BAB 43

253 28 0
                                        

Pada malam itu, Tatjana memutuskan untuk kembali ke Balwanadanawa. Beberapa kali Derish meminta supaya mereka bermalam dan besok pagi, mereka bisa melakukan perjalanan ke Balwanadanawa. Akan tetapi, Tatjana bersikeras untuk kembali malam itu juga.

Tatjana sudah berjanji pada dirinya sendiri kalau ia.akan kembali segera setelah semua kebusukan Sekar terungkap.

Setelah hampir setahun tinggal di Balwanadanawa dan menjadi seorang ratu di kerajaan itu, ia memiliki rasa tanggung jawab yang sangat tinggi terhadap wilayah Balwanadanawa. Maka, mereka melakukan perjalanan pada malam itu.

Tatjana menuruni anak tangga terkahir dan berbalik untuk melihat bagian depan rumahnya. Di sebelahnya, Derish merangkul dan menggenggam tangannya. Tatjana menghirup udara sebanyak-banyaknya dan kembali menatap rumahnya. Dulu, ia merasa kalau rumah ini adalah satu-satunya tempat dimana dirinya bisa berlindung.

Akan tetapi setelah semua hal yang sudah ia lalui, setelah ia menikah dengan Derish, rumah ini terasa seperti tempat persinggahan baginya. Rumah ini tidak lagi menjadi miliknya.

"Kamu yakin ingin pulang sekarang?" tanya Derish.

"Ya. Raja dan ratu Balwanadanawa tidak bisa terlalu lama meninggalkan kedhaton," jawab Tatjana dengan yakin.

Deriah menoleh dan menatap istrinya yang sangat cantik. "Jangan terlalu cepat berubah, Ta. Kamu bisa berproses sesuai ritme yang kamu inginkan."

Tatjana mengerti apa maksud Derish. "Enggak. Aku akan berlari walaupun aku bisa berjalan. Kamu sudah memulai proses kamu sejak kamu lahir dan aku harus mengimbangi kamu. Aku harus membuktikan kepada semua orang, kepada rakyat Balwanadanawa dan kepada wanita-wanita yang berpikir kalau aku tidak cukup layak menjadi permaisuri kamu."

"Di saat seperti ini, kamu masih bisa cemburu?" tanya Derish dengan senyumannya.

"Ya, Yang Mulia. Salah satu sifat dasar wanita adalah rasa cemburu."

Derish mengeratkan rangkulannya pada Tatjana. Rangkulan yang erat, namun sangat terasa nyaman. Tatjana tidak pernah merasa sesak dengan rangkulan yang diberikan Derish.

"Aku tidak keberatan menghadapi kecemburuan kamu, Ta."

***

"Semuanya terasa kembali seperti semula lagi," kata Ningsih ketika ia melihat sepasang suami istri yang sedang berjalan berdampingan.

Ini adalah hari kedua Tatjana kembali. Wanita hebat itu kembali dan langsung mengurus semua hal yang ia tinggalkan. Maka dari itu, kini ia dan Araya memiliki sedikit waktu luang karena Tatjana sudah kembali mengambil alih tugas yang wanita itu titipkan kepada mereka.

Awalnya, baik Ningsih dan Juga Araya sempay merasa khawatir, kalau-kalau Tatjana memutuskan untuk tidak kembali ke kedhaton Balwanadanawa. Karena bagaimanapun juga, Tatjana berasal dari keluarga yang sangat berpengaruh di Indonesia. Keluarganya tidak akan membiarkan Tatjana sengsara di kedhaton ini.

Akan tetapi, kekhawatian itu sirna ketika mereka menyambut kedatangan Tatjana—yang menurut kesaksian Derish—adalah karena keinginan wanita itu sendiri.

"Kulo juga merasakan hal yang sama, Bu. Sebelumnya, kulo menghukum mereka dengan hukuman mereka harus berjalan bersama setiap sore hari. Namun, hukuman itu tidak bisa memperbaiki hubungan mereka. Akan tetapi, kini mereka terlihat sangat serasi," kata Araya sambil tersenyum.

Ia dan mertuanya sedang duduk bersama di beranda, menghabiskan sarapan mereka.

Mungkin, di kedhaton ini, orang yang paling merasa lega adalah Araya. Ia merasa lega, karena setelah bertahun-tahun, akhirnya ia bisa berada di posisi yangs seharusnya, tanpa ada bayang-bayang Sekar di sekitarnya.

Ia benar-benar merasa kembali. Juga, tidak ada lagi kekhawatiran di dalam dirinya. Tentang suaminya, tentang putranya dan tentang kedhaton ini.

"Joko juga kembali bermimpi, bahwa sebuah bola cahaya sudah kembali ke kedhaton ini," kata Ningsih. "Bola cahaya yang mengibaratkan sang calon pangeran mahkota."

Araya menyeka ujung pelupuk matanya. Ia juga bersyukur akan kesehatan menantu dan putranya.

Sementara dua orang yang sedang diperhatikan itu sama sekali tidak menghiraukan sekitar mereka. Derish dan Tatjana berjalan beriringan dan bercerita tentang semua hal yang belum mereka berdua bagi.

"Apa sebaiknya kita ke kamar lagi?" tanya Derish.

"Dan aku tidak akan bisa menjaga kamu tetap mengenakan pakaian," jawab Tatjana dengan wajah memerah.

Entah karena hormon kehamilannya, atau karena bayinya yang sangat merindukan ayahnya, Tatjana tidak bisa menahan dirinya. Ia selalu saja menginginkan Derish.

"Mungkin kamu berpikir kalau kamu lah yang menginginkanku, Ta. Tapi sebenarnya aku yang sangat merindukan kamu," bisik Derish di telinga Tatjana. "Salah satu bagian diriku selalu merasa tersiksa setiap kali memikirkan kamu, tapi aku tidak bisa bercumbu dengan kamu, karena kebodohan ku."

"Kamu pikir, kamu sendiri yang merasa tersiksa?" tanya Tatjana sambil memajukan bibirnya. "aku juga tersiksa. Karena bayi kamu sangat merindukanmu."

"Jadi, kita akan kembali ke kamar supaya aku bisa menjenguk bayi kita?" tanya Derish dengan wajah yang penuh dengan pengharapan.

Belum sempat Tatjana menjawab, tiba-tiba saja Elijah berlari dari kejauhan dan memanggil-manggil mereka berdua.

"Gusti.. maaf.. tapi Kulo harus menyampaikan berita besar," kata Elijah setelah ia menunduk untuk memberikan hormat. "Perkebunan teh sekarang sedang dilanda masalah. Wabah ulat membuat semua pucuk daun teh rusak."

Tatjana menahan senyumannya karena Derish terlihat terkejut bercampur kecewa. Terkejut karena berita ini, dan merasa kecewa karena mereka tidak akan bisa kembali ke kamar, setidaknya hingga Derish berhasil menyelesaikan masalah ini dengan para petinggi kedhaton.

"Kamu harus pergi," kata Tatjana sedikit mendorong tubuh Derish yang terlihat tidak rela meninggalkan Tatjana.

"Aku akan kembali secepatnya."

Tatjana menganggukkan kepalanya dan membiarkan Derish berjalan bersama dengan Elijah, menjauhinya. Lalu, ia menatap ke sekitar kedhaton sambil mengelus perutnya yang kian hari kian membesar. Tubuhnya yang cukup kurus membuat kehamilan yang berusia enam bulan ini sudah sangat jelas terlihat.

"Gusti Kanjeng Ratu," panggil seseorang yang Tatjana tahu adalah Nariah.

Tatjana menoleh dan tersenyum ke arah Nariah. Tidak ada sama sekali perasaan buruk yang ia simpan untuk Nariah. Nariah sudah melakukan hal yang besar dan Tatjana sangat menghargainya.

Setiap orang memiliki kesalahan dan tidak ada yang boleh menentang mereka yang ingin memperbaiki kesalahan.

"Kamu baik-baik saja, Nariah?" tanya Tatjana.

Nariah tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Seharusnya, Kulo memberitahukan kepada Ibu terlebih dahulu. Namun, Kulo akan memberitahu Gusti Kanjeng Ratu."

Dada Tatjana berdebar. Ia tahu kalau ini adalah berita bahagia dan ia sangat ingin mendengar berita bahagia di kerajaan ini.

"Kulo akan pergi dari kedhaton," kata Nariah.

Wajah antusias Tatjana berubah menjadi kesedihan.

"Kulo sudah menemukan seorang pria yang bisa Kulo percayakan kebahagiaan kepadanya," kata Nariah lagi.

Meskipun ia masih merasa sedih, namun perlahan perasaannya membaik karena mendengar penjelasan Nariah. Wanita ini pasti sangat enggan meninggalkan kedhaton, namun Nariah juga pasti sudah menemukan seorang pria yang sangat ia percayai, sehingga Nariah mau meninggalkan kedhaton dan hidup bersama dengan pria itu.

Satu per satu kebahagiaan mulai bermekaran di kedhaton dan Tatjana sangat mensyukurinya.

"Kalau begitu, kita akan memiliki banyak pembahasan tentang permikannmu, Nariah. Aku akan menjadi orang yang sangat sibuk untuk hari yang sangat besar itu."

Bersambung

The Perfect Stars Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang