BAB 28

275 32 2
                                        

Ningsih menghabiskan lebih dari separuh hidupnya di dalam dinding istana Balwanadanawa. Sekarang usianya sudah menginjak delapan puluh enam tahun dan ia ingat saat pertama kali menginjakkan kaki di istana ini, usianya masih sembilan belas tahun. Kedhaton Balwanadanawa adalah perjalanan panjang untuknya.

Sudah dua puluh tahun sejak suaminya meninggal dunia dan tidak ada satu hari pun tanpa dirinya berharap kalau ia dan suaminya segera bertemu. Ternyata, hidup di dunia dan dengan usia yang semakin menua bukanlah hal yang menarik. Terlebih lagi, ketika sepalih gesang-nya sudah tidak lagi berada di tempatnya hidup.

Ningsih juga sudah menyerahkan semua tugas kerajaan kepada keluarga yang lebih muda. Dalam hal ini, Tasmirah, Araya dan juga Sekar lah yang berbagi mengemban tugas di kerajaan ini. Lalu, ia tersenyum ketika mengingat kalau ada satu lagi anggota kerajaan yang belum ia pikirkan.

Tatjana. Sang ratu dari kerjaan ini.

Ia tidak bisa memungkiri kalau keberadaan Tatjana memiliki makna tersendiri untuknya. Tatjana adalah satu-satunya ratu di sepanjang berdirinya Balwanadanawa, yang berasal dari keluarga non kerajaan. Hadirnya Tatjana di kedhaton ini tentu saja membawa angin sejuk untuk orang-orang yang sudah terlanjur terperangkap di sini.

"Semalam aku bermimpi," kata Joko, tetua kunci untuk Balwanadanawa.

Ningsih membuyarkan lamunannya dan menatap Joko. Ia memang sedang mengunjungi Joko yang sudah ia anggap sebagai sahabatnya sendiri. Mereka tiba di Balwanadanawa di tahun yang sama. Ketika ia dipersiapkan untuk menjadi seorang ratu, Joko dipersiapkan untuk menjadi tetua kunci di kedhaton ini.

"Aku sangat jarang mendengarmu bercerita tentang mimpimu. Apakah mimpi itu tidak kamu ketahui artinya?" tanya Ningsih.

Secara alami, Joko tidak akan menceritakan mimpinya karena itu adalah pesan dari langit. Seingatnya, Joko hanya pernah sekali bercerita tentang mimpinya. Ini adalah kali kedua.

"Ya. Aku bermimpi melihat sebuah bola putih yang sangat bersinar akan tiba di Balwanadanawa. Namun di tengah perjalanannya, bola itu kembali ke langit dan tidak terlihat lagi," jelas Joko.

Ningsih tidak pernah mendengar mimpi aneh seperti itu. Bola putih itu bisa berupa berkah apapun yang diberikan langit. Namun, setahunya, langit tidak pernah mengambil kembali apapun yang diberikannya sebelum berkah itu tiba di Balwanadanawa.

"Aku sudah mencari di semua catatan leluhurku. Namun, tidak ada yang mencatat arti mimpi seperti itu atau yang menyamainya," kata Joko lagi. "apakah sekarang kemampuanku sudah berkurang karena usiaku?"

"Kamu berpikir kalau itu adalah tanda dari langit untuk dirimu sendiri?"

Joko menganggukkan kepalanya. "Untuk saat ini, aku beranggapan kalau itu adalah pertanda dari langit kalau waktuku sudah hampir tiba untuk pergi dan kembali ke langit, Ningsih."

Mendengar itu, Ningsih diam dan menatap tehnya yang sudah separuh di dalam cangkir. Ia tidak ingin menggubris kata-kata itu, ia juga tidak tahu kapan umurnya akan berhenti. Namun sepertinya, ia tidak sanggup jika satu per satu orang yang tumbuh bersamanya pergi ke tempat dimana ia belum bisa menemui mereka.

Suaminya, dayang utamanya dan kini.. Joko, sahabatnya.

Ia menghembuskan napas pelan dan berharap kepada langit, agar untuk sementara waktu, jangan ada yang pergi dari kehidupannya.

***

Tatjana tidak memiliki aktivitas apapun hari ini. Biasanya, ia akan menggunakan waktu seperti ini untuk mengunjungi keluarga Kerajaan. Kali ini, ia memutuskan untuk mengunjungi Araya, sekaligus mencari ketenangan untuk dirinya.

The Perfect Stars Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang