#24

259 48 14
                                    

Kabar perceraian itu dimuat di dalam majalah dan juga surat kabar baik secara online maupun offline. Terlebih alasan perceraian karena orang ketiga. Taehyung memandang miris berita itu dari balik layar laptopnya. Ponsel yang sejak tadi terus berderit diabaikan, sebab Taehyung sudah tidak ingin lagi berhubungan dengan Yoongi. Ya, sejak tadi Yoongi mengiriminya banyak pesan dan tidak satu pun Taehyung balas. 

Taehyung menghela napas panjang, perasaan mual yang ia rasakan beberapa hari ini semakin membuatnya kesulitan. Terkadang di tengah malam Taehyung terbangun hanya karena ingin memakan sesuatu dan lagi-lagi harus merepotkan kedua orangtuanya.

"Astaga, Nak, kali ini apa lagi?" Taehyung bergumam sembari mengusap perutnya. Baru saja sejam yang lalu dirinya memesan makanan untuk cemilan, tetapi sekarang sudah mulai lapar lagi. Apa ini yang dirasakan orang-orang hamil di luar sana?

"Pak," sapa A-Jin begitu masuk ke dalam ruangan Taehyung. "Di lobi ada yang menunggu Pak Taehyung dan ingin bertemu dengan anda." Taehyung bisa melihat raut ragu-ragu di wajah A-Jin.

"Yoongi hyung, ya?" A-Jin mengangguk tak enak hati. Kalau boleh jujur Taehyung merindukan afeksi dan sentuhan Yoongi, mungkin karena faktor kehamilan ini. "Katakan saja kalau aku sedang meeting di luar." Sesuai dengan permintaan Taehyung, A-Jin kembali ke lobi dan memberitahu Yoongi sesuai instruksi yang dikatakan Taehyung tadi.

Yoongi mengalah untuk tidak memaksa bertemu dengan Taehyung. "Terima kasih, A-Jin ssi."  Yoongi pergi keluar kantor Taehyung tanpa bertemu sama sekali. Yoongi hanya ingin tahu kabarnya, sebab setelah kejadian di rumah seminggu yang lalu Taehyung mengabaikan semua pesan darinya. Yoongi menghela napas panjang begitu masuk ke dalam mobil ada perasaan kecewa karena Taehyung tidak mau menemuinya. Yoongi hanya ... merindukan Taehyung.

Ponselnya berdering. Ada nama Joan sebagai ID pemanggil di sana. Yoongi menatap layar ponselnya sesaat, sebelum mengangkat panggilan itu.

"Ya?"

"Hyung, Sungkyung-noona datang ke apartemen." Bola mata Yoongi melebar mendengar nada ketakutan dari suara Joan di telepon.

"Tunggu sebentar aku akan segera pulang," ucap Yoongi lalu memutus panggilan. Ia segera menyalakan mobilnya dan melaju menuju apartemennya.

Sungkyung duduk dengan santai di ruang tamu dengan matanya yang menelisik semua tempat, sementara Joan tengah membuatkan teh di dapur. Dengan gerak ragu dan takut, Joan perlahan-lahan melangkah ke arah Sungkyung dan meletakan cangkir teh itu dengan hati-hati.

"Sudah berapa bulan?" tanya Sungkyung. Joan mendongak dan menatap Sungkyung dengan takut.

"Tujuh bulan." Sungkyung mengangguk lalu mengambil teh yang disajikan Joan dan meminumnya dengan tenang.

"Berapa?"

"Hah?"

"Berapa? Sepuluh, satu juta, atau ratusan juta? Berapa aku harus membayarmu agar kau mau meninggalkan tempat ini bersama bayi dalam kandunganmu itu?"

"Sungkyung-noona, apa maksud—"

"Dengar, aku tidak sudi memiliki ponakan dari rahimmu. Kenapa kau harus kembali di saat Yoongi sudah mulai menerima Taehyung, hah?" Mendengar kata-kata Sungkyung membuat hati Joan merasa sakit hati. Ia mana tahu bahwa Yoongi akan menemukannya di panti kala itu. Ia sudah berniat menjauh dengan membawa bayi dalam kandungannya dan selalu berharap Yoongi akan bahagia meski tanpa mengetahui bahwa dirinya telah mengandung calon anaknya.

"Kenapa Noona jahat sekali dengan mengatakan hal-hal yang menyakitkan padaku? Memangnya apa yang membuat Noona begitu membenciku dan juga calon bayi yang tidak bersalah ini?" Sungkyung menghela napas dan menatap tanpa ekspresi wajah Joan yang menangis.

"Sudah tahu kalau keluarga kami tidak menyukaimu, kenapa kau tidak mencegah Yoongi waktu itu? Atau memang ini cara licikmu untuk menjerat Yoongi, karena Yoongi laki-laki baik dan bertanggungjawab kau membebaninya dengan perasaan bersalah yang kau lemparkan untuknya. Begitu bukan?" Joan menangis sembari menggeleng. Ia tidak memiliki pikiran-pikiran buruk seperti itu, tetapi mungkin sebab kerinduan yang terlalu dalam dan perasaan cintanya pada Yoongi tidak pernah ia lupakan, maka ia menerima semua kebaikan yang Yoongi tawarkan padanya.

Yoongi masuk ke dalam apartemen dan melihat Joan yang sudah menangis, sementara Sungkyung dengan santai meminum tehnya.

"Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis, hm?" Joan menggeleng sembari menghapus air matanya. Yoongi menatap Sungkyung dengan tajam. "Sebenarnya apa yang Noona lakukan, hah?" 

Sungkyung mendengus kemudian berdecak. "Memangnya apa yang kukatakan? Aku hanya menanyakan kehamilannya. Mungkin karena efek hamil tua ia jadi lebih sensitif." Sungkyung berdiri. "Sudahlah, lebih baik aku pulang."

"Apa benar yang dikatakannya tadi?" Joan mengangguk. Pembicaraan dengan Sungkyung tadi Yoongi tidak perlu mengetahuinya. Yoongi mendekap Joan dalam pelukannya. "Tidak apa-apa. Sudah, ya, jangan menangis. Nanti anak kita bisa stres." Joan terkekeh dan mengangguk.



•••


"Taehyung-ie, ayo, cepat, nak! Jangan sampai kita terlambat di jadwal pemeriksaan pertamamu." Hyungsik berteriak dari ujung tangga dasar. Pakaiannya sudah rapi sebab ia yang akan mengantar Taehyung periksa ke dokter kandungan. "Astaga, anak ini." Hyungsik bersidekap menatap Taehyung yang turun dengan malas. "Yang semangat, dong. Come'on, baby boy."

"Padahal yang mau periksa aku kenapa jadi Ayah yang bersemangat sekali?" Taehyung terkekeh saat melihat Hyungsik mendengus.

"Ya, 'kan, Ayah juga tidak sabar untuk melihat perkembangan cucu mungilku ini," jawab Hyungsik sembari mengelus perut Taehyung. Taehyung tertawa melihat tingkah menggemaskan Hyungsik.

"Papa sudah berangkat?" Hyungsik mengangguk.

"Papa sedang mengurus kepindahanmu, Sayang. Passport, visa, dan beberapa dokumen yang dibutuhkan untuk mengurus ijin tinggal sementaramu di sana. Kau hanya tinggal tunggu beres saja, jadi tidak perlu khawatir." Keduanya berjalan keluar sudah ada mobil yang menunggu di depan untuk membawa mereka ke rumah sakit.

"Oh, iya, Ayah juga sudah meminta pihak rumah sakit untuk tidak membocorkan hasil pemeriksaanmu. Hubungan perceraianmu dengan Yoongi masih memanas sampai sekarang dan Ayah tidak ingin kau jadi banyak beban pikiran, Tae-bear."

"Terima kasih karena kalian selalu memikirkan perasaanku. Maafkan aku yang belum bisa membuat kalian tenang dan aman karena lagi-lagi semua ini karena ulahku."

"Sayang, kau ini adalah putra kesayangan kami. Kau tahu, 'kan, kenapa kami tidak mengadopsi anak lagi? Karena kami sudah sangat mencintaimu dan tidak ingin membaginya dengan yang lain. Jangan bicara aneh-aneh lagi. Mulai sekarang cukup pikirkan apa yang membuatmu bahagia, Ayah dan papa akan selalu mendukung setiap keputusan darimu." Taehyung langsung memeluk Hyungsik dan menangis di sana. Menumpahkan segala rasa sakit yang ia punya, mengeluh dengan semua perasaan yang ia rasakan.

"Tidak apa-apa, Sayang. Menangislah sepuas yang kau mau, setelah itu kau harus terus melangkah maju. Kami akan selalu berada di sisimu dan menangkapmu saat kau terjatuh dan terluka. Ayah tahu kau adalah putra kami yang kuat dan hebat."

KarmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang