#47

238 30 8
                                    

Jimin mendengus malas mendengar ocehan dari wanita yang ia jumpai di restoran tempat sang ayah mengatur kencan buta. Wanita ini memang cantik, berkelas, namun tidak sesuai seleranya. Selera Jimin itu laki-laki tampan, berwajah rupawan dengan tubuh tegap nan gagah seperti Namjoon, kekasihnya. Jimin terkekeh, masihkah ia menyebut Namjoon sebagai kekasih sementara yang ia lakukan di sini adalah bertemu dengan seorang wanita. Jimin seperti merasa berselingkuh, meski bukan begitu kenyataannya.

"Jimin-ssi, apa kriteria pasangan yang kau inginkan?" Wanita itu, Moon Joo Hee, tersenyum malu-malu saat menanyakan kriteria pasangan yang Jimin idamkan. Jemarinya menyelipkan anakan rambut ke belakang daun telinga.

Jimin mendecih lirih, memutar kedua bola matanya sembari menatap wanita itu dengan pandangan meremehkan. "Yang jelas bukan sepertimu," ucap Jimin tanpa perasaan bersalah.

Wanita rupanya bermuka tebal sekali. Sudah sangat jelas Jimin menampilkan wajah tidak bersahabat padanya, namun wanita itu terus saja tersenyum tanpa lelah. Jimin rasanya ingin sekali mencakar wajah wanita itu.

Sementara di sisi lain, Namjoon melajukan mobilnya tanpa sabar dengan kecepatan yang terbilang cepat. Tujuannya hanya satu, tempat di mana Jimin kini berada setelah ia kembali dari kantor pusat dan bicara secara pribadi dengan tuan Park, ayah Jimin.


Satu jam yang lalu ...


Namjoon mengetuk pintu lebar dengan tulisan "Ruang Presdir" itu dengan kegugupan yang ia bawa sejak bermenit-menit lalu kakinya melangkah masuk ke dalam lift, membawanya menuju lantai tujuh letak ruang presdir berada.

Tuan Park duduk di meja kebesarannya dengan kacamata baca bertengger membingkai wajah tuanya dan tumpukan dokumen yang berjubel di atas meja kerja. Tuan Park melirik singkat begitu Namjoon tepat berada di jarak pandangnya.

"Ada apa kau memutuskan kemari?" tanya Tuan Park tanpa basa-basi. "Kau mau memberitahuku bahwa kau setuju meninggalkan putraku?"

Namjoon mengepalkan kedua tangannya, sebelum menghela napas diiringi kepalan tangan itu perlahan terurai. Namjoon menahan ego dan emosinya mati-matian.

"Tidak, Pak."

Pena yang Tuan Park kenakan untuk menandatangani dokumen terkulai di atas kertas putih. Wajah Tuan Park mendongak dan menatap Namjoon dengan pandangan penuh selidik.

"Lantas?"

"Saya tidak bisa meninggalkan Jimin, Pak. Saya mencintai putra anda."

"Tidak tahu malu dan tidak tahu diri. Kau bisa lihat itu dalam dirimu," kata Tuan Park menghina.

"Untuk itulah saya membuktikannya di depan anda. Dengan menekan rasa malu dan tidak tahu diriku, aku berada di sini. Semata-mata demi memperjuangkan kekasih saya, Park Jimin."

Tuan Park terkekeh. "Kekasih? Dari awal aku tidak pernah mengijinkan putraku menjalin hubungan denganmu," ucap Tuan Park dan menatap nyalang Namjoon.

"Bukan anda yang memutuskan. Selama Jimin tidak menyerah, saya juga tidak akan menyerah. Kami saling mencintai, Pak."

"Memangnya kalian kenyang hanya dengan makan cinta?"

"Cinta itu sendiri adalah sebuah kekuatan, Pak. Kami kuat karena adanya cinta. Seperti anda yang mencintai putra anda dan tidak ingin masa depannya hancur, saya pun juga ingin membahagiakan Jimin. Bahkan jika dunia ini yang Jimin minta, maka saya sanggup memberikannya."

Tuan Park bisa melihat keteguhan dan keyakinan dari kedua manik milik Namjoon, kemudian ia menghela napas dan mengambil kembali pena yang sempat tadi terabaikan di atas mejanya.

KarmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang