Hari dimana sejak kepulangan Niko, rumah itu tampak jauh lebih horor dari sebelumnya. Tidak ada lagi ketenangan di rumah itu. Mereka memang tinggal satu atap, tapi baik Niko maupun Naren, kedua kakak beradik itu tidak pernah akur sama sekali. Ada saja hal hal yang mereka riburkan setiap harinya. Terkadang, ada beberapa hari dimana mereka tidak berinteraksi sama sekali. Bahkan jika Niko masuk ke kelas Naren pun laki-laki itu mendadak jadi murid tukang tidur daripada harus memperhatimannya menjelaskan materi atau mengerjakan soal di papan tulis. Dan, beberapa hari ini Naren sering berangkat lebih pagi dan pulang lebih lambat dari biasanya.
Telat pada pukul 18.00, Naren baru saja memarkirkan mobilnya karena baru selesai latihan untuk acara festival tahunan di sekolah. Sebenarnya, hari ini ia sangat tidak ingin pulang ke rumah karena papahnya masih ada di rumah. Papahnya akan pulang setiap weekend hanya untuk formalitas peran orang tua. Bisa saja Yudha memanfaatkan waktunya untuk menatarnya dengan kejam seperti yang sudah sudah.
Naren memasuki rumah dengan sangat hati-hati. Langkah kakinya super pelan, nyaris seperti pencuri. Ia ingin buru-buru sampai di rumahnya tanpa harus bertemu dengan Niko dan papahnya.
Ia menghela nafas lega begitu kakinya mencapai anak tangga pertama. Artinya, ia hanya tinggal menaiki beberapa anak tangga lagi untuk sampai ke kamarnya. Namun, rupanya semesta sedang tidak berpihak padanya hari ini. Di pertengahan anak tangga, ia justru berpapasan dengan Yudha yang baru saja turun mengecek kamarnya.
Setiap ada waktu pulang ke rumah, Yudha memang selalu mengecek kamarnya. Ia tidak ingin anaknya menyimpan barang-barang haram seperti alkohol, rokok, dan lain sebagainya.
"Baru pulang kamu?" Tanya papahnya.
Naren mengangguk. "Iya, pah, tadi habis latihan buat festival". Balasnya lirih. Ia selalu tak mempunyai tenaga untuk sekedar berbicara dengan papahnya. Berbeda kalau dengan Niko.
"Kamu masih bergaul sama anak-anak berandalan itu?" Tanyanya lagi.
"Mereka bukan anak berandalan, pah, mereka temen Naren".
Mungkin itu adalah jawaban terpanjang sepanjang Naren mengobrol dengan papahnya. Yudha tidak pernah setuju Naren ikut band yang di gemarinya. Menurutnya, itu hanya membuang-buang waktu. Bahkan Yudha juga tidak pernah suka kalau Naren bergaul dengan teman-temannya dengan alasan tidak selevel.
"Kamu itu anak seorang Yudha pratama dirgantara, anak pemilik sekolah SMA buana, tidak pantas kamu bergaul dengan mereka". Bukan Yudha namanya kalau tidak menuntut itu dan itu pada Naren. Ia pasti akan tetap mengkritik segala hal yang dilakukan oleh Naren.
"Memangnya kenapa kalau Naren bergaul dengan mereka? Naren senang, kok, bergaul sama mereka". Balas Naren jujur.
Yudha tersenyum meremehkan. " Kamu dan mereka itu gak selevel".
"Oke, siap! Papah yang paling sempurna, iya! Tapi bisa gak sehari aja papah gak nuntut Naren buat ngelakuin hal yang Naren gak mau? Gak bisa kan? Sama, Naren juga gak bisa kalau harus disuruh menjauh dari mereka". Ucap Naren.
Yudha terdiam mematung. Untung pertama kalinya Naren berani melawan papahnya. Selama ini Naren sudah cukup sabar dengan sikap papahnya, sekarang ia sudah muak. Mungkin kalau yang di depannya ini adalah Niko mungkin dari tadi ia sudah menonjok wajahnya. Tapi Naren sangat tahu sopan santun untuk melakukan itu.
Ini baru pertama kalinya Naren dengan berani berkata demikian. Biasanya, ia hanya akan menjawab iya atau tidak. Dan kali ini, ia benar-benar sudah lelah di tuntut untuk sempurna.
"Kenapa papah selalu menuntut kamu untuk sempurna? Karena membesarkan dua anak sendiri setelah mamah gak ada tuh gak gampang, besarin kalian itu butuh biaya gede, dan papah gak mau kerja keras papah sia-sia. Contoh tuh kakak kamu! Dia sudah berhasil lulus dengan predikat cumlaude".