Pagi-pagi buta sekali pria itu bangun, menggaruk surai nya yang lepek berkat cuaca lembab.
Di ruangan yang masih belum diraih cahaya itu, samar ia melihat kepulan asap putih keluar dari nafasnya.
Barulah ia sadar, ia kesulitan bernafas.
Sekali, dua kali, sampai berkali-kali ia kembangkan paru-parunya dengan konsentrasi pernafasan penuh. Sakit, dan sesak memenuhi dadanya.
Sesuatu seperti mencengkram jantungnya begitu kuat, dan tak bisa lepas.
"Hosh! Hosh! " nafasnya berat, dan terengah.
Sanemi mencoba berdiri, merangkak keluar dari ruangan itu, suara nya melengking, meneriakkan sebuah nama.
Telingaya berdengung sakit, ia tak bisa mendengar apapun, tidak bahkan paru-parunya sendiri yang hampir meledak
"Gah! "
"Sayang, ayo bangun! Mau sampai kapan kau tidur seperti ternak? Satoko-san dan keluarganya sudah menyiapkan sarapan, pergi dan cuci mukamu sa-"
Sanemi menatap nanar sosok yang tiba-tiba datang di depannya itu.
Bibirnya mencoba mengatakan sesuatu, namun sulit rasanya bicara.
Tangannya mencoba meraihmu.
"Shinazugawa? Tunggu! Apa yang terjadi padamu? Shinazugawa-san! " jeritmu mengguncang tubuh sekarat nya.
"Shinazugawa-san! Jangan tutup matamu! Apapun yang terjadi! Jangan tutup matamu"
Kau menarik semua kain yang bisa kau temukan di ruangan itu, bahkan rela melepas haori luar mu, menyisakan yukata tipis tembus pandang oleh keringat.
Untuk menyelimuti Shinazugawa Sanemi seorang.
"Hei! Hei! Jangan menyerah, buka matamu! Ingat konsentrasi penuh? Pelan-pelan saja! Tarik nafasmu perlahan" kau menekan dadanya.
"TOLONG! " jeritmu.
Tanganmu meraba dadanya, dimana terlihat jelas ia kesulitan bernafas.
Kau menempelkan telingamu diatas dada penuh luka sayatnya, memejam kan mata, kau berkonsentrasi, bahkan suara burung pipit takkan menganggu mu.
Hanya Sanemi, hanya dirinya lah yang akan kau perhatikan.
Kau mendengarnya, suara sesuatu tengah merogoh jantungnya, dan memainkannya. Detaknya tak biasa, kalau begini pembuluh darahnya bisa hancur.
Bibir Sanemi semakin membiru.
"TOLONG! SIAPAPUN" bersama tangis, jeritanmu menjadi.
Namun tak seorang pun menghampiri kalian, kau tak bisa meninggalkan Sanemi, ia harus tetap berada di pelukanmu dan suaramu harus tetap mencapainya, menjaga kesadarannya agar tak buyar.
"Kenapa hal seperti ini bisa terjadi padamu?" sekali lagi kau mengecek detak jantungnya.
Bunyi-bunyi mengerikan itu masih ada disana, kali ini makin nyaring.
Kau merasa familiar dengan suara-suara itu, pernah beberapa kali kau dengar di suatu tempat, tapi bukan diera ini.
"Dimana! Ayo ingat! Dimana kau pernah mendengarnya! " rutukmu menghina diri.
Denyut nadi Sanemi makin melemah, seluruh tekanan ini membuatmu panik dan tak bisa berpikir jernih.
"A-aduh! " rengek seoranga gadis, jatuh bersimpuh dengan hakama putih yang basah kuyup.
"Sebenarnya apa yang kau lakukan! " maki seorang wanita cantik memarahi nya, surainya merah menyalah, di bawah mata kirinya terdapat tahi lalat kecil.
Ia bersidekap dada, di tangannya terselip tumpukan kertas yang telah dijilid menjadi buku paket super tebal.
"Apa kau tau resiko perbuatanmu hari ini!? " tanyanya meninggikan suara.
Gadis itu bersimpuh diam, peluh keringat deras membanjiri dahi dan tengkuknya. Ia tak bisa melawan kemarahan wanita itu.
Yang sekarang ini menjadi pembimbing nya.
"Hah! " si surai merah duduk, berhadapan dengan sang gadis lugu itu.
"Kemarikan tanganmu! " titahnya.
"Untuk apa? " gadis itu berusaha menyembunyikannya kedua tangannya , takut wanita yang kini telah sepenuhnya termakan amarah itu menghukumnya dengan potong tangan.
"Cukup main-mainnya! Berikan tanganmu atau kutukan itu akan memakan mu dalam semalam"
Gadis itu nampak terkejut, meskipun berusaha menyembunyikannya, wanita di depannya ini sellau sanggup mengetahuinya.
Ia tau, bahwa dirinya tersengat.
Pelan dan takut-takut, ia membalik telapak tangannya.
Disana terdapat noda hitam keunguan, yang mulai memakan seluruh telapak tangannya.
"Dengar yah! Kau harus mulai menyadari posisimu! Meskipun tuanku menitipkan segelnya padamu, bukan berarti kau sekuat tuanku! " wanita itu mengusap kasar tangan sang gadis.
Membuatnya meringis sakit.
"Aku ingin melakukan sesuatu, Himeko! " suaranya menciut, mendapat tatapan dari sang rubah merah.
"Aku ingin menolong mereka, Ayakashi mencoba memakan mereka, aku mendengarnya, suara-suara yang mencoba menodai jiwa itu"
"Kau mendengarnya? Apa kau sungguh-sungguh bisa mendengarnya"
Ia mengangguk, tak pernah sekalipun berniat berbohong, karna hal itu sia-sia.
"Dengar! Kalau sudah begini, kau juga bisa terlibat!" wanita itu beranjak pergi, menggenggam sesuatu, secepat kilat ia kembali lagi.
Membawa sebuah cermin tangan, dan meminta gadis itu berkaca.
"Siapa yang ada di cermin ini? " tanyanya, membingungkan.
"Aku" jawab sang gadis.
"Bukan! Yang berdiri disini itu hanyalah manusia! Hanya kalian seoranglah makhluk yang terbiaskan di cermin ini! Sementara Yokai dan Ayakashi tidak! Kami tidak akan mati hanya karna ditusuk atau dibakar! Sementara kalian? Dengan darah dan kulit ini, tanpa kontrak dengan para Shinki, memangnya apa yang bisa kalian lakukan? " jeritnya.
"Tapi aku... "
"Aku hanya akan mengatakan ini sekali saja! Kau harus mendengarnya baik-baik, sepertinya, kau memiliki kelebihan, kau bisa mendengar keberadaan mereka yang fana, dan karna segel Amaterasu-sama, hanya tinggal menunggu waktu, sampai indra mu yang lain terbuka sepenuh nya, meskipun kau bisa mendengar mereka atau melihat mereka, jangan bertindak gegabah! " jari runcing wanita itu menunjuk sang gadis.
"Kau, karna belum bisa melihat bentuknya, belajarlah membedakan suara itu, di dunia ini suara Ayakashi, hantu, yokai, itu berbeda-beda, kau hanya harus mendengarkan nya, dan cukup katakan padaku, aku ada disini! Akulah yang akan memakan roh-roh jahat itu sebagai kontraktor mu"
"Dan satu hal lagi, kasus seperti ini biasanya jarang terjadi, selain suara makhluk-makhluk yang telah kusebutkan tadi, ada satu suara lagi, kau mungkin tidak akan menemuinya, tapi untuk berjaga-jaga saja... "
Ingatan itu kembali, kau merasa lega mendapat bayangan Himeko di saat-saat genting seperti saat ini.
"Yokai! Ayakashi! Roh! Manusia aku sudah mengingat bagaimana suara mereka, lewat latihan Berminggu-minggu-minggu, baru-baru ini aku bahkan hampir bisa membedakan suara keberadaan Iblis!" kau mayakinkan diri.
Dan semakin mempertajam konsentrasi, ada rasa sesal,karna tak mengikuti pelatihan konsentrasi pernafasan penuh bersama Tanjirou dan yang lainnya.
Tapi penyesalan itu tidak sepantasnya dipikirkan sekarang.
"Ayakashi? Bukan" perlahan, menjaga ketenangan di dalam dirimu, dengan seksama kau dengarkan suara itu.
Suara raungan yang tertahan, dan suara tinta hitam.
"Aku belum pernah mendengar yang satu ini! Jangan-jangan"
Denyut Sanemi semakin samar, teriakanmu tak lagi diresponnya.
Mendekap tangan Sanemi, kau menangis, selalu seperti itu. Ketika menemui dinding besar yang menjulang, kau selalu merasa tak bisa melewatinya, apa karna ini salah Himeko?
Yang selalu memanjakanmu, dan tak membiarkanmu bertarung dengan kekuatan mu sendiri?
Salah siapapun itu, memangnya apa gunanya memikirkan hal ini sekarang?
"Amaterasu-sama, kumohon! Selamatkan Shinazugawa-san! Dia belum bisa pergi! Kumohon! Jangan bawa dia" isakmu.
Meskipun mulutnya kasar, sikapnya kurang ajar, kau tau, di dalam dirinya tersisa begitu banyak hal baik.
Terlebih kau tak mau pulang membawa kabar duka pada Genya.
Apa yang akan kau katakan padanya?
"Kakaknya meninggal atas keteledoran mu"
Di dadamu, segel itu untuk pertama kalinya bersinar terang, darahmu berdesir panas.
Kau menghentikan isakanmu, mati-matian membuat ruangan ini kembali sunyi.
Perlahan, denyut nadi Shinazugawa kembali, meskipun sangat lemah, terlebih kali ini kau tak lagi mendengar suara aliran kental tinta itu di dalam jantung Sanemi.
Memanfaatkan kesempatan ini, kau menarik kaki pria itu, biar kepala landaknya itu harus terantuk pembatas pintu, atau wajahnya juga harus menjadi kain pel lantai tatami.
Kau harus membawanya di bawah sinar mentari, suhu tubuhnya benar-benar rendah.
Yukatamu harus terkoyak oleh paku yang mencuat di bangunan kediaman ini.
"B-berat sekali! " jeritmu dalam hati.
Obi mu melonggar, mati-matian kau menahan perutmu, agar tak lepas dan mempermalukan dirimu lebih dari ini.
Urat nadimu mencuat, usaha keras itu nampak tergambar menyakitkan di wajahmu.
"Sialan! Kenapa tubuh pria itu berat sekali!" kau mencoba mencari bantuan, berharap seseorang melewati lorong itu.
Tapi kau sadar, waktumu tak banyak, setidaknya waktu Shinazugawa Sanemi tidaklah banyak untuk menunggu seseorang datang dan menemukan kalian.
"Maafkan aku Shinazugawa-san, tapi ini kebaikan mu jadi-"
Bugg
Kau menendangnya, hingga ia menggelinding dan jatuh dari kediaman dan menggelinding di rerumputan taman buatan.
Mentari tak bisa menembus kediaman ini, mungkin karna kabut yang menutupi langit.
Jadi kau merapatkan kedua tanganmu, dan memejamkan tanganmu.
"Kumohon padamu dengan sangat, wahai sang mentari yang perkasa, tunjukkan dirimu, dan terangi tempat yang telah kau tinggalkan ini, hanya untuk hari ini" bisikmu.
Dengan hati yang tulus kau meminta, harta mulia sang Amaterasu itu, bukanlah kalung permata, atau pedang yang sanggup menebas apapun.
Harta mulia Amaterasu adalah sang mentari, hal ini pernah tertulis di catatan Himeko, yang secara diam-diam pernah kau baca.
Dengan maksud hati, ingin mengenal lebih baik, sosok luar biasa yang memberimu harapan untuk melanjutkan hidup itu.
Ada banyak rahasia di buku catatan lusuh itu, catatan yang nampak telah termakan waktu, hanya dengan melihat betapa leceknya kertas yang mulai menguning, dan tinta yang pudar itu, kau tau, bahwa Himeko begitu mencintai sosok dewinya.
Amaterasu.
Panggilan mentari itu punya syarat yang begitu mudah, sekaligus sulit. Kau tak bisa memanggil nya dan mengingkari perjanjian dengan sang malam, yakni waktu dimana dewi malam Susano mengatur.
Dan alasan kuat juga tulus.
Pernah beberapa kali kau mencoba menunda terbitnya sang mentari, untuk memundurkan jam bangun mu.
Namun hal seperti itu sia-sia.
Langit terbelah, awan mendung bersama kabut yang lama meninggali lembah ini, pudar, digantikan langit biru cerah, bersama sinar mentari yang menghujani negri ini.
"Wah! Cuacanya cerah sekali, aku baru tau kalau langit itu secantik ini" Satoko menghampirimu, memuji cantiknya langit biru dengan biasan mentari sehangat kasih ibu.
Kepalanya mendongak, menyambut sinar yang telah lama tak pernah menyentuh kampung halamannya, sejak ia lahir di desa ini, hingga dipersunting dan memiliki dua orang anak.
Pemandangan yang telah dua puluh tahun lamanya terkubur sang kabut, senyumnya merekah seindah Hydrangea itu.
"Selamat pagi Shinazugawa-san" sapanya padamu.
"Kami menunggu mu di dalam ruang makan, namun kalian berdua tak kunjung muncul, jadi aku pergi menghangatkan sup misonya" Satoko menunjukkan kendi tanah liat, berisi penuh sup miso, dengan tahu sutra dan rumput laut yang mengambang di permukaannya.
"Ngomong-ngomong, apa yang dilakukan suami mu berbaring di luar? " tanya Satoko.
"Apa ini masih panas? " tanyamu, mengabaikan rasa penasaran nya.
"Ini baru diangkat dari tungku, dijamin masih panas jadi-" tanpa berpikir dua kali, kau merebut kendi itu.
Dan menyiramnya ke wajah Sanemi, siap bertanggung jawab penuh jika wajahnya melepuh. Asal ia masih hidup saja, kau tak ingin memikirkan apapun.
"SHI-SHINAZUGAWA-SAN! " Satoko menarikmu, mencoba mencegah tindakan mu.
"Satoko-san! Lepaskan aku! Aku harus menolongnya! " kau mendorongnya.
Meski butuh usaha keras, akhirnya kau bisa bernafas lega, ketika berhasil menghentikan pembekuan paru-paru Sanemi.
"Syukurlah! Syukurlah! " isak tangismu mengalahkan cuitan burung-burung, tak ingin kau berhenti bersyukur atas semua kesempatan yang kebetulan terjadi ini.
"Shinazugawa-san? Sebenarnya apa yang terjadi disini? " kau tak bisa menjelaskannya.
Hanya menatap Satoko linglung dan memeluknya erat.
"Uweeee! Syukurlah dia tidak mati, Satoko-san"
"Tunggu sebentar! Jelaskan ini pelan-pelan, kenapa kau memelukku sekuat ini"
"Pokoknya yang penting dia masih hidup"
To be continued~

KAMU SEDANG MEMBACA
Kimetsu no Yaiba X Reader || Taiyo no Hanayome || Sun Wife.
Fanfic"Aku pasti!!! " "Aku pasti akan menggunakan kekuatan ini untuk menyelamatkan kalian!!!!" "Karna itu! Menikahlah denganku!!" Kimetsu no Yaiba || Taiyo no Hanayome || Sun Wife. Tanjirou X Reader x Pillar Pernikahan itu menjiji...