• EMPAT PULUH TUJUH •

1.4K 207 39
                                    

Sejujurnya, aku sendiri juga merasa bingung. Al mengatakannya kemarin bahwa tidak pernah ada kasus dimana para Pangeran memiliki ingatan mengenai kehidupan mereka sebelumnya.

Meski 'Halilintar' berulang kali melakukan regresi, tidak ada satu orangpun yang mengingatnya kecuali 'Halilintar' itu sendiri. Itupun terkadang ia juga tidak memiliki ingatan mengenai itu.

Jadi ketika Ice mengatakan ia mengingat semuanya, aku sungguh tidak tau harus bereaksi seperti apa. Semua ini membuatku mau tidak mau harus mengatakannya pada Ice mengenai diriku di dunia sebelumnya.

Al juga pada akhirnya harus menunjukkan bukti regresi yang dimilikinya pada Ice. Tentu saja dengan pertimbangan yang sudah aku dan Al pikirkan, kami berdua hanya menunjukkan timeline dimana ketika 'Halilintar' dibunuh oleh para Pangeran, ketika 'Halilintar' dibunuh oleh Leiron Argan, ketika 'Halilintar' dibunuh oleh Ice dan yang terakhir adalah ketika aku yang tiba-tiba saja masuk ke dunia ini.

Ia terlihat sangat syok, tubuhnya benar-benar gemetar hebat. Ia menangis, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Hanya airmata yang turun dengan deras membahasi pipinya.

Aku merasa bingung dan tak tau harus berbuat apa ketika melihatnya menangis. Begitupun Al yang juga terkejut melihat Ice menangis.

"Kalian sampai mengulangnya sebanyak 7 kali dan kalian tidak membenci kami? Hukk--!"

Ice terlihat kacau. Hemm, baru menunjukkan 7 timeline saja Ice sudah begini, bagaimana jika dia tau kami sudah melakukan puluhan regresi ya?

Aku dan Al saling berpandangan.

'Halilintar, aku tidak tega melihatnya menangis.'

'Hahh, aku juga terkejut ketika melihat itu. Tapi mau bagaimana lagi kan?'

'Halilintar, haruskah kita hentikan saja? Aku benar-benar tidak tega melihat Azer menangis.'

'Tidak, setidaknya dia harus meminta maaf pada kita Al.'

'Apa?'

Al menatapku terkejut. Dia menatapku dengan pandangan bertanya-tanya seolah tak mengerti.

'Kau dengar bukan tadi? Dia mengakui bahwa dia membunuh kita. Dia merasa bersalah. Kita juga harus menerima permintaan maaf darinya.'

Al terlihat tak yakin. Ia tak lagi menatapku dan berpaling pada Ice yang masih menangis.

"Maafkan aku.. maafkan aku Arter.."

Ice berdiri dan memegangi tangan kami berdua erat. Ia menangis sambil terus mengatakan kata maaf berulang kali.

"Azer.." aku memeluknya. Mencoba menenangkannya.

"Terima kasih karena sudah meminta maaf ya," kataku.

Aku melepaskan pelukan itu. Ice lalu menatap Al dan memeluknya juga.

Al nampak terkejut. Tubuhnya menegang karena pelukan tiba-tiba dari Ice. Namun aku tersenyum padanya, mengangguk sambil menyampaikan bahwa tidak apa-apa untuk membalasnya.

Meski ada sedikit keraguan, Al balas memeluk Ice.

Aku menatap itu dengan tatapan senang. Meski terlihat canggung, Al nampak menyukai pelukan singkat itu.

"Sungguh, aku tidak percaya kau bahkan menguping kami kemarin dan langsung bisa menebak bahwa Al juga adalah aku," kataku sedikit takjub.

"Ingatanku masih belum sepenuhnya muncul, Kak. Sejujurnya aku sudah memperhartikan Kak Arter yang ini sejak insiden debutante kemarin. Aku sempat menebak-nebak apa yang membuat Kak Arter yang ini mirip dengan Kak Arter yang itu, tapi saat itu aku masih belum yakin."

The Crown Prince's and His Brothers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang