yudha cukup tersentak mendengar penuturan anaknya. Hatinya sakit. Bahkan, dalam kondisi sakit sekalipun yang dibutuhkan anaknya adalah orang lain, bukan orang tuanya sendiri. Ada penyesalan sebab tak sempat mengucapkan kata maaf kepada anaknya yang telah menjadi korban keegoisannya. Yudha terlalu mengedepankan gengsi. Namun sekarang, ia baru menyesal.
"Tolong siapkan mobil! Kita bawa Naren ke rumah sakit". Perintah Yudha kepada Bagas dan Raka.
Raka dan Bagas mengangguk. Mereka tentu paham bahwa ayah dari temannya itu meminta diberikan waktu untuk berdua dengan anaknya. Begitu mereka keluar, Yudha memeluk erat anaknya, tak lupa dengan gumaman kaya maaf ia bisikkan berkali-kali. Naren yang masih sadar, tentu dapat mendengar semua permintaan maaf papahnya. Mungkin, ini adalah kalimat paling tulus yang diucapkan papahnya, sampai tanpa sadar, air mata mengalir di pipinya.
****
Keadaan Naren sudah sedikit lebih baik setelah mendapatkan perawatan dokter. Wajahnya sudah tak sepucat tadi. Kata dokter, ia hanya kelelahan, stres, dan juga kurang asupan nutrisi. Dokter menyarankan Naren untuk tidak dulu memikirkan hal-hal yang dapat membuatnya stres dan harus banyak istirahat.