BAB 27

243 32 2
                                        

Setelah beberapa waktu berjalan ke Kedhaton Utama dan beberapa kali berteduh karena banyak kilat yang menyambar-nyambar di atas kepala Tatjana dan Wahyuni, akhirnya mereka tiba di Kedhaton Utama. Bangunan yang sangat megah di antara bangunan lainnya, tempat dimana sang raja mengurus wilayah Balwanadanawa.

Sepanjang perjalanan kemari, mereka tidak menemukan kereta kuda atau siapapun, membuat mereka benar-benar harus berjalan ke sini.

"Aku baik-baik saja," kata Tatjana karena menyadari tatapan khawatir  dari Wahyuni yang ia lihat dari ujung matanya. "Aku tidak kedinginan sama sekali, karena hatiku panas, Wahyuni."

Wahyuni hanya menganggukkan kepala, namun ia mengeratkan rangkulannya pada Tatjana, berusaha untuk membuat Tatjana tetap hangat. Karena, tubuh sang ratu sudah mulai dingin sekarang.

"Kulo akan selalu berada di sisi Raden Ayu," jawab Wahyuni.

Mereka mulai menaiki tangga untuk mencapai pintu utama. Di kanan dan kiri pintu besar itu, ada dua orang penjaga dan mereka segeran menundukkan pandangan karena tidak ingin melihat Tatjana dengan keadaan seperti itu.

Sementara Tatjana tidak lagi menyadari bagaimana penampilannya sekarang.

"Ampun, Gusti Kanjeng Ratu," kata seorang pengawal yang masih menundukkan pandangannya. "Gusti Kanjeng Ratu tidak bisa masuk ke dalam."

"Aku harus menemui suamiku," jawab Tatjana dengan tegas. "Dan dari apa yang kamu katakan, sepertinya suamiku benar-benar ada di dalam."

"Di dalam sedang ada---"

Tatjana tidak ingin mendengarkan ucapan dari pengawal itu. Karena, semakin dekat dirinya dengan Derish, semakin dirinya ingin menuntut jawaban dari pria itu. Maka, ia melangkah maju dan menarik pintu itu dengan sekuat tenaga.

Suara pintu yang berdecit membuat Tatjana tahu kalau dirinya bisa membuka pintu dengan baik. Kemudian, ia segera berjalan masuk. Salah dirinya adalah, bahwa dirinya tidak melihat ke dalam ruangan sebelum melangkah masuk.

Tatjana segera masuk dengan segenap kemarahan yang sejak tadi ingin ia luapkan. Ruangan di dalam Kedhaton Utama adalah ruangan yang sangat besar, dimana pintu masuk dan singgasana raja saling berhadapan lurus, sehingga Tatjana bisa langsung menatap Derish yang duduk di singgasananya.

Hingga pada akhirnya, ia dan Wahyuni berdiri di antara semua orang di dalam. Tatjana tidak menyangka kalau di dalam Kedhaton Utama ini sekarang sedang sangat ramai.

Derish yang berada di ujung ruangan, yang sedang duduk dan terlihat sangat serius pun menatap Tatjana, begitu pula dengan hampir dua puluh lima pasang mata yang ada di kanan dan kiri ruangan itu.

Tatjana menatap Derish lagi dan pria itu terlihat marah.

"Tundukkan pandangan mata kalian!" kata Derish dengan lantang, mengeluarkan titahnya.

Elijah yang berdiri di sebelah Derish terlihat sangat terkejut. Pria itu tahu kalau Derish sedang sangat marah sekarang. Dengan cepat, semua orang langsung menunduk, begitu pula dengan Elijah.

Selama beberapa waktu ini, ia dan Wahyuni berusaha untuk mendekatkan raja dan ratu mereka. Mereka bahkan saling memberitahu keberadaan masing-masing supaya pasangan suami istri itu bisa saling berpapasan. Namun, semuanya tidak membuahkan hasil.

"Tidak ada yang diperbolehkan untuk mengangkat kepala dan mencuri pandangan ke arah Sang Ratu," kata Derish lagi.

Pria itu berdiri dan dengan langkah cepat, ia segera berada di hadapan Tatjana. Tatjana ingin menangis ketika melihat Derish berdiri di hadapannya. Ia mengangkat kepalanya untuk menatap mata Derish. Namun, Derish tidak memperlihatkan keramahan atau raut bahagia karena keberadaan Tatjana.

Tanpa menunggu apapun, ia langsung menarik lengan istrinya itu dan menyeretnya ke sebuah ruang tunggu terdekat. Ia tidak peduli walaupun kaki Tatjana cukup terseok-seok untuk mengimbangi langkahnya.

Setelah mereka berdua di dalam, ditutupnya pintu ruangan itu dengan sangat keras.

Derish bahkan tidak memberikan waktu bagi Wahyuni untuk masuk bersama dengan mereka.

"Derish.." kata Tatjana dengan suara tercekat.

Ia tidak jadi marah. Ternyata, ia hanya ingin menangis dan memeluk pria itu, mencari perlindungan untuk dirinya dan juga bayi mereka.

Sementara itu, tatapan dingin tidak hilang dari wajah Derish.

"Tidak ada yang mengizinkan kamu untuk datang ke Kedhaton Utama, larut malam dan dengan tubuh yang basah seperti ini, Tatjana!" kata Derish yang terlihat sedang menahan kemarahannya. "Apa yang kamu pikirkan ketika kamu memutuskan untuk datang ke sini, dengan tubuh yang—"

Derish bahkan tidak bisa melanjutkan kata-katanya.

"...." Tatjana menggigit bibir bagian bawahnya, tahu kalau dirinya sudah membuat kesalahan sekarang.

"Apakah kamu berpikir kalau aku tidak melakukan apa-apa di Kedhaton Utama ini?" tanya Derish lagi. "Aku sedang melakukan rapat besar untuk menanggulangi banjir yang akan tiba di Balwanadanawa karena hujan yang tidak kunjung berhenti, tapi juga harus memikirkan irigasi di sawah dan ladang supaya tetap terjaga!"

"...."

"Apa yang kamu pikirkan Tatjana?"

Tatjana menjawab, "Apa kamu enggak bertanya apa aku baik-baik saja atau enggak?"

Derish memejamkan matanya dan ia membelakangi Tatjana. Sekarang dirinya sedang sangat sibuk dengan kemungkinan banjir di wilayah Balwanadanawa karena setiap malam, selama satu bulan ini, hujan terus menerus turun dengan curah yang sangat tinggi.

Ia tidak berharap kalau Tatjana akan datang dengan keadaan basah kuyup dan membuat bentuk tubuhnya terlihat di hadapan perangkat kerajaan yang semuanya hadir pada malam ini. Ia tidak mengerti arah pikiran Tatjana.

"Apakah itu penting sekarang?" tanya Derish yang kini sudah lebih baik dalam menahan kemarahannya. "Aku yakin kalau Wahyuni pasti sudah memberitahukan kepada kamu kalau seorang wanita tidak boleh keluar di larut malam seperti ini."

"Iya," jawab Tatjana pelan.

"Dan kamu, dengan sangat keras kepala pasti sudah mengabaikan kata-kata Wahyuni," kata Derish lagi.

Hati Tatjana terasa semakin sakit sekarang. "Kamu yang membuat aku harus menerobos hujan dan datang ke sini!"

"Apa alasannya, kalau begitu?" tanya Derish. "Alasan penting apa yang membuat kamu harus datang ke sini?"

Kening Tatjana berkerut. "Kamu merasa hal itu tidak penting, Derish?"

"Ya. Yang sangat penting di kepalaku sekarang hanyalah tentang Balwanadanawa," jawab Derish frustasi. "Aku tidak pernah mempermasalahkan kalau kamu belum bisa sepenuhnya beradaptasi dengan Balwanadanawa ataupun kamu yang belum bisa menjalankan tugas kamu sepenuhnya, Tatjana. Karena aku sangat mencintai kamu. Tapi bisa kamu tidak menghambat pekerjaanku dan mempermalukan diri kamu seperit ini? Apa yang akan mereka pikirkan ketika melihat kamu tadi?"

Tatjana diam karena tidak merasakan debaran apapun ketika Derish mengatakan kalau pria itu mencintainya. Semuanya terasa hambar, mungkin karena dirinya yang sangat marah, mungkin karena situasi mereka sekarang.

Atau mungkin karena Derish yang tidak lagi benar-benar mencintainya?

"Aku datang ke sini karena alasan besar, dan sepertinya kamu sama sekali tidak ingin membahasnya," kata Tatjana dengan nada dingin.

Derish menarik dan menghembuskan napasnya dan kembali berbalik untuk membuka pintu. "Elijah. Panggilkan kereta kuda untuk membawa sang ratu kembali ke Payon Omah Utama."

Setelah itu, Derish menatap Tatjana dan melepaskan beskap yang ia kenakan dan menghampirkannya di bahu Tatjana. Tanpa mengatakan apapun lagi, ia berbalik dan meninggalkan ruangan itu.

Bersambung

The Perfect Stars Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang