Tepat pada pukul 15.00, Naren bangun dari tidur panjangnya.
Nafasnya tersengal-sengal, baju rumah sakit nya pun ikut basah oleh keringat.
Pemandangan pertama yang Naren lihat setelah ia membuka mata adalah ruangan bernuansa putih dengan aroma khas obat-obatan. Naren merasa linglung, bayangan dirinya menangis sembari memeluk batu nisan masih terasa begitu nyata dalam ingatannya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan, namun ia tak menemukan siapapun selain sesama pasien yang tinggal satu ruangan dengannya.
Ia mencubit pipinya sendiri, untuk memastikan bahwa apa yang dialaminya kini benar-benar nyata, atau hanya mimpi saja. Dan ternyata, cubitannya terasa sakit.
Naren mengusap wajahnya yang banjir keringat, mimpi buruk yang ia alami terasa sangat menyakitkan. Namun, sekarang ia bersyukur, itu semua hanya mimpi. Lalu, kemana perginya orang-orang?
Pintu ruangannya terbuka, muncul sosok Niko bersama Bella. Niko terkejut, mendapati adiknya sudah sadar dan tengah duduk sendiri di atas ranjang.
"Na, Lo udah bangun?"
Niko dan Bella langsung menghampirinya. Niko menelpon Yudha, guna memberi tahu kalau Naren sudah bangun dari tidur panjangnya.
"Ada yang kerasa gak? Biar Bella panggil dokter". Tanya Bella.
"Gak usah, gue gapapa". Ucap Naren.
"Oh iya, salsa gimana?" Tanya Naren.
"Kata dokter, masa kritisnya udah lewat, tapi....." Ucap Bella.
"Tapi apa?"
"Tapi dia masih belum sadar sampe sekarang". Sambungnya.
Jantung Naren rasanya ingin berhenti berdetak untuk beberapa saat. Tangannya gemetar, merasakan kehancuran yang teramat menyiksa. Ia takut, mimpi buruknya akan berubah menjadi kenyataan.
"Salsa dimana? Gue mau liat dia sekarang". Ucap Naren.
Naren tetap kekeuh ingin melihat salsa nya yang masih belum terbangun dari tidur panjangnya. Niko menghela nafas pasrah, akhirnya ia dan Bella pergi menemani Naren ke ruang khusus tempat salsa di rawat.
Mereka tidak bisa masuk, mereka hanya bisa mengintip melalui jendela ruangan.
"Aku udah bangun, sa. Sekarang giliran kamu yang harus cepat-cepat bangun. Ada banyak orang yang kangen sama kamu". Bisik lirih Naren sambil menatap gadisnya dari luar.
Niko merangkul bahu Naren. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menguatkan adiknya.
"Gue sempat mimpi kalau dia pergi ninggalin gue buat selamanya. Mimpi itu gak akan jadi kenyataan, kan?" Tanya Naren.
Niko menggelengkan kepalanya. "Dia gak akan pergi ninggalin Lo, dia sayang banget sama Lo". Niko meneteskan air matanya, menyaksikan sang adik yang tengah dilanda ketakutan akan kehilangan gadis kesayangannya.
Bella turut memeluk suaminya, seolah sedang memberi kekuatan. Kepala Niko tertunduk dengan bahu yang bergetar, namun isakannya tidak terdengar. Ia sengaja menyembunyikan isakannya agar tidak di dengar oleh Naren.
"Aku tau kamu dulu tukang tidur kalau di kelas, tapi jangan tidur selama ini juga, sa". Naren menggenggam erat tiang infus di sebelahnya.
"Kamu harus bangun, sa. Jangan tinggalin aku sendiri lagi. Aku udah cukup tersiksa dengan kamu ninggalin aku selama enam tahun, jangan kamu siksa aku lagi dengan tinggalin aku buat yang kedua kalinya". Naren tidak bisa menahan Isak tangisnya setiap kali melihat salsa.
Rasanya benar-benar sakit melihat gadis yang paling ia sayang harus terkulai lemas di ranjang dan bergantung hidup pada alat-alat rumah sakit. Ia bahkan tidak tahu, apa yang akan terjadi jika alat-alat itu terlepas dari tubuhnya.