bab 3 : cewek gila

92 9 2
                                    

Hari ini adalah hari pertama salsa mengenakan seragam SMA setelah selama satu Minggu menjalankan MPLS. Selama satu minggu kemarin, mereka masih memakai seragam putih biru. Ia berangkat bersama anin dengan mobilnya yang dikendarai oleh pak Yadi, supir pribadi keluarga salsa.

Saat SD, mereka selalu satu kelas dan duduk satu bangku. Dan kini, mereka pun dipersatukan lagi di kelas yang sama, yaitu di kelas 10 MIPA 3.

Berhubung ibu masih hari pertama masuk setelah MPLS, pembelajaran belum begitu produktif. Beberapa guru masuk ke kelas untuk sekedar berkenalan dan bercerita tentang hal-hal yang tidak penting. Ada yang bercerita tentang pengalaman hidup, cerita horor, keluarga, dan ada juga yang cerita tentang pengalamannya di kejar-kejar debt kolektor.

Saat ada jam kosong, pak Junaedi, selaku wali kelas berpesan kepada murid-murid nya untuk membentuk struktur kepengurusan kelas. Namun, seisi kelas tetap asik menatap layar ponselnya masing-masing karena bingung menilai pembicaraan dari mana.

"Sa, ke kantin yuk!"

"Ayok lah". Ucap salsa antusias.

Berhubung di kelas Inara sedang ada guru, jadi mereka hanya pergi berdua saja. Btw, kelas Anin dan salsa, dan Inara di pisah. Jadi mereka tidak bisa mengajak Inara bersama mereka ke kantin.

Ketika abin sedang memesan makanan, salsa melengan pergi begitu saja saat matanya menangkap keberadaan Naren yang tengah berjalan di lorong kantin.

"Kak Naren!!!" Panggil salsa membuat pergerakan Naren terhenti. Dengan secepat kilat, salsa menghampirinya.

"Kita ketemu disini".

"Btw, mau kemana kak?" Tanya salsa.

"Ke kelas lah, Lo ngapain disini? Bukannya di kelas". Balas Naren.

"Lagi jamkos".

"Lo siapa sih?"

"Oh iya, belum kenalan ya, kenalin, kak, nama gue Salsabila alveria, panggilannya salsa, umur gue lima belas tahun, dan gue masih jomblo loh, kak".

"Hah?"

"Minta nomor hp dong kak". Ucap salsa dengan tingkat kepercayaan diri di atas rata-rata.

"Bukannya kemarin udah?"

"Salah nomor! Minta nomor yang benernya dong kak".

"Buat apa?"

"Ya buat deketin Lo lah, kak. Gue suka sama lo". Ucap salsa terang-terangan.

Naren terdiam, tentu saja ia tidak menyangka dengan pengakuan Salsa yang secara terang-terangan menyatakan suka padanya. Biasanya, para cegil nya itu hanya berani memberi coklat yang memenuhi bangkunya

Naren menghela nafas berat. Kemudian melengang pergi dari kantin.

"Kak, mau kemana?" Tanya salsa.

Naren tak mempedulikan salsa. Ia berjalan melewati salsa begitu saja.

"Kak, mana nomor hp nya?"

"Ish dasar songong!"

"Awas aja, gimana pun caranya gue bakalan dapetin nomor hp Lo". Teriak salsa menggelegar seantero kantin.

Anin baru saja menyadari kalau sahabatnya itu menghilang dari pandangan setelah mendengar teriakan salsa yang menggelegar itu. Ia menghampiri salsa dan menoyor kepala sahabatnya itu cukup kencang.

"Aw, sakit, nyet!" Salsa meringis kesakitan.

"Makanya jangan teriak-teriak ege! Nih, pesenan Lo udah dateng". Ucap Anin.

"Bodo amat, pokoknya gue bakal deketin kak Naren sampe dapet".

"Gue gak bakal nyerah".

Anin menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia sangat malu melihat ulah sahabatnya yang kini menjadi tontonan seluruh penghuni kantin.

Tolong selamatkan Anin ya tuhan!!!

Bawa Anin pergi dari sini.

****

Hari ini ada yang berbeda. Biasanya saat Naren pulang akan mendapati keadaan rumah yang hampa. Hari ini, di garasi rumahnya sudah terdapat sebuah mobil yang sangat ia hafal siapa pemiliknya.

Sebelum memasuki rumah, bareng lebih dulu menarik nafas dalam-dalam. Ia harus siap kena mental untuk hari ini dan beberapa hari ke depan. Ia memasangkan earphone di telinganya, sebelum kemudian melangkah masuk.

Di rumah tamu, sudah ada Yudha, papahnya, yang sedang duduk santai di sofa dengan tv menyala namun matanya fokus pada layar ponsel.

"Udah pulang kamu?" Sapa Yudha, kemudian Naren menyalami punggung tangannya, sebelum ikut duduk bersebelahan dengannya.

"Gimana nilai kamu? Ada peningkatan?" Itu adalah pertanyaan pertama yang akan dilontarkan dari mulut Yudha setiap kali pulang ke rumah. Entah kenapa, mata papahnya itu terus menatap ke arah Naren dan membuatnya mau tidak mau harus menjawab.

"Nilai ulangan harian kemarin belum keluar, pah". Balasnya.

Sebenarnya ia tidak mau terlibat dalam deeptalj yang harus membuatnya sakit hati. Naren selalu malas kalau ada papahnya di rumah.

"Jangan sampai nilai kamu turun. Papah gak pernah main-main soal prestasi. Papah memang sibuk, tapi papah akan tetap memperhatikan prestasi kamu. Papah gak akan lupa buat apresiasi kerja keras kamu kalo kamu berprestasi".

Apakah harus berprestasi dulu agar bisa diapresiasi? Tanya Naren dalam hati. Padahal ia juga kerja keras, akan tetapi hasilnya itu tidak akan pernah memuaskan papahnya, kecuali kalau dapat nilai seratus dan juara satu.

"Iya". Hanya jawaban itu yang keluar dari mulut Naren. Ia bangkit dari duduknya dan berniat untuk langsung masuk ke kamarnya. Telinganya sudah cukup panas mendengar perkataan papahnya.

****

Naren merebahkan tubuhnya di kasur, kemudian memejamkan kedua matanya. Beberapa detik kemudian, suara dering telpon di ponselnya berbunyi. Naren menatap layar ponselnya dalam diam, sebuah nomor yang tidak ia kenal meneleponnya. Naren mengernyitkan kening. Perasaan, ia tidak pernah sembarangan memberikan nomor telponnya ke orang lain, apalagi ke orang yang tidak dikenal. Perasaan buruk perlahan mulai memasuki sanubarinya, tidak ada yang tau nomor telponnya kecuali keluarganya, Bagas, panji, Gerry, dan Raka.

Naren mereject panggilan tersebut. Namun, beberapa detik kemudian ponselnya kembali berdering. Naren menghela nafas berat, dengan berat hati ia pun menerima panggilan dari nomor tidak dikenal itu.

"Hai kak!"

Sial!

Suara si cewek gila! Kedua mata Naren membelalak sempurna, ia bangkit dari kasurnya.

"Lo dapet nomor gue dari mana?" Tanya Naren.

"Dapet dari kak Raka".

Naren mendesis tajam. Ingin sekali ia memukul laki-laki itu sekarang juga.

"Simpen nomor gue ya, kak! I love kak Naren, muach". Ucap salsa, kemudian mengakhiri panggilan itu secara sepihak.

"SETAN".

Tangan Naren meremas kasurnya kuatkuat. Ketenangan hidupnya mulai terganggu semenjak kehadiran salsa. Ini baru beberapa hari, lalu, bagaimana dengan hari-hari selanjutnya?

100 hari mengejar cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang